Kamu yang Kusebut Rumah 8Kamu yang Kusebut Rumah 8

CRTDALAM Malam tanpa bintang selepas hujan di tengah indahnya taman kota. Puspa duduk di salah satu bangku yang sedikit basah, dia memutar-mutar es teh yang tadi dia beli dengan tatapan mata kosong.

Setelah pertemuannya pagi tadi dengan istri Arya, Puspa merasa harus segera memutuskan sesuatu agar semuanya tak semakin bertambah rumit.

“Satu cilok pedas tanpa kecap sesuai permintaan Ningrum.”

Raka duduk di sampingnya. Mereka berdua sedang menikmati weekend dengan menghabiskan waktunya di taman dekat rumah Puspa. Raka terkejut saat tiba-tiba Puspa menghubunginya dan meminta untuk ditemani. Biasanya wanita itu sering menolak ajakan Raka, tapi malam ini Puspa yang tiba-tiba memintanya sendiri. “Ciloknya enak?” tanya Raka.

“Ck.”

“Kok nggak dijawab?”

“Semua cilok rasanya sama aja.”

“Dih, ada yang beda. Coba kalau lo mau main ke rumah gue, cilok buatan nyokap gue nggak ada duanya,” ucap Raka menggebu, sekaligus ada maksud lain di balik kalimat itu.

Puspa hanya mendengus sebal. Wanita itu memilih untuk kembali menancapkan lidi ke adonan tepung bulat miliknya dan memakannya langsung dalam satu kali suapan.

“Pelan-pelan, gue nggak minta.”

“Guuwhee lhaapheer —.”

“Telen dulu, Ningruum,” titah Raka.

Puspa menuruti kalimat Raka, ia menelan makanan di mulutnya lalu kembali memusatkan perhatian ke arah laki-laki itu. “Gue laper.”

“Makanya lo mau aja gue per-istri, biar bisa gue kasih makan tiap hari.”

“Lo bilang gitu udah kaya kucing aja gue.”

“Hahaha.” Raka mengacak-acak rambut Puspa yang rapi, sesuatu yang mulai ia sukai akhir-akhir ini.

Lama mereka kembali termenung dalam diam. Puspa dan Raka memilih menikmati cilok sambil melihat beberapa anak muda yang mulai berdatangan. Seperti Raka dan Puspa, kebanyakan mereka hanya ingin melepas lelah, mencari makanan ringan atau hanya ingin sekedar mengurai sepi.

“Rakaa,” panggil Puspa lirih.

“Hmm..”

“Gue mau resign.”

Tubuh Raka menunjukan keterkejutan, tapi laki-laki itu memilih tetap diam untuk mendengarkan penjelasan Puspa. Raka meletakan plastik berisi cilok yang hanya tinggal dua biji di ujung kursi dan menautkan perhatiannya penuh ke arah Puspa.

“Ini tentang masa lalu gue yang harus segera diselesaikan, seperti apa yang lo bilang. Dan keluar dari perusahaan AD Corporate adalah salah satu cara yang gue lakuin buat itu.”

Raka mendengar, duduk sambil meletakan kedua tangan di pangkuannya sendiri.

“Gue yakin ada banyak pertanyaan di otak lo. Tapi sementara ini, hanya itu yang bisa gue share ke lo. Suatu saat gue pasti bisa cerita lebih.”

Bagi Raka, Puspa yang terbuka kepadanya sudah lebih dari sekedar cukup untuk memulai kehidupan barunya bersama wanita itu. Dia tidak akan menuntut lebih. “Okeey, terus apa yang akan lo lakuin selanjutnya?” tanya Raka.

“Gue mau pindah ke Bandung, dekat sama rumah Bapak. Gue mau merintis usaha gue sendiri, kedai kopi.”

Raka cukup terpukau dengan jawaban Puspa. Ternyata di dalam otak serumit itu terbesit pemikiran cemerlang untuk memulai usahanya sendiri.

“Gimana menurut lo?” tanya Puspa meminta pertimbangan.

“Keren.”

“Serius?”

“He’eh, tidak ada pekerjaan yang lebih nikmat dari bekerja sesuai dengan kesukaan lo sendiri. Lo suka kopi, gue yakin pasti lo sukses dengan itu.”

Senyum di wajah Puspa terbit dengan sempurna mendengar jawaban Raka yang mendukungnya.

“Tapi nanti kita akan lebih sulit buat ketemu.” Tetapi Raka akan selalu mengungkapkan apa yang ada di dalam otaknya.

“Dua orang yang ditakdirkan terikat akan tetap dekat meskipun tidak saling melihat.”

“Ruum, kita sudah sama-sama dewasa. Lo pasti sadar kalau apa yang gue inginkan dari kita adalah sebuah pernikahan.”

Puspa mengangguk. “Beri gue waktu, Raka.”

“I will. Gue akan titipkan hati gue disini,” ucap Raka sambil menunjuk ke arah dada Puspa.

“Kalau ternyata gue tidak bisa menjaganya, bagaimana?”

“Mmm, sedih pasti. Tapi apapun itu yang penting bagi gue adalah kebahagiaan Ningrum.”

“Terima kasih,” ucap Puspa tulus. “Bener apa yang lo bilang, mengenal Raka adalah hal yang harus disyukuri dalam hidup gue.”

“Peres lo, Ningrum.”

“Hahahah, seriusaan.”

Puspa mengamati Raka yang tiba-tiba terlihat tidak nyaman. Laki-laki itu tertangkap mata sering melihat ke arah belakang tubuhnya lalu mengedarkan pandangan kemana-mana. “Kenapa?” tanya Puspa.

“Kenapa apa?”

“Lo kaya aneh. Kenapa? Ada mantan lo disini? Apa ada cewek lo?”

“Ck, cewek gue lagi makan malam,” jawab Raka santai.

“Kok nggak ditemenin?” Ada nada sebal di dalam kalimat Puspa. Wanita itu memasang wajah cemberut dengan pandangan yang ia alihkan dari sosok Raka.

“Gue temenin kok,” jawabnya lagi.

“Kan lo ada di sini.”

“Cewek gue lagi makan malam pakai cilok.” Seperti biasa, Raka mengucapkan kalimat itu dengan senyum tengil dan alis mata yang naik turun.

“Najis.”

“Nojas najis, suatu hari kesengsem juga lo sama gue.”

“Eh eh, kok berdiri?” tanya Puspa tidak terima saat melihat Raka yang tiba-tiba berdiri dari duduknya. “Gue masih pengen disini.”

“Kita pulang aja yuk. Gue temenin makan cilok-nya di rumah,” pinta Raka sambil menarik tangan wanita itu untuk mengikutinya.

“Tapi gue masih pengen disini, Raka.”

“Kita pulang,” jawab Raka tegas. Laki-laki itu kembali menyapu pandangannya ke mana-mana.

“Gue ada di hadapan lo, Raka.”

“Gue nggak nyari lo. Sekarang lebih baik kita pulang.”

Raka benar-benar serius. Laki-laki itu memaksa Puspa untuk ikut berjalan di sampingnya. Mereka bergandengan tangan sepanjang jalan, sesuatu yang terasa asing untuk Puspa tapi genggaman Raka terasa begitu menghangatkan.

Raka menyiapkan footstep untuk Puspa sebelum menghidupkan motor. Lalu mulai membawa motornya kembali menuju rumah Puspa. Taman kota ini tak jauh dari rumah Puspa. Mereka sengaja memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah karena mengingat esok hari bernama senin.

“Rum,” panggil Raka di tengah perjalanan pulang.

“Yaa?”

“Lo punya musuh?” tanyanya.

“Musuh? Apaan sih, Ka?” tanya Puspa bingung.

“Abaikan,” putus Raka. Laki-laki itu memilih untuk menaikan kecepatan motornya saat merasa ada sebuah mobil yang mengikuti mereka terus menerus.

Sejak berada di taman, Raka selalu menemukan pandangan orang yang mencurigakan ke arah Puspa. Sebagai seseorang yang cukup dekat dengan Puspa, ia tahu ada yang sedang mengamati mereka berdua sejak mereka meninggalkan rumah Puspa sore tadi.

Raka semakin mempercepat motornya untuk menghilangkan jejak dari mobil yang terus menerus membuntutinya.

“Rakaa, hati-hati,” tegur Puspa saat motor Raka mulai melaju kencang.

Raka kembali melihat ke arah belakang, kali ini ada mobil yang berbeda berjalan mendekat dengan cepat ke arahnya. Raka menukik tajam untuk memutar arah tapi tiba-tiba mobil itu justru berhenti tepat di depan motor Raka.

Seseorang dari dalam mobil keluar dengan tergesa. Laki-laki itu berhenti tepat di depan motor Raka.

Terkadang Raka merasa sangat mengenal Puspa dengan baik, tapi beberapa kali Raka merasa dia tidak mengenal Puspa sama sekali. Ada begitu banyak rahasia yang ada di dalam otak wanita itu, termasuk laki-laki yang saat ini berdiri di depannya dengan tatapan khawatir.

“Kita harus pergi,” ucap laki-laki itu.

Bagaimana Puspa bisa mengenal Pak Arya?

“Sorry, gue harus bawa Puspa pergi dari sini,” tambah laki-laki itu lebih ditujukan ke arah Raka.

“Aku nggak bisa pergi sama kamu,” putus Puspa. Wanita itu dengan berani menolak tegas ajakan pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.

“Puspa, aku mohon. Ikut aku, kamu ada dalam bahaya.”

Interaksi di hadapan Raka saat ini menciptakan asumsi besar di otaknya bahwa ada sesuatu diantara Puspa dan Pak Arya. Sesuatu yang membuat Puspa memutuskan resign demi benar-benar menyelesaikan masa lalunya.

Apakah Pak Arya adalah seseorang dari masa lalu Puspa?

Raka melihat seorang laki-laki yang sering bersama Arya ikut keluar dari mobil. Laki-laki itu menggenggam sebuah pistol untuk berjaga-jaga.

“B 121 xxx,” ucap Raka.

Anton melihat ke arah Raka bingung.

“Gue terakhir lihat mobil itu di pertigaan kedua sebelum ini. Gue lihat mobil itu pertama kali saat kita keluar dari rumah Puspa.”

Itulah alasan yang membuat Raka memaksa Puspa untuk segera pulang saat mereka berada di taman. Ia merasa ada yang membuntuti keduanya.

“Kita harus segera pergi,” paksa Anton. Mereka harus segera masuk ke dalam mobil sebelum sesuatu yang besar terjadi.

“Gue nggak mau pergi,” ucap Puspa lagi. Ia melihat ke arah Raka dengan sebuah permohonan yang kentara. Akan ada hal yang tidak baik jika Puspa ikut pergi bersama Arya. Ada sesuatu yang tidak bisa ia atur sesuai keinginannya, yaitu perasaannya sendiri. “Gue nggak mau,” ucap Puspa lagi.

“Lo harus pergi, ikut Pak Arya,” perintah Raka. Satu-satunya yang bisa menyelematkan Puspa saat ini hanyalah laki-laki itu. Meskipun ada perasaan tidak rela jika Puspa pergi bersama Arya.

“Puspa, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu padamu.” Arya ikut menyela.

“Tapi —kamu tahu ini bukan sesuatu yang baik untuk kita,” sanggah Puspa lagi.

“Ini demi nyawamu. Aku mohon, ikut sama aku,” ucap Arya.

Puspa kembali menatap ke arah Raka meminta persetujuan. Sesuatu yang membuat hati Arya berdesir ngilu. Ia memilih memejamkan matanya kuat-kuat karena tak ingin melihat pemandangan menyesakan dada di depan matanya langsung.

“Lo lebih baik pergi sama Pak Arya,” ucap Raka. Bersama dirinya, Puspa belum tentu aman.

“Puspa,” panggil Arya lagi. “Kita pergi?” Arya menengadahkan tangannya meminta sambutan tangan Puspa. Dengan penuh doa, wanita itu menerima uluran tangan Arya yang terbuka.

Rasa hangat yang dulu pernah ada kembali memenuhi hati Puspa saat tangan mereka kembali saling menggenggam. Malam ini, tangan mereka kembali tertaut setelah sebuah perpisahan dan jarak yang menyakitkan untuk keduanya.

Yaa … kembali tertaut!

Minggu pagi adalah hari yang sangat Arya tunggu-tunggu, di hari ini ia bisa menghabiskan waktunya bersama Axel setelah sibuk dengan pekerjaannya. Dan malam nanti, mereka akan pergi bersama dengan Ivy untuk makan malam. Seperti yang Arya ucapkan, dia akan berusaha memulai kembali kehidupannya bersama Ivy.

“Lo pulang dulu aja,” titah Arya ke Anton. Mereka sedang duduk di cafe dekat lapangan golf. Arya sedang menyuapi Axel buah-buahan dan Anton sedang sibuk dengan ponselnya.

“Tumben?”

“Gue mau jemput Ivy di rumah orangtuanya terus mau makan malam bersama.”

Senyum Anton memiliki banyak makna, dia ikut bahagia melihat Arya yang perlahan sudah mulai melepas masa lalunya. “Cieee,” goda Anton. “Mungkin lo butuh second honeymoon gitu. Haha.”

“Mungkin lain kali, Ivy lagi hamil muda.”

“Good luck buat lo, Bro. Gue yakin lo akan segera mendapatkan kebahagiaan.”

“Thank’s.”

Bunyi dering ponsel Arya mengalihkan perhatian laki-laki itu dari Axel. Ada nama Ivy di sana, laki-laki itu membersihkan tangannya sebelum mengambil ponsel di meja.

“Mas … Daddy, Daddy marah, aku —.”

“Pelan-pelan, Ivy. Ngomongnya pelan-pelan. Daddy kenapa?”

“Aku di rumah, nangis … lalu tiba-tiba Daddy datang terus marah. Puspa gimana Mas?”

Puspa? Arya benar-benar tidak memahami kalimat istrinya. Ia mulai menegakkan tubuhnya waspada saat nama itu disebut bersama dengan Mr. Miller dari bibir istrinya.

“Daddy kenapa?”

“Puspa dalam bahaya.”

Seketika itu juga Arya berdiri hingga kursi yang ia duduki terjatuh kasar di lantai. Anton yang sedang asik dengan game-nya kaget, ia ikut berdiri saat melihat bos-nya terlihat menyeramkan.

Ada apa? tanya Anton dengan isyarat mata.

“Ivy,” panggil Arya dengan desah frustasi. Dia baru saja hendak melangkah tapi istrinya kembali berulah. “Kenapa lagi?”

“Aku tidak bisa menjelaskan sekarang, Mas. Tapi aku benar-benar memohon untuk melindungi, Puspa. Bawa wanita itu pergi dari sini dan aku akan coba berbicara dengan Daddy.”

Ini tidak lucu! Bagaimana bisa Arya harus membawa Puspa pergi? Sedangkan efek Puspa masih begitu besar untuknya. Arya merasa usahanya akan menjadi percuma jika dia harus kembali dipertemukan dengan Puspa.

Tuhan? Kenapa lagi ini? teriak Arya dalam hati.

“Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang membahayakan Puspa,” ucap Ivy lagi dengan isakan yang jelas.

Arya juga tidak mungkin bisa memaafkan dirinya sendiri jika itu terjadi. “Aku akan mencari Puspa, bersama Anton,” putus Arya akhirnya.

Dan di sinilah sekarang dia berada, di dalam mobil yang sama dengan wanita yang masih menjadi pemilik hatinya. Bagaimana bisa takdir sehebat itu menulis cerita? Di saat Arya sudah belajar mengikhlaskan, mereka kembali harus berhadapan.

Arya melihat ke arah Puspa yang memojokan tubuhnya di ujung kursi dengan tatapan kosong. “Aku minta maaf karena harus melibatkanmu di dalam masalah keluargaku,” ucap Arya memecah sepi. Anton yang sedang mengemudi pun bisa ikut mendengarkan percakapan ini.

“Ada apa lagi ini?” tanya Puspa lemah.

“Aku juga tidak tahu, Ivy menghubungiku dan mengatakan kamu dalam bahaya. Dia memintaku untuk menyelamatkanmu.”

Puspa tersenyum tipis meragukan, pagi tadi wanita itu mendatanginya dan memintanya untuk pergi. Lalu malam ini tiba-tiba wanita itu berubah mengkhawatirkannya? “Istrimu mendatangiku pagi tadi,” ucap Puspa.

Arya bahkan Anton terkejut mendengar kalimat Puspa. Mereka berdua melihat ke arah Puspa, untuk Anton itu hanya terjadi sebentar karena laki-laki itu harus kembali fokus dengan kemudinya.

“Dia memintaku untuk pergi.”

“Aku —maaf, Puspa. Aku selalu —.”

“Nggak apa-apa,” jawab Puspa dengan senyum tipis, tapi semua orang tahu senyum itu tak sampai ke hatinya. “Wajar jika seorang istri meminta perempuan lain untuk menjauh dari suaminya.”

Arya menelan ludahnya kelu, dia ingin tahu apa saja yang diucapkan Ivy kepada Puspa. Apakah Ivy menyakiti wanita itu? Apakah Puspa semakin membencinya? Dan semua itu hanya berada di otak Arya karena dia tidak memiliki keberanian untuk bertanya.

“Kita mau kemana?” tanya Puspa. Dia tak ingin lagi membahas istri Arya. Dia hanya ingin nyawanya aman dan semua kembali baik-baik saja.

“Ton, kita kemana?” tanya Arya, sebenarnya dia juga bingung dengan rencananya sendiri.

“Gue juga lagi mikir,” jawab laki-laki itu singkat.

Mobil kembali berjalan membelah jalanan kota Jakarta yang ramai. Beberapa menit kemudian Anton menepikan jalan di sebuah stasiun yang terletak di tengah kota.

“Kenapa disini?” tanya Puspa pertama kali.

“Rencana yang ada di otak gue satu-satunya cuma ini, kalian pergi dari Jakarta kalau perlu keluar pulau jawa. Kita nggak tahu seberapa banyak koneksi Miller di sini.”

“Mas,” panggil Puspa tidak terima ke arah Arya. Tapi laki-laki itu justru meminta Puspa untuk diam dulu dan mendengarkan penjelasan Anton.

“Hanya ini satu-satunya jalan, Arya. Hubungi gue setelah dua hari, nanti gue bantu Ivy buat menyelesaikan masalah ini.”

“Anton…”

“Keselamatan Puspa lebih penting saat ini, apa ada yang salah dengan kalimat gue?” putus Anton. Laki-laki itu tidak memiliki solusi lain selain cara ini. Meskipun itu harus kembali mengorbankan perasaan Arya dan Puspa.

“Lo yang bawa Puspa pergi, atau … Raka,” tawar Arya meskipun dia sendiri takut jika hal itu terjadi.

“Gue belum yakin lo juga aman, Arya. Jika sudah berhubungan dengan keluarganya, Miller yang memiliki sifat setan bisa berubah menjadi iblis mematikan.”

Arya masih bingung, matanya berlarian mencari cara untuk terhindar dari situasi yang mungkin akan semakin menyudutkan dia dan Puspa.

“Kalau lo percaya gue atau Raka buat bawa Puspa pergi, it’s oke, gue tinggal jalan sekarang juga,” ucap Anton lagi.

“Oke, gue bawa Puspa pergi,” putus Arya setelah sekian lama menimbang. Tidak ada yang bisa ia percaya untuk menyelamatkan Puspa saat ini selain dirinya sendiri.

“Aku nggak bisa!” Puspa masih menolak. Wanita itu benar-benar tidak mau pergi berdua bersama Arya.

Arya sendiri pun ragu, tapi sama seperti Anton, tidak ada solusi lain selain Arya sendiri yang melindungi Puspa. Arya menarik tubuh Puspa untuk sedikit menjauh dari keramaian saat Anton pergi membeli tiket. “Papa Ivy sangat berbahaya. Kamu bisa terluka,” jelas Arya. Semua kalangan pesohor tahu bagaimana tangan dingin Miller jika keluarganya terusik.

“Kita temui laki-laki itu, kita jelaskan jika tidak ada hubungan apa-apa diantara kita.”

Puspa benar, tetapi kenapa Arya masih saja sakit hati mendengar kalimat itu? “Menurutmu laki-laki itu bisa percaya dan melepasmu begitu saja?”

Puspa tidak tahu!

“Tapi nggak harus juga pergi dari sini,” jawab Puspa kali ini dengan nada yang lebih rendah. Dia mulai bimbang.

“Tidak ada tempat yang aman di Jakarta. Aku harus membawamu pergi dari sini untuk sementara waktu.” Arya mencoba menjelaskan. “Aku janji, sorry maksudku aku akan berusaha untuk tidak melampaui batasku.”

Arya mungkin bisa berjanji, tapi ini bukan hanya tentang laki-laki itu. Tapi juga tentang Puspa yang tidak percaya dengan dirinya sendiri.

Anton sudah mendekat, laki-laki itu menyerahkan dua tiket kereta ke tangan Arya.

“Tiket ke Surabaya. Kalau saran gue pergi ke Bali. Gunakan kendaraan darat. Dua hari lagi lo telepon gue tapi jangan pakai ponsel lo sendiri,” instruksi Anton cepat dan banyak. “Mana ponsel lo?”

Arya menyerahkan ponselnya ke tangan Anton.

“Ponsel lo Puspa,” ucap Anton ke arah Puspa.

“Punya gue juga?” Ada nada tidak terima di kalimat Puspa.

Anton hanya mengangguk mengiyakan. Dengan terpaksa Puspa menyerahkan ponselnya ke tangan Anton.

Anton menyerahkan tas yang biasa ia bawa ke tangan Arya. “Ada uang lima puluh juta, barusan gue ambil, sementara jangan pakai kartu ATM lo dulu, bahaya.”

“Oke.”

“Kalian pergi sekarang,” usir Anton.

“Kita pergi, Puspa,” ajak Arya dengan melihat ke arah Puspa yang (masih) terlihat tidak terima.

Suara panggilan keberangkatan menarik kenangan Arya saat perpisahan keduanya dulu di Bandara. Tapi bedanya, kepergiannya kali ini membawa Puspa pergi. Seperti keinginannya dulu yang sempat ingin membawa Puspa melarikan diri.

“Puspa,” panggil Arya sekali lagi dengan nada penuh tekanan.

Tangannya kembali menengadah untuk meminta Puspa menyambutnya.

“Kita harus segera pergi,” tambah Arya sekali lagi.

Puspa kembali menyambut tangan Arya yang terbuka. Panggilan kedua keberangkatan kereta memaksa keduanya untuk segera masuk ke dalam stasiun.

Arya menarik tubuh Puspa, mereka berdua berlari mengejar kereta dengan tangan yang saling menggenggam.

“Bii, lebih cepat lagi.”

Puspa mempercepat langkahnya. Arya lebih dahulu masuk ke dalam kereta yang sudah berjalan dan menarik tubuh Puspa untuk ikutmasuk bersamanya.

Beberapa penumpang yang sedang beristirahat dalam bis mulai terbangun, kenek berteriak memberitahu bahwa bis sudah sampai di pelabuhan. Seperti yang diinstruksikan Anton, Arya dan Puspa akan ke Bali menggunakan perjalanan darat.

Setelah sampai di Surabaya pagi tadi, keduanya melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi selama delapan jam menggunakan bis. Dan sekarang ini mereka sudah sampai di Pelabuhan Ketapang. Rencananya, mereka akan melintasi samudra menggunakan kapal feri untuk sampai ke Bali. Orang yang bangun pertama kali adalah Arya. Ia mulai membuka matanya yang terasa lengket. Perjalanan mendadak dan berlangsung lama membuat tubuhnya lelah. Ia melihat ke arah Puspa yang tidur di dalam dekapannya.

Pasti wanita itu pun kelelahan hingga tidak sadar menyenderkan tubuhnya ke Arya untuk mendapatkan kenyamanan. “Puspa,” panggil Arya.

Mengenal Puspa sejak dulu, Arya tahu hal tersulit dari seorang Puspa adalah bangun dari tidurnya. Wanita itu pelor, dimana pun tempatnya bisa tertidur dengan mudah tapi sangat sulit untuk dibangunkan. “Kita sudah sampai.” Arya masih mencoba membangunkan Puspa, ia mengusap-usap tubuh Puspa dan memanggil wanita itu lirih.

“Emmmmhh.”

See? Wanita itu bergerak tapi hanya untuk menyamankan tidurnya di dalam pelukan Arya. Puspa semakin melingkarkan tangannya di tubuh Arya untuk mencari kenyamanan. Kepalanya ia masukan ke sela-sela tubuh Arya yang hangat.

Tanpa Arya ketahui, tidur Puspa saat ini adalah tidur terpulasnya dalam lima tahun belakangan ini.

“Kita harus melanjutkan perjalanan ke Bali.”

Saat pertama kali membuka mata, Puspa terkejut mendapati posisi keduanya yang dekat. Ia beranjak duduk, membuat jarak untuk mereka berdua. “Maaf.”

Arya hanya menanggapi dengan tersenyum singkat.

Keluar dari bis, keduanya langsung berjalan menuju pelabuhan dengan beberapa penumpang lainnya yang memiliki tujuan sama. “Ada banyak calo di sekitar sini, mungkin akan sedikit membuatmu tidak nyaman.” Arya menawarkan genggaman tangan agar keduanya tidak terpisah, tapi Puspa menolak.

Arya memilih membeli tiket sendiri lalu mereka berdua masuk ke dalam kapal. Jam enam sore, kapal mulai berlayar. Perjalanan laut keduanya saat ini sekitar dua sampai tiga jam, Puspa tidak memilih tidur. Wanita itu lebih memilih menikmati pemandangan laut dari tempatnya duduk.

“Kamu harus memakai selimutmu, cuacanya dingin,” tegur Arya yang datang sambil membawakan dua cup pop mie panas di tangannya. Laki-laki itu mengatakan tidak ada yang lebih nikmat dari makan mie di tengah lautan.

“Yang punya sakit asma itu kamu. Kalau sampai kambuh, akan sangat merepotkan.”

“Oh, jadi asmaku sangat merepotkan? Pantesan kemarin males-malesan bantuin aku pas serangan.”

“Ck, udah di bantuin juga,” kesal Puspa. “Bilang terima kasih aja enggak.”

“Terima kasih, Puspa,” ucap Arya tulus. “Lebih baik sekarang kamu pakai selimutmu.”

“Kamu yang punya asma, Mas.”

“Kita hanya punya satu selimut, tidak mungkin aku membiarkanmu kedinginan.”

Puspa akhirnya mengalah, menerima selimut yang diberikan Arya untuk menyelimuti tubuhnya. Mereka menghabiskan pop mie dalam diam, lalu membuang mie itu yang tinggal bungkusnya saja.

“Mas,” panggil Puspa setelah mereka berdua kenyang.

Keduanya duduk berseberangan. Arya memejamkan matanya meskipun tidak tidur. Dia hanya sedang mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. “Heemm.” Arya membuka matanya sekilas, menatap Puspa yang sedang mengarahkan perhatiannya ke arah laut.

“Ibuk sudah menikah lagi. Dua tahun setelah kita berpisah, ibuk memutuskan untuk menikah dan tinggal di Desa. Aku kembali sendiri.”

Arya tak menanggapi, seperti dulu Arya hanya mendengar setiap lantunan cerita yang keluar dari bibir kekasihnya.

“Awalnya aku benci, kenapa semua orang meninggalkanku? Tapi saat melihat senyum ibuk, senyum yang tak lagi pernah terlihat saat masih bersama bapak atau setelah perceraian dengan bapak. Aku jadi merasa egois jika harus memaksakan ibuk untuk tidak menikah lagi.”

“Dan pas banget waktu itu ada yang membeli rumah ibuk dengan harga tinggi di atas pasaran. Bahkan bisa sampai di pakai buat DP rumah yang kutinggali saat ini, sisanya untuk ibuk bangun rumah di Desa.”

“Maafkan aku, pasti banyak sekali kesedihan yang kamu lewati seorang diri setelah aku pergi.”

Puspa mengangguk dengan bibir bergetar. Lima tahun yang lalu adalah masa tersulit untuknya, dia yang biasanya memiliki tempat untuk melepaskan semua beban hidupnya harus berusaha untuk tetap bertahan seorang diri. “Kamu jahat,” ucap Puspa dengan lelehan air mata yang lancar.

“Aku minta maaf.” Arya pun mengulang-ngulang permintaan maafnya.

“Mas,” panggil Puspa lagi. Kali ini mata wanita itu menaut ke arahnya.

“Aku di sini.”

“Aku takut.”

“Takut apa?” tanya Arya.

Puspa cukup lama diam, sedang menimbang kalimat yang ingin ia ucapkan. “Semuanya … aku takut, takut menjalani hidup sendiri.” Hanya dengan Arya, Puspa bisa mengungkapkan semua rasa, semua yang tak pernah ia keluarkan di dalam otaknya.

“Kamu harus tahu kalau kamu tidak merasakan hal itu seorang diri. Percayalah, aku pun merasakan hal yang sama.” Mata Arya kini sudah terbuka lebar, ia melepas tautan mata keduanya dan memilih melihat ke arah gelapnya malam.

Keduanya kembali hening, hanya ada suara debur ombak dan angin laut yang kencang. Cukup lama, mereka menikmati kesendirian, berbicara dengan diri mereka masing-masing.

“Do you still love’s me?” tanya Arya tiba-tiba.

Arya menunggu dan Puspa mematung. Dalam hidup Puspa lima tahun belakangan ini, kata ‘cinta’ sangatlah haram untuk diucapkan. Tapi melihat Arya yang menunggunya dengan tatapan penuh pengharapan memaksa Puspa untuk menelan ludahnya berkali-kali.

“Abaikan pertanyaanku,” putus Arya akhirnya, karena Puspa yang tak kunjung memberikan jawaban. “Ceritakan hal lain yang kamu lalui tanpa diriku,” pinta Arya. Dia sudah lelah untuk bersedih. Dia berharap kesempatan bersama Puspa saat ini hanya untuk menciptakan kenangan indah.

“Cerita apa?” tanya Puspa.

“Apapun itu.”

“Aku bingung.”

Arya berfikir, mencoba mencari pembahasan yang menarik agar suasana malam ini tidak hanya tentang kesedihan. “Ceritakan tentang bagaimana kamu bisa di AD Corporate.”

“Ah, jangan. Alasan aku berada di perusahaanmu sangat menyakitkan. Aku ingin melupakannya. Mungkin aku akan cerita saat pertemuan kita pertama kali, yang di tempat meeting? Apa kamu sudah melihatku waktu itu?”

Arya menggeleng dengan senyum penuh makna. “Aku sudah melihatmu jauh sebelum pertemuan itu. Aku melihatmu pertama kali saat kamu duduk bersama dengan beberapa karyawan baru di masa pembekalan.”

“You see me?”

“Tentu saja, wanita berkucir kuda yang selalu mampu mencuri perhatianku.”

“Terus? Kamu nggak nyapa aku? Atau apa gitu?”

“Aku pengecut, nggak berani.”

“Jadi pertemuan kita di tempat meeting itu pertemuan kedua kita dong.”

“Untukku itu lebih, karena aku sering melihatmu diam-diam.”

Puspa tertegun mendengar kalimat Arya. Jadi selama ini, laki-laki itu sering melihatnya diam-diam? “Es kopi dingin yang sering diletakan di meja, apakah itu dari kamu?”

“Memang ada yang bisa membuatkan es kopi dingin seenak takaranku?” tanya Arya balik.

Puspa menggeleng.

“Terus? Masih nanya?” tanya Arya memastikan.

Malam ini, ada begitu banyak hal yang mereka sampaikan. Tentang kehidupan lima tahun saat keduanya terpisah jarak dan rasa, dan tentang perasaan yang tersisa.

Malam ini Pak Brama bersama Anton mendatangi kediaman Miller. Ia membawa sekitar tiga pengawal termasuk Anton untuk melindungi dirinya. Miller bisa sewaktu-waktu membunuhnya, tapi demi keselamatan Arya, dia akan mengambil resiko itu. “Maaf aku mengganggumu malam-malam.”

“It’s oke, take your time.”

Mr. Miller duduk di kursi ruang kerja dengan kedua kaki menyilang. Satu putung rokok terselip di sela-sela jemari tangan kekar itu. Asap yang mengepul ke atas menambah kesan bahwa drama yang terjadi saat ini tidaklah main-main.

“Aku yakin kamu sudah paham dengan maksud kedatanganku malam ini.”

“Lebih baik aku mendengar penjelasan darimu langsung untuk lebih jelasnya.”

“Tentu ini tentang Arya, lepaskan dia.”

Mr. Miller terkekeh meremehkan. Dia berdiri untuk mendekat ke arah Pak Brama dan Anton yang berdiri di belakangnya. “Tentu tidak akan semudah itu. Dia menyakiti anakku dengan pergi bersama kekasihnya.”

“Jangan membuat sebuah kesimpulan dari otak Ivy, Miller. Kita semua tahu bagaimana cara putrimu untuk mengikat putraku.”

“Jangan merendahkannya.”

“Dia yang merendahkan dirinya sendiri!”

“Tutup mulutmu, Bramaa!! Kamu tidak tahu siapa lawan yang kamu hadapi saat ini!” marah Mr. Miller tercetak jelas di wajahnya. “Tidak ada yang boleh menyakiti putriku.”

“Sama dengan dirimu, aku sebagai ayah juga tidak akan membiarkan ada orang yang menyakiti anakku,” tegas Pak Brama. “Selama ini ia tersakiti bertahan di samping Ivy. Aku yakin kamu juga sudah tahu tentang fakta ini. Jangan berpura-pura bodoh tentang bagaimana Ivy bisa hamil.”

“Aku menutup mataku untuk melihat bagaimana anakku bisa hamil yang terpenting adalah laki-laki yang melakukannya harus bertanggung jawab.”

“Apa kamu yakin yang harus bertanggung jawab disini hanyalah Arya?” tanya Pak Brama menantang. “Putrimu sudah dewasa untuk mengenal kata pertanggung jawaban.”

Miller tak berniat menanggapi kalimat Tn. Brama.

“Lepaskan anakku, Miller. Atau aku akan menyambut tantangan perangmu.”

“Pergilah, Brama. Aku akan mendapatkan Arya dalam keadaan hidup. Tapi aku tidak berjanji untuk melakukan hal yang sama pada kekasihnya,” ancam Mr. Miller.

“Dia bukan kekasih Arya.”

“Bohong!”

“Ivy yang merebut Arya dari wanita itu.”

“I don’t care!”

Pak Brama menekan perasaan marah di dadanya. Meladeni Miller yang kuat dan angkuh memang tidak akan mudah. “Seperti dirimu yang melindungi Ivy, aku juga akan melindungi Arya dan gadis tidak bersalah yang menjadi korban keegoisan anakmu. Aku akan melindungi mereka hingga titik darah penghabiskanku.”

Pak Brama meninggalkan ruang kerja Mr. Miller. Ia berjalan ke luar rumah dan menghentikan langkahnya saat melihat Ivy dan istri Miller di sana.

“Aku tahu kamu wanita baik,” ucap Pak Brama ke arah Ivy. “Jadilah wanita yang bertanggung jawab untuk setiap tindakan yang sudah kamu lakukan.”

“…”

“Mungkin ayahmu tidak menanamkan hal ini pada dirimu tapi sebagai ayah mertua aku berkewajiban menyampaikan. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi, Ivy. Jangan menunggu sampai semuanya semakin bertambah runyam.”

Setelah mengatakan itu, Pak Brama benar-benar pergi meninggalkan kediaman Miller.

***

Di dalam hidup ada begitu banyak penyesalan yang terjadi. Kenapa dulu aku memilih itu? Kenapa dulu aku melakukan itu? Apapun itu selalu berujung dengan, jika waktu dapat diulang lagi aku pasti tidak akan melakukan hal bodoh itu.

Tapi, tidak semua penyesalan berakhir buruk jika kita tidak menyalahkan diri sendiri. Apapun itu, hal pertama yang harus kamu lakukan di saat menyesali sesuatu adalah menerima.

Accepted.

Sebuah penerimaan atas segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup kita adalah sesuatu yang menurutku, sangat penting.

***

Suara air mengalir di taman belakang rumah menjadi satu-satunya suara yang paling dominan di tempat ini. Sebuah ruangan terbuka yang langsung menghadap ke arah taman di dalam rumah keluarga Miller.

Di rumah orangtuanya, tempat ini adalah tempat yang paling Ivy sukai.

Ivy kecil sering menghabiskan waktunya untuk bermain di taman ini. Sebuah taman berukuran hampir lima puluh meter dengan saung yang terbuat dari bambu di tengahnya. Ivy duduk di saung melihat Mr. Miller yang sedang memberikan makan ikan-ikan di kolam.

“Dad.”

“Hem.”

“Daddy ingat waktu aku meminta Daddy menyingkirkan teman Arjuna?” Ivy duduk menghadap ke arah daddy-nya yang sedang berjongkok di tepi kolam ikan. Arjuna, teman masa kecilnya yang kini memilih enggan kembali memiliki hubungan dengan Livylia.

“He’eh. Kamu menangis berhari-hari hanya karena takut kehilangan Arjuna.”

“Yaa, karena dia-lah sahabatku satu-satunya. Aku takut kehilangannya.”

“Daddy akan selalu memberikan apapun yang kamu inginkan, Sweatheart.” Mata Mr. Miller masih ke arah kolam ikannya, sambil sesekali melemparkan makanan ikan ke kolam.

“Tapi Ivy justru kehilangan Arjuna.”

Manik mata Mr. Miller beralih arah, ia melihat ke arah Livylia yang … terlihat tidak sedang baik-baik saja. “Aku tidak paham dengan arah bicaramu, Vy.”

“Ivy yakin, Daddy akan selalu ada di depan Ivy, menjaga dan melindungi Ivy.”

“Yes, Daddy tidak akan membiarkan orang lain menyakitimu.”

“Terima kasih, Dad,” jawab Ivy. Wanita itu ikut menjongkokan tubuhnya di samping Mr. Miller. “Tapi, jika Daddy sudah tua dan tak bisa lagi menjaga Ivy, siapa yang akan melakukannya Dad?”

Mr. Miller sempat menghentikan ayunan tangannya yang hendak menyebar makanan ikan, hanya sebentar, karena detik berikutnya laki-laki itu tetap melanjutkan aktivitasnya itu. “Ada Arya, suamimu.”

“Apa ada sebuah kepastian Mas Arya akan melindungi Ivy seperti Daddy melindungi Ivy?”

“Sweatheart, kemana arah bicaramu?” Laki-laki itu mulai terlihat kesal.

“Kenapa Daddy tidak melatih Ivy untuk melindungi diri Ivy sendiri?”

Mr. Miller berdiri dari tempatnya lalu mendudukan tubuhnya di saung tempat Ivy duduk sebelumnya. “Kamu perempuan, seharusnya kamu dilindungi laki-laki.”

“Bagaimana jika Ivy tidak menemukan laki-laki yang melindungi Ivy saat Daddy sudah tidak bisa melakukannya?” tanya Ivy. “Cara terbaik untuk melindungi diri sendiri adalah melatih diri sendiri untuk menjadi kuat, apa Ivy salah?”

Tatapan mata Mr. Miller beralih dari sosok Ivy ke arah langit yang tinggi. Kalimat putri-nya saat ini cukup berpengaruh besar untuknya.

“Dad, bagaimana jika ada seorang perempuan telanjang di hadapan Daddy, lalu Daddy khilaf dan perempuan itu hamil?”

Mr. Miller terkekeh. Ia mencubit pipi Ivy dengan gemas saat putrinya banyak bertanya. “Kamu itu, pertanyaanmu sore ini aneh-aneh.”

“Ivy hanya bertanya. Apa jawaban Daddy?”

“Yaa kalau wanita itu hamil biarkan saja, toh dia sendiri yang telanjang di hadapan Daddy. Tidak mungkin hanya karena seorang wanita hamil, Daddy meninggalkan mamamu. She is my soul, Sweatheart.”

“Mas Arya did it.”

Raut wajah penuh tanda tanya tercetak jelas di wajah Mr. Miller. Laki-laki itu menatap putri kecilnya untuk meminta penjelasan lebih.

“Mas Arya —meninggalkan belahan jiwanya hanya demi menyelamatkan harga diri Ivy, hanya demi memberikan keluarga untuk anaknya,” ucap Ivy dengan terisak. “Ivy salah, Dad. Ivy yang memanfaatkan kelemahan Mas Arya waktu dia mabuk.”

“Sayaang —.”

“Selama ini Mas Arya tersakiti hidup bersama Ivy. Ivy jahat, Dad. Ivy sudah menjadi wanita yang jahat.”

Mr. Miller menarik tubuh putrinya untuk mendekat dan memberikan pelukan seorang ayah untuk Ivy.

“Ivy egois, Ivy mendapatkan semuanya. Orangtua lengkap, kemewahan dan kasih sayang. Tapi Ivy justru merebut satu-satunya yang dimiliki Puspa.” Mata Ivy mencari manik hitam daddy-nya, dengan bibir bergetar wanita itu kembali meminta sebuah permohonan pada daddy yang selalu akan memberikan apa yang ia mau. “Jangan sakiti Puspa lagi, Dad. Lepaskan dia karena dalam masalah ini, Ivy-lah yang menjadi pengacau di dalam hubungan mereka.”

Kalimat Puspa yang menginginkan kebahagiaan Arya di samping kebahagiaannya sendiri menyadarkan Ivy. Bahwa hidup bukan hanya tentang dirinya tetapi juga tentang orang lain. Ivy mencintai Arya, tapi selama ini ia mengabaikan kebahagiaan laki-laki itu hanya demi menyempurnakan kebahagiaannya.

Apakah ini yang dinamakan cinta? Atau hanya keegoisan?

Arya bukanlah sebuah boneka yang harus ia dapatkan.Laki-laki itu memiliki perasaan yang selama ini Ivy abaikan.

Terlalu romantis bagi seorang Puspa saat ia menikmati indahnya senja dari bibir pantai Bali. Mereka sudah berpindah tempat, Arya ingin mengganti suasana setiap hari dan berakhir dengan keduanya yang berpindah dari satu pantai ke pantai lainnya.

Sore ini terasa sangat spesial, langit dan pantai sedang bekerja sama menunjukan pemandangan terindah untuk mereka berdua. Terlebih bagi Puspa, karena ada Arya di sampingnya. Laki-laki yang dulu terlalu sulit untuk ia jangkau kini berada dekat di sisinya.

“Istrimu sangat cantik,” puji Puspa tulus. Sebagai wanita saja dia memuji kecantikan istri Arya. Tentu sebagai seorang lelaki, Arya juga mengakui hal itu. “Kamu pasti sangat beruntung mendapatkan istri seperti Ivy.”

“Hem,” jawab Arya singkat. Dia enggan menanggapi karena saat ini ia hanya ingin membicarakan tentang Puspa, bukan Ivy.

“Dia terlihat sangat mencintaimu.”

“Bii,” tegur Arya lembut. Ia menatap ke arah Puspa dengan tatapan tidak suka.

“Ceritakan bagaimana pertemuan kalian pertama kali.”

“Kamu serius ingin mendengarnya?” Arya menjawab dengan dengusan sebal. Dia sudah menunjukan ketidaktertarikan pada topik yang ingin dibahas Puspa tapi wanita itu seakan tak peduli.

“Tentu saja. Aku butuh itu.”

“Bii.”

“Aku takut berharap.”

“Manusia hidup dengan harapan,” jawab Arya lalu kembali menautkan tatapannya ke arah langit.

“Tapi harapan ini salah.”

“Kamu yang tidak mau berjuang,” kilah Arya menyalahkan.

“Seperti yang kukatakan sebelumnya, hidup sebagai seorang anak dari keluarga tidak utuh itu tidak mudah. Apa kamu yakin siap memberikan keluarga tidak utuh untuk anak-anakmu?”

“Bagaimana denganmu? Apa kamu mulai mencintai laki-laki itu sehingga menolak berjuang denganku?”Arya justru menjawab pertanyaan Puspa dengan pertanyaan lainnya.

“Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, dia —teman yang baik.” Puspa mengingat satu nama yang selalu bertingkah menyebalkan. “Dia banyak bicara dan selalu membuat hidupku penuh warna. Aku tidak pernah merasa bosan bersama Raka.”

Ada senyum yang tercetak jelas di wajah Puspa. Sesuatu yang menghangatkan hati Arya karena ia sadar dirinya tak bisa menciptakan senyum itu nantinya, mungkinkah laki-laki itu adalah takdir Puspa? Dan bukan dirinya.

“Kamu pasti bisa bahagia, Bii,” ucap Arya, terselip doa tulus di dalam hatinya untuk kebahagian wanita itu.

Puspa sudah terlalu lama menderita, jika laki-laki itu bisa membahagiakannya maka Arya akan belajar untuk mengikhlaskan Puspa-nya.

“Aku ingin bermain air,” putus Arya tiba-tiba. Seperti yang ia inginkan sebelumnya, dia hanya ingin menciptakan cerita bahagia di moment ini. Dengan semangat laki-laki itu melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya bagian atas dan berlari masuk ke dalam air. Arya bermain di tengah temaramnya senja. Laki-laki itu tertawa ceria dan meminta Puspa untuk ikut masuk ke dalam air bersamanya. “Ayo, Bii. Kita berenang.”

“Kamu tahu aku nggak bisa berenang.”

“Kamu percaya sama aku?” tanya Arya.

“Nggak!” jawab Puspa cepat dan tertawa setelahnya saat Arya terlihat tidak terima dengan jawabannya.

“Aku tidak peduli.” Arya menarik tubuh Puspa dan menggendong wanita itu di pundaknya dengan mudah.

“Bii, lepasin. Aku takuuut.”

“Hahaha.”

Arya melempar tubuh Puspa ke dalam air. Wanita itu cemberut saat melihat pakaiannya yang basah. “Bii, dingin,” sebal Puspa dengan dilebih-lebihkan. Lalu dengan cepat wanita itu mencipratkan air ke arah Arya untuk membalas dendam.

Arya terkejut dan menyerang balik Puspa. Mereka kembali bermain hingga tak sengaja jatuh bersama ke dalam dinginnya air di bibir pantai. Tubuh mereka berdekatan dengan Arya yang berada di atas Puspa. Deru nafas keduanya memberat saat manik mata beradu saling menyesap rindu. Jika boleh Puspa dan Arya meminta untuk sebentar saja waktu dihentikan dan memberikan waktu keduanya untuk bersama.

Arya memilih berdiri memperlebar jarak sebelum logikanya benar-benar menghilang dan justru kembali menyakiti Puspa. Ia membantu Puspa untuk berdiri dan berniat kembali ke bibir pantai.

Namun, langkah Arya terhenti saat tangan Puspa menahan gerakannya. “Bii,” ucap Arya memperingatkan.

Seperti berada di masa tunggu dimana mereka berdua keluar dari dunia yang selama ini tak pernah memberikan restu. “Do you love me, Bii?” tanya Arya sekali lagi.

Suara bunyi mobil yang berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri mencuri perhatian keduanya. Sebuah mobil sedan berwarna hitam yang terlihat mencolok. Seorang laki-laki keluar dari dalamnya dan berjalan mendekat ke arah Puspa dan Arya. “Liburan telah usai,” ucap laki-laki itu. “Gue harus bawa kalian kembali ke kehidupan kalian masing-masing.”

Anton berdiri dengan gagah di depan Arya dan Puspa.

“Semuanya sudah aman, Ton?”

“Sudah bisa dikondisikan. Lo ditunggu keluarga di Jakarta, Arya. Dan Puspa, gue sudah hubungi Raka kalau kalian pulang hari ini.”

Puspa menghela nafasnya berat, lalu mengangguk dengan senyum yang ia paksakan. “Kita sudah selesai, Bii,” ucap Puspa.

“Yaa,” jawab Arya menguatkan diri.

Malam harinya mereka langsung kembali ke Jakarta menggunakan pesawat. Dengan menyisakan keheningan Arya dan Puspa kembali bersiap. Arya dan Puspa berjalan bergandengan tangan menuruni tangga hotel tempat mereka menginap. Mereka melihat Anton sudah berdiri menanti kedatangan mereka di lobby. “Kamu sudah siap?” tanya Arya.

“Siap tidak siap. Mari kita hadapi saja,” jawab Puspa pasti.

Dini hari mereka sudah sampai di Jakarta. Berjalan menyusuri jalan yang biasanya ramai tapi kini sepi seperti hati Arya dan Puspa. “Kita antar Puspa dulu, Ton.”

“Oke.”

Mobil memutar arah untuk mengantar Puspa ke rumahnya. Selama perjalanan pulang genggaman tangan keduanya tak pernah terlepas. Pemandangan itu tak luput dari pengamatan Anton. Tepat di depan rumah Puspa ia menemukan Raka yang berdiri menunggu wanita itu. “Takdirmu sudah menunggumu,” ucap Arya dengan tersenyum tipis.

“Yaa, terima kasih sudah mengantar,” jawab Puspa lebih ke arah Anton. “Hati-hati di jalan.” Puspa turun dan mobil kembali berjalan ke tujuan.

“Bagaimana?” tanya Anton. “Is everything okey?”

“Nggak akan pernah ada kata baik-baik saja jika itu tentang Puspa, Ton.”

“Kalian sudah mendapatkan waktu kalian, kali ini saatnya lo menghadapi kenyataan. Lo ditunggu Mr. Miller dan Pak Brama di rumah Miller.”

“Sekarang ini juga?”

“Yaa sekarang.”

“Gue capek.”

“Nggak ada alasan, Arya. Lo nggak tahu gimana perjuangan bokap lo, gue dan Ivy di sini untuk kalian.”

Arya malas kembali berdebat, laki-laki itu hanya menatap kosong ke arah jalanan luar melalui kaca jendela mobil yang berjalan. Saat nama Ivy disebut, ia kembali membayangkan wajah wanita itu yang sering menunggunya sepulang kerja. Ivy, seorang wanita yang akan menjadi masa depannya. Seorang wanita yang harus Arya lindungi hingga mereka menua bersama. “Bagaimana kabar Ivy?” tanya Arya.

“Dia baik.”

“Kandungannya?”

“She is fine.”

Disisi lain, Puspa yang menatap Raka saat menunggunya merasa melihat sebuah masa depan di mata laki-laki itu. “Terima kasih sudah menungguku.”

“Aku sudah bilang bahwa aku menitipkan hatiku padamu,” jawab Raka dengan senyumannya yang hangat.

“Ada banyak yang belum aku ceritakan kepadamu. Aku yakin kamu memiliki banyak pertanyaan untukku.”

Raka mengangguk. “Kita memiliki waktu yang banyak untuk saling bercerita. Sampai kita menua bersama.”

“Yaa, tentu saja.”

***

Dalam hidup manusia akan ada banyak manusia datangdan pergi silih berganti. Ada yang memang datang lalu menetap, ada juga yang datang lalu pergi meninggalkan kenangan.

After 2 years.

“Satu es coffe latte dan satu es coklat less sugar.”

“Ada lagi, Kak?”

“Mmm … sudah itu saja.”

“Baik, kami siapkan dulu. Meja nomor berapa?”

“Tiga.”

“Baik, mohon ditunggu.”

Gadis belia dengan tas ransel itu membayar pesanannya lalu kembali duduk di kursinya.

“Satu es kopi latte dan coklat, please.” Puspa berteriak ke arah Ari dan Kinan, dua karyawan yang sudah hampir dua tahun ini membantunya mengurus kedai kopi.

“Siap komandan,” jawab Ari. Ari adalah barista terampil yang dimiliki kedai kopi milik Puspa ini. Puspa beruntung mendapatkan laki-laki itu, karena ia bisa belajar banyak hal tentang kopi dari Ari.

Seperti yang Puspa cita-citakan setelah memutuskan untuk meninggalkan semuanya. Wanita itu memilih mendirikan sebuah kedai kopi di Bandung. Ia menjual rumahnya di Jakarta dan membeli sebuah rumah yang jadi satu dengan kedai untuk ia berjualan.

Tempat ini strategis, karena selain dekat dengan rumah ayahnya, kedai kopi Puspa pun berada di pinggir jalan menuju tempat wisata terkenal di Dago.

“Teteh, donatnya mau ditaruh dimana?” Mentari muncul dari balik pintu dapur. Selain menyediakan kopi, kedai Puspa juga menyediakan donat dengan berbagai macam toping. Bukan Puspa yang membuat tapi ia memesan dari istri ayahnya. Karena kedai ini cukup ramai, hasilnya bisa digunakan untuk tambahan pendapatan Ibu Mentari.

“Di tata yang rapi di etalase ya, Dek.”

“Siap Teteh.”

Hidup Puspa saat ini sangat lengkap. Ia memiliki dua keluarga, meskipun dulu ia tidak terlalu dekat dengan ibu Mentari tapi seringnya intensitas kerjasama mereka membuat banyak percakapan yang tercipta. Dan ya, Puspa kembali merasakan kehangatan sebuah keluarga. Puspa juga sempat mengunjungi Ibunya di desa. Seperti Ayahnya, kedua orangtua Puspa bahagia dengan cara mereka masing-masing.

Ting.

Puspa kembali berdiri di balik mesin kasir, ia menanti dengan senyum ramah saat ada lagi pengunjung yang datang.

“Selamat siang, Kak. Selamat datang di cafe ‘kenangan’. Mau pesan apa?” tanya Puspa menyambut pembeli dengan ramah.

“Best seller di sini apa, Kak?”

“Kami punya ice coffe huzelnut dan latte, Kakak bisa dapat extra donat jika membeli keduanya.”

“Waah, boleh Kak. Huzelnut satu dan latte satu. Untuk latte-nya bisa dicatat ya, Kak. Aku mau ekspreso-nya 2/6, 3/6 nya susu cair dan lebihnya foam. Boleh ditambah extra foam-nya sedikit saja.”

Puspa menulis setiap detail pesanan yang dipesan. Bekerja dengan pecinta kopi, Puspa sudah terbiasa menyesuaikan selera pelanggan yang berbeda-beda. “Siap, ada tambahan lain?”

“Sudah cukup.”

“Totalnya 70 ribu ya, Kak.”

Pembeli itu memberikan uang seratus ribuan dan Puspa mengembalikan kembalian sesuai yang tertulis di nota. “Terima kasih, mohon ditunggu.”

Puspa kembali meneriakan pesanan dan membantu Kinan mengantar pesanan saat wanita itu terlihat kerepotan. Suara bel berdenting saat ada pelanggan masuk menarik perhatian Puspa. Pintu kembali terbuka, tapi bukan pembeli yang datang.

“A’ Rakaaaa.”

Bukan Puspa yang berteriak, melainkan Mentari. Gadis kecil yang sangat dekat dengan Raka itu berteriak kegirangan saat matanya menemukan sosok Raka. Ia berlari menuju Raka yang membuka kedua tangannya lebar menanti pelukan Mentari. “A’ Raka lama nggak main kesini,” sewot Mentari.

“Maaf, A’ sedikit sibuk akhir-akhir ini,” jawabnya.

Raka membawakan sebuah boneka panda besar untuk Mentari. Gadis kecil itu berlari ke arah dapur untuk menunjukan hadiah dari Raka kepada Ibunya.

“Latte?” tawar Puspa.

“Boleh, Bu Bos.”

“Haha. Tunggu gue di belakang ya.”

“Siap,” jawab Raka.

Puspa menyiapkan pesanan Raka lalu meminta izin untuk menemani tamunya sebentar. Meskipun dia adalah pemilik kedai ini tapi dia tetap memposisikan dirinya sebagai pekerja.

“Gue izin temani Raka bentar ya,” ucap Puspa ke arah Kinan.

“Siap, Mbak. Aman kok.”

“Nanti kalau rame telepon aja, gue bawa hape.”

“Siaaap.”

Puspa membawa satu es kopi latte pesanan Raka dan menemui laki-laki itu di belakang rumah.

Meskipun Puspa membeli tanah yang tidak terlalu luas tapi dia menyisakan sebuah ruang untuk taman di belakang rumahnya. Raka sudah menunggunya, duduk di ayunan yang terbuat dari kayu yang sering mereka gunakan untuk berbincang tentang banyak hal.

“Bagaimana? Semuanya lancar kan?” tanya Puspa membuka perbincangan.

“Lancar. Meskipun gue harus bolak-balik Bandung Jakarta.” Sekedar informasi, Raka menyusul Puspa ke Bandung setelah satu tahun kepindahan Puspa ke kota ini.

“Yang penting lancar.”

“Iyaa.” Raka menyerahkan sesuatu ke tangan Puspa dan wanita itu menerima dengan senyum lebar.

“Akhirnya gue dapet juga.”

“Lo adalah orang pertama yang gue kasih ini.”

“Ouuuch, gue tersanjung banget. Selamat yaa, akhirnya apa yang lo perjuangin bisa lo dapetin juga.”

“Heem, karena gue udah mutusin buat berjuang.”

“Haha, iyaa iyaa.”

Puspa membuka pemberian Raka. Dia melihat dengan jelas tertulis nama Raka disana yang bersanding dengan nama seorang wanita yang bukan dirinya.

The Wedding
Raka & Arini

Meskipun sempat merasa tidak nyaman saat mengetahui Raka pindah ke Bandung demi dirinya, tapi melihat laki-laki itu mendapatkan jodohnya disini, Puspa merasa lega.

Setelah hampir satu tahun ia berusaha, nyatanya nama Raka tak bisa sedikitpun menggeser nama seseorang di dalam hatinya. Dengan berat, Puspa memilih untuk melepaskan Raka, agar laki-laki itu bisa menemukan seseorang yang bisa menjadi belahan jiwanya.

Dan saat ini, Puspa bisa bernafas lega ketika Raka sudah menemukan ‘rumah’ yang benar-benar menjadi ‘rumahnya’.

“Gue ikut seneng lo mau nikah, Ka.”

“Thank’s. Meskipun gue udah nikah, gue akan tetep jadi temen lo.”

“Yaa, tentu saja,” jawab Puspa bohong. Melihat latar belakang keduanya yang pernah dekat, tentu bukan sesuatu hal yang baik jika mereka masih sering bertemu meskipun hanya sebagai teman. Raka punya Arini yang harus dijaga perasaannya.

“Gue langsungan ya. Arini nunggu di rumah soalnya. Habis ini kita mau nyari seserahan.”

“Okee, thank’s udah nyempetin mampir. Mentari dari kemarin nanyain lo terus.”

“Haha, yaa. Kapan-kapan gue kesini lagi ajak Arini.”

“Gue tunggu.”

Puspa mengantar Raka kembali ke mobilnya sambil berbincang banyak hal. Seperti biasa, seorang Raka tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Satu langkah mendekati mobil, Raka memutar tubuhnya cepat hingga mengejutkan Puspa.

“Gue nggak tahu lo pengen denger ini atau nggak. Tapi sumpah! Gue nggak bisa buat nggak ngomong ke lo.”

Puspa mengerutkan kedua alisnya saat mendengar kalimat Raka yang membingungkan. “Apaan sih, Ka?” tanya Puspa bingung.

Raka memejamkan matanya terlihat kesulitan, membuat Puspa bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin dikatakan laki-laki itu.

“Rakaa,” tegur Puspa saat laki-laki itu justru membisu.

“Gue denger Pak Arya cerai, lebih dari satu tahun yang lalu,” ucap Raka cepat tanpa jeda.

Setelah sekian purnama Puspa mencoba menenggelamkan nama Arya dari setiap sendi-sendi kehidupannya. Saat nama itu kembali disebut, ada kerapuhan yang tak bisa Puspa tutup-tutupi. Puspa memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain selain Raka. Ia tidak ingin perasaan yang selama ini ia tutupi dari dunia kembali terlihat.

“Sorry, Puspa. Gue ngomong ini sebagai sahabat. Please, jangan sembunyi dari perasaan lo terus menerus karena itu sangat menyakitkan.”

Puspa diam, tetap berusaha mendengarkan, meskipun jauh di lubuk hati-nya yang terdalam, dia enggan mendengar nama itu kembali disebut.

“Lo sulit menerima perasaan lo yang masih cinta sama laki-laki itu tapi nggak bisa juga menerima orang baru.”

“Raka, gue mohon untuk nggak usah bahas dia lagi.”

“Kenapa?”

“Gue nggak bisa,” jawab Puspa lemah.

“Karena? Apa karena lo masih cinta sama laki-laki itu, Puspa?”

Sialnya apa yang Raka ucapkan itu benar. “Terus gue harus gimana, Raka?”

“Berjuang buat cinta kalian, dia sudah bercerai.”

“Informasi yang lo dapetin belum tentu benar.”

Masih ada kemungkinan informasi yang didapatkan Raka itu tidak benar. Masih ada kemungkinan Arya saat ini sedang bercengkerama dengan keluarganya. Puspa tak ingin berharap karena harapan itu yang nanti akan kembali menyakitinya.

“Lo bisa cari tahu,” ucap Raka masih keukeuh.

“Kalau yang gue dapatkan dia sudah bahagia dengan keluarganya gimana? Kalau dia sudah ngelupain gue? Kalau sudah tidak ada lagi cinta buat gue?” Kali ini tetes airmata Puspa kembali mengalir dari matanya yang sendu. Dia lelah untuk terus berharap dan hancur karena harapannya.

“Tapi masih ada kemungkinan kalau informasi yang gue dapatkan itu benar. Masih ada kemungkinan kalau laki-laki itu punya perasaan yang sama dengan yang lo miliki. Masih ada kemungkinan laki-laki itu masih berjuang buat lo, Puspa.”

“Raka—.”

“Gue nggak bisa lama-lama karena Arini nungguin di rumah,” putus Raka. “Sebagai sahabat gue cuma pengen lo bahagia, Puspa.”

“Gue tahu.”

“Bahagia itu dikejar, diperjuangkan. Bukan didapat begitu saja.”

Benar begitu?

Puspa kecil pernah bertanya kepada ayah, tentang makna sebuah keluarga. Dan ayah menjawab, keluarga adalah tempat dimana kita bisa berlindung dari ketidaknyamanan dunia. Jika keluarga tidak memiliki fungsi itu, lalu apa kita menyebutnya?

Mungkin itu ujian, jawab ayah Puspa.

Dan setelahnya, keluarga yang ia miliki, satu-satunya tempatnya berlindung tak lagi berdiri tegak. Rumah Puspa roboh, meninggalkan Puspa yang kesepian di dalamnya.

Ada banyak hal yang Puspa lalui tapi ia bersyukur karena masih bisa berdiri menatap dunia dengan kedua kakinya sendiri.

Malam ini, Puspa dewasa duduk di ayunan kayu belakang rumahnya yang memiliki dua muka. Bisa melihat kedepan dan juga memiliki dudukan untuk melihat pemandangan dari arah belakang.

Puspa melihat ke arah belakang rumah yang sedang menampilkan kelap kelip lampu kota dari jarak jauh.

Setiap malam, ia sering menghabiskan waktunya di sini jika kedainya sudah tutup. Kadang, Puspa merasa kesepian. Dia butuh ramainya lampu kota untuk sekedar menunjukan bahwa dia tidak sendiri di bumi ini.

Puspa menyeruput es kopi dingin mililknya saat merasakan kehadiran seseorang selain dirinya di taman ini. Meskipun membelakangi, tapi dari aroma parfum yang masih teringat dengan jelas di otak Puspa menciptakan sebuah kecanggungan di tubuhnya. Ada debar tak menentu hanya dengan menyapu aroma parfum yang sangat ia kenal itu.

Malam memang dingin dengan detak jantung Puspa yang semakin berdebar cepat saat merasakan langkah kaki mendekat.

Puspa menghembuskan nafas dalam lalu mengeluarkannya dengan pasrah. Dia menanti apapun yang akan ia hadapi malam ini.

Saat laki-laki itu sudah mendudukan tubuhnya di ruang tersisa ujung kursi ayunan, Puspa semakin merasa tercekat. Arya duduk dengan begitu menawan, mengenakan pakaian kasual dan sweater yang terlihat hangat.

Lama menjeda, keduanya tak ada yang berniat membuka suara. Mereka berdua memilih untuk menikmati pemandangan kota Bandung dengan bunyi angin yang mendesau dari balik pepohonan.

“Aku minta maaf karena masih terus ingin menemuimu.” Arya memulai pembicaraan meskipun Puspa tidak mempersilahkan.

“Aku memang se-tidak tahu diri itu karena tetap menunjukan batang hidungku di hidupmu.”

Puspa tak berniat menanggapi, wanita itu hanya sesekali menyesap es kopinya yang sebenarnya sudah tandas sejak tadi.

“Aku sudah mencoba, sesuai keinginanmu. Aku belajar untuk hidup di dalam keluarga kecilku, tapi nyatanya sulit. Aku tetap kalah.”

“Aku tak pernah sedikitpun mencari tahu tentangmu, tapi pada akhirnya aku tetap memutuskan untuk melepaskan keluargaku. Bukan hanya aku, Ivy pun melakukan hal yang sama. Sejak kejadian dua tahun lalu ia mengalami keguguran, dan setelahnya wanita itu berubah menghindariku dan berakhir dengan kami yang tak lagi bisa berjalan berdampingan. Aku sudah bercerai dari Ivy.”

Meskipun kalimat yang Arya ucapkan sangat berpengaruh besar, tapi Puspa membiarkan Arya mengucapkan apa yang ingin ia sampaikan. Tak ada interupsi sedikitpun dari Puspa karena wanita itu hanya berniat mendengarkan.

“Kamu tidak perlu khawatir dengan Axel. Kami berjanji untuk tetap menjadi sebuah keluarga yang utuh untuk Axel.”

“Bii,” panggil Arya saat tak mendengar satu kalimat pun dari bibir wanita itu. Arya menelisik ke arah wanita yang masih mengunci bibirnya rapat-rapat. Puspa bahkan sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari arah kota Bandung.

“Aku tahu, aku memang tidak tahu diri karena masih mengharapkanmu. Setelah perceraian terjadi, aku mulai membenahi diriku sendiri, lalu mulai mencari keberadaanmu. Saat mendapatkan kabar pernikahan Raka, rasanya masih tetap sama, sakit. Maaf jika kemudian aku senang, saat mendengar jika mempelai wanita-nya bukanlah dirimu.”

“Kamu belum menjawab pertanyaan yang sudah aku tanyakan berulang kali. Apa kamu masih mencintaiku, Bii?”

Bibir Puspa masih tak mau menjawab. Memaksa Arya mengurungkan niatnya untuk berbicara banyak. Mungkin kedatangannya saat ini begitu mendadak dan tiba-tiba, Puspa belum siap untuk bertemu dengannya. Tentu saja, ditinggalkan berulang kali tidak akan semudah itu untuk dilupakan. Tapi sebagai laki-laki, Arya memiliki waktu seumur hidup untuk menunjukan keseriusan cintanya kepada Puspa.

“Maaf jika aku mengganggumu, aku tahu kedatanganku begitu tiba-tiba.”

Arya meletakan satu kotak cincin berwarna merah di ayunan. Meskipun tak melihat, Arya yakin Puspa tahu ia meletakan benda itu di sana. “Aku pergi, jangan terlalu lama di luar rumah. Udara sedang dingin-dinginnya.”

“Selamat malam.” Arya melangkahkan kakinya meninggalkan Puspa. Ia berjalan lemah saat pertemuan pertamanya dengan Puspa tidak terlalu bermakna. Ia menghela nafas berat sebelum kembali memaksakan kakinya untuk melangkah pergi.

“Kenapa baru pulang sekarang?”

Arya mematung, sedikit sangsi pertanyaan Puspa diarahkan untuk dirinya. Tapi, di taman ini hanya ada dia dan Puspa. Tidak mungkin kan Puspa bertanya kepada hantu? Dia bukan cenayang setahu Arya. “Aku?” tanya Arya memastikan sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.

“Hem.”

“Kamu tahu, —tidak mudah untukku bisa berdiri di sini sekarang ini.”

“Kenapa lama?” tanya Puspa masih dengan pertanyaan yang sama.

“Aku memang lelet, nggak peka. Aku memang tidak tahu diri, pokoknya semua aku yang salah. Karena aku bodoh, karena aku —banyak. Ada banyak kekuranganku, Bii.” Arya kembali mendekat, laki-laki itu mendudukan tubuhnya di depan Puspa dengan tatapan penuh harap. “Bii, kasih kesempatan untuk kita.”

“Kamu yakin?”

“Sangat,” jawab Arya pasti.

“Mungkin aku akan menjadi pasangan yang sangat posesif nantinya. Aku nggak mau lagi berjauhan, aku nggak mau lagi ada jarak.”

“Okee, aku akan selalu berada di rumah setelah bekerja. Aku tetep boleh kerja, kan? Kita butuh uang untuk hidup. Mungkin aku hanya akan keluar rumah untuk berolahraga, lari atau gym. Kalau tidak boleh pun aku bisa membuat tempat olahraga sendiri di rumah.”

“Aku mungkin akan sering ikut ke kantor.”

“Nggak apa-apa. Aku siap membawamu kemanapun aku pergi. Kalau dinas luar kamu juga boleh ikut biar aku bisa membawamu melihat dunia luar.”

“Aku mungkin akan menjadi wanita yang cemburuan dan tidak mudah percaya.”

“Aku pun akan begitu, cemburuan. Dan jika kamu tidak percaya aku akan selalu menjelaskan terus dan terus sampai kamu percaya,” jawab Arya menggebu. “Bii, kamu masih cinta sama aku?”

“Bodoh! Harusnya kamu nggak perlu nanya.”

“Aku cuma mau dengar dari bibirmu sendiri, Bii.”

Puspa merangkum wajah Arya, ia menariknya untuk mendekat. “Aku cinta sama kamu, Arya Adiputra. Aku cinta sama kamu dari dulu sampai detik ini, sampai nanti kamu akan selalu ada di dalam hatiku.”

“Sudah bisa dikondisikan. Lo ditunggu keluarga di Jakarta, Arya. Dan Puspa, gue sudah hubungi Raka kalau kalian pulang hari ini.”

Puspa menghela nafasnya berat, lalu mengangguk dengan senyum yang ia paksakan. “Kita sudah selesai, Bii,” ucap Puspa.

“Yaa,” jawab Arya menguatkan diri.

Malam harinya mereka langsung kembali ke Jakarta menggunakan pesawat. Dengan menyisakan keheningan Arya dan Puspa kembali bersiap. Arya dan Puspa berjalan bergandengan tangan menuruni tangga hotel tempat mereka menginap. Mereka melihat Anton sudah berdiri menanti kedatangan mereka di lobby. “Kamu sudah siap?” tanya Arya.

“Siap tidak siap. Mari kita hadapi saja,” jawab Puspa pasti.

Dini hari mereka sudah sampai di Jakarta. Berjalan menyusuri jalan yang biasanya ramai tapi kini sepi seperti hati Arya dan Puspa. “Kita antar Puspa dulu, Ton.”

“Oke.”

Mobil memutar arah untuk mengantar Puspa ke rumahnya. Selama perjalanan pulang genggaman tangan keduanya tak pernah terlepas. Pemandangan itu tak luput dari pengamatan Anton. Tepat di depan rumah Puspa ia menemukan Raka yang berdiri menunggu wanita itu. “Takdirmu sudah menunggumu,” ucap Arya dengan tersenyum tipis.

“Yaa, terima kasih sudah mengantar,” jawab Puspa lebih ke arah Anton. “Hati-hati di jalan.” Puspa turun dan mobil kembali berjalan ke tujuan.

“Bagaimana?” tanya Anton. “Is everything okey?”

“Nggak akan pernah ada kata baik-baik saja jika itu tentang Puspa, Ton.”

“Kalian sudah mendapatkan waktu kalian, kali ini saatnya lo menghadapi kenyataan. Lo ditunggu Mr. Miller dan Pak Brama di rumah Miller.”

“Sekarang ini juga?”

“Yaa sekarang.”

“Gue capek.”

“Nggak ada alasan, Arya. Lo nggak tahu gimana perjuangan bokap lo, gue dan Ivy di sini untuk kalian.”

Arya malas kembali berdebat, laki-laki itu hanya menatap kosong ke arah jalanan luar melalui kaca jendela mobil yang berjalan. Saat nama Ivy disebut, ia kembali membayangkan wajah wanita itu yang sering menunggunya sepulang kerja. Ivy, seorang wanita yang akan menjadi masa depannya. Seorang wanita yang harus Arya lindungi hingga mereka menua bersama. “Bagaimana kabar Ivy?” tanya Arya.

“Dia baik.”

“Kandungannya?”

“She is fine.”

Disisi lain, Puspa yang menatap Raka saat menunggunya merasa melihat sebuah masa depan di mata laki-laki itu. “Terima kasih sudah menungguku.”

“Aku sudah bilang bahwa aku menitipkan hatiku padamu,” jawab Raka dengan senyumannya yang hangat.

“Ada banyak yang belum aku ceritakan kepadamu. Aku yakin kamu memiliki banyak pertanyaan untukku.”

Raka mengangguk. “Kita memiliki waktu yang banyak untuk saling bercerita. Sampai kita menua bersama.”

“Yaa, tentu saja.”

***

Dalam hidup manusia akan ada banyak manusia datangdan pergi silih berganti. Ada yang memang datang lalu menetap, ada juga yang datang lalu pergi meninggalkan kenangan.

After 2 years.

“Satu es coffe latte dan satu es coklat less sugar.”

“Ada lagi, Kak?”

“Mmm … sudah itu saja.”

“Baik, kami siapkan dulu. Meja nomor berapa?”

“Tiga.”

“Baik, mohon ditunggu.”

Gadis belia dengan tas ransel itu membayar pesanannya lalu kembali duduk di kursinya.

“Satu es kopi latte dan coklat, please.” Puspa berteriak ke arah Ari dan Kinan, dua karyawan yang sudah hampir dua tahun ini membantunya mengurus kedai kopi.

“Siap komandan,” jawab Ari. Ari adalah barista terampil yang dimiliki kedai kopi milik Puspa ini. Puspa beruntung mendapatkan laki-laki itu, karena ia bisa belajar banyak hal tentang kopi dari Ari.

Seperti yang Puspa cita-citakan setelah memutuskan untuk meninggalkan semuanya. Wanita itu memilih mendirikan sebuah kedai kopi di Bandung. Ia menjual rumahnya di Jakarta dan membeli sebuah rumah yang jadi satu dengan kedai untuk ia berjualan.

Tempat ini strategis, karena selain dekat dengan rumah ayahnya, kedai kopi Puspa pun berada di pinggir jalan menuju tempat wisata terkenal di Dago.

“Teteh, donatnya mau ditaruh dimana?” Mentari muncul dari balik pintu dapur. Selain menyediakan kopi, kedai Puspa juga menyediakan donat dengan berbagai macam toping. Bukan Puspa yang membuat tapi ia memesan dari istri ayahnya. Karena kedai ini cukup ramai, hasilnya bisa digunakan untuk tambahan pendapatan Ibu Mentari.

“Di tata yang rapi di etalase ya, Dek.”

“Siap Teteh.”

Hidup Puspa saat ini sangat lengkap. Ia memiliki dua keluarga, meskipun dulu ia tidak terlalu dekat dengan ibu Mentari tapi seringnya intensitas kerjasama mereka membuat banyak percakapan yang tercipta. Dan ya, Puspa kembali merasakan kehangatan sebuah keluarga. Puspa juga sempat mengunjungi Ibunya di desa. Seperti Ayahnya, kedua orangtua Puspa bahagia dengan cara mereka masing-masing.

Ting.

Puspa kembali berdiri di balik mesin kasir, ia menanti dengan senyum ramah saat ada lagi pengunjung yang datang.

“Selamat siang, Kak. Selamat datang di cafe ‘kenangan’. Mau pesan apa?” tanya Puspa menyambut pembeli dengan ramah.

“Best seller di sini apa, Kak?”

“Kami punya ice coffe huzelnut dan latte, Kakak bisa dapat extra donat jika membeli keduanya.”

“Waah, boleh Kak. Huzelnut satu dan latte satu. Untuk latte-nya bisa dicatat ya, Kak. Aku mau ekspreso-nya 2/6, 3/6 nya susu cair dan lebihnya foam. Boleh ditambah extra foam-nya sedikit saja.”

Puspa menulis setiap detail pesanan yang dipesan. Bekerja dengan pecinta kopi, Puspa sudah terbiasa menyesuaikan selera pelanggan yang berbeda-beda. “Siap, ada tambahan lain?”

“Sudah cukup.”

“Totalnya 70 ribu ya, Kak.”

Pembeli itu memberikan uang seratus ribuan dan Puspa mengembalikan kembalian sesuai yang tertulis di nota. “Terima kasih, mohon ditunggu.”

Puspa kembali meneriakan pesanan dan membantu Kinan mengantar pesanan saat wanita itu terlihat kerepotan. Suara bel berdenting saat ada pelanggan masuk menarik perhatian Puspa. Pintu kembali terbuka, tapi bukan pembeli yang datang.

“A’ Rakaaaa.”

Bukan Puspa yang berteriak, melainkan Mentari. Gadis kecil yang sangat dekat dengan Raka itu berteriak kegirangan saat matanya menemukan sosok Raka. Ia berlari menuju Raka yang membuka kedua tangannya lebar menanti pelukan Mentari. “A’ Raka lama nggak main kesini,” sewot Mentari.

“Maaf, A’ sedikit sibuk akhir-akhir ini,” jawabnya.

Raka membawakan sebuah boneka panda besar untuk Mentari. Gadis kecil itu berlari ke arah dapur untuk menunjukan hadiah dari Raka kepada Ibunya.

“Latte?” tawar Puspa.

“Boleh, Bu Bos.”

“Haha. Tunggu gue di belakang ya.”

“Siap,” jawab Raka.

Puspa menyiapkan pesanan Raka lalu meminta izin untuk menemani tamunya sebentar. Meskipun dia adalah pemilik kedai ini tapi dia tetap memposisikan dirinya sebagai pekerja.

“Gue izin temani Raka bentar ya,” ucap Puspa ke arah Kinan.

“Siap, Mbak. Aman kok.”

“Nanti kalau rame telepon aja, gue bawa hape.”

“Siaaap.”

Puspa membawa satu es kopi latte pesanan Raka dan menemui laki-laki itu di belakang rumah.

Meskipun Puspa membeli tanah yang tidak terlalu luas tapi dia menyisakan sebuah ruang untuk taman di belakang rumahnya. Raka sudah menunggunya, duduk di ayunan yang terbuat dari kayu yang sering mereka gunakan untuk berbincang tentang banyak hal.

“Bagaimana? Semuanya lancar kan?” tanya Puspa membuka perbincangan.

“Lancar. Meskipun gue harus bolak-balik Bandung Jakarta.” Sekedar informasi, Raka menyusul Puspa ke Bandung setelah satu tahun kepindahan Puspa ke kota ini.

“Yang penting lancar.”

“Iyaa.” Raka menyerahkan sesuatu ke tangan Puspa dan wanita itu menerima dengan senyum lebar.

“Akhirnya gue dapet juga.”

“Lo adalah orang pertama yang gue kasih ini.”

“Ouuuch, gue tersanjung banget. Selamat yaa, akhirnya apa yang lo perjuangin bisa lo dapetin juga.”

“Heem, karena gue udah mutusin buat berjuang.”

“Haha, iyaa iyaa.”

Puspa membuka pemberian Raka. Dia melihat dengan jelas tertulis nama Raka disana yang bersanding dengan nama seorang wanita yang bukan dirinya.

The Wedding
Raka & Arini

Meskipun sempat merasa tidak nyaman saat mengetahui Raka pindah ke Bandung demi dirinya, tapi melihat laki-laki itu mendapatkan jodohnya disini, Puspa merasa lega.

Setelah hampir satu tahun ia berusaha, nyatanya nama Raka tak bisa sedikitpun menggeser nama seseorang di dalam hatinya. Dengan berat, Puspa memilih untuk melepaskan Raka, agar laki-laki itu bisa menemukan seseorang yang bisa menjadi belahan jiwanya.

Dan saat ini, Puspa bisa bernafas lega ketika Raka sudah menemukan ‘rumah’ yang benar-benar menjadi ‘rumahnya’.

“Gue ikut seneng lo mau nikah, Ka.”

“Thank’s. Meskipun gue udah nikah, gue akan tetep jadi temen lo.”

“Yaa, tentu saja,” jawab Puspa bohong. Melihat latar belakang keduanya yang pernah dekat, tentu bukan sesuatu hal yang baik jika mereka masih sering bertemu meskipun hanya sebagai teman. Raka punya Arini yang harus dijaga perasaannya.

“Gue langsungan ya. Arini nunggu di rumah soalnya. Habis ini kita mau nyari seserahan.”

“Okee, thank’s udah nyempetin mampir. Mentari dari kemarin nanyain lo terus.”

“Haha, yaa. Kapan-kapan gue kesini lagi ajak Arini.”

“Gue tunggu.”

Puspa mengantar Raka kembali ke mobilnya sambil berbincang banyak hal. Seperti biasa, seorang Raka tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Satu langkah mendekati mobil, Raka memutar tubuhnya cepat hingga mengejutkan Puspa.

“Gue nggak tahu lo pengen denger ini atau nggak. Tapi sumpah! Gue nggak bisa buat nggak ngomong ke lo.”

Puspa mengerutkan kedua alisnya saat mendengar kalimat Raka yang membingungkan. “Apaan sih, Ka?” tanya Puspa bingung.

Raka memejamkan matanya terlihat kesulitan, membuat Puspa bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin dikatakan laki-laki itu.

“Rakaa,” tegur Puspa saat laki-laki itu justru membisu.

“Gue denger Pak Arya cerai, lebih dari satu tahun yang lalu,” ucap Raka cepat tanpa jeda.

Setelah sekian purnama Puspa mencoba menenggelamkan nama Arya dari setiap sendi-sendi kehidupannya. Saat nama itu kembali disebut, ada kerapuhan yang tak bisa Puspa tutup-tutupi. Puspa memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain selain Raka. Ia tidak ingin perasaan yang selama ini ia tutupi dari dunia kembali terlihat.

“Sorry, Puspa. Gue ngomong ini sebagai sahabat. Please, jangan sembunyi dari perasaan lo terus menerus karena itu sangat menyakitkan.”

Puspa diam, tetap berusaha mendengarkan, meskipun jauh di lubuk hati-nya yang terdalam, dia enggan mendengar nama itu kembali disebut.

“Lo sulit menerima perasaan lo yang masih cinta sama laki-laki itu tapi nggak bisa juga menerima orang baru.”

“Raka, gue mohon untuk nggak usah bahas dia lagi.”

“Kenapa?”

“Gue nggak bisa,” jawab Puspa lemah.

“Karena? Apa karena lo masih cinta sama laki-laki itu, Puspa?”

Sialnya apa yang Raka ucapkan itu benar. “Terus gue harus gimana, Raka?”

“Berjuang buat cinta kalian, dia sudah bercerai.”

“Informasi yang lo dapetin belum tentu benar.”

Masih ada kemungkinan informasi yang didapatkan Raka itu tidak benar. Masih ada kemungkinan Arya saat ini sedang bercengkerama dengan keluarganya. Puspa tak ingin berharap karena harapan itu yang nanti akan kembali menyakitinya.

“Lo bisa cari tahu,” ucap Raka masih keukeuh.

“Kalau yang gue dapatkan dia sudah bahagia dengan keluarganya gimana? Kalau dia sudah ngelupain gue? Kalau sudah tidak ada lagi cinta buat gue?” Kali ini tetes airmata Puspa kembali mengalir dari matanya yang sendu. Dia lelah untuk terus berharap dan hancur karena harapannya.

“Tapi masih ada kemungkinan kalau informasi yang gue dapatkan itu benar. Masih ada kemungkinan kalau laki-laki itu punya perasaan yang sama dengan yang lo miliki. Masih ada kemungkinan laki-laki itu masih berjuang buat lo, Puspa.”

“Raka—.”

“Gue nggak bisa lama-lama karena Arini nungguin di rumah,” putus Raka. “Sebagai sahabat gue cuma pengen lo bahagia, Puspa.”

“Gue tahu.”

“Bahagia itu dikejar, diperjuangkan. Bukan didapat begitu saja.”

Benar begitu?

Puspa kecil pernah bertanya kepada ayah, tentang makna sebuah keluarga. Dan ayah menjawab, keluarga adalah tempat dimana kita bisa berlindung dari ketidaknyamanan dunia. Jika keluarga tidak memiliki fungsi itu, lalu apa kita menyebutnya?

Mungkin itu ujian, jawab ayah Puspa.

Dan setelahnya, keluarga yang ia miliki, satu-satunya tempatnya berlindung tak lagi berdiri tegak. Rumah Puspa roboh, meninggalkan Puspa yang kesepian di dalamnya.

Ada banyak hal yang Puspa lalui tapi ia bersyukur karena masih bisa berdiri menatap dunia dengan kedua kakinya sendiri.

Malam ini, Puspa dewasa duduk di ayunan kayu belakang rumahnya yang memiliki dua muka. Bisa melihat kedepan dan juga memiliki dudukan untuk melihat pemandangan dari arah belakang.

Puspa melihat ke arah belakang rumah yang sedang menampilkan kelap kelip lampu kota dari jarak jauh.

Setiap malam, ia sering menghabiskan waktunya di sini jika kedainya sudah tutup. Kadang, Puspa merasa kesepian. Dia butuh ramainya lampu kota untuk sekedar menunjukan bahwa dia tidak sendiri di bumi ini.

Puspa menyeruput es kopi dingin mililknya saat merasakan kehadiran seseorang selain dirinya di taman ini. Meskipun membelakangi, tapi dari aroma parfum yang masih teringat dengan jelas di otak Puspa menciptakan sebuah kecanggungan di tubuhnya. Ada debar tak menentu hanya dengan menyapu aroma parfum yang sangat ia kenal itu.

Malam memang dingin dengan detak jantung Puspa yang semakin berdebar cepat saat merasakan langkah kaki mendekat.

Puspa menghembuskan nafas dalam lalu mengeluarkannya dengan pasrah. Dia menanti apapun yang akan ia hadapi malam ini.

Saat laki-laki itu sudah mendudukan tubuhnya di ruang tersisa ujung kursi ayunan, Puspa semakin merasa tercekat. Arya duduk dengan begitu menawan, mengenakan pakaian kasual dan sweater yang terlihat hangat.

Lama menjeda, keduanya tak ada yang berniat membuka suara. Mereka berdua memilih untuk menikmati pemandangan kota Bandung dengan bunyi angin yang mendesau dari balik pepohonan.

“Aku minta maaf karena masih terus ingin menemuimu.” Arya memulai pembicaraan meskipun Puspa tidak mempersilahkan.

“Aku memang se-tidak tahu diri itu karena tetap menunjukan batang hidungku di hidupmu.”

Puspa tak berniat menanggapi, wanita itu hanya sesekali menyesap es kopinya yang sebenarnya sudah tandas sejak tadi.

“Aku sudah mencoba, sesuai keinginanmu. Aku belajar untuk hidup di dalam keluarga kecilku, tapi nyatanya sulit. Aku tetap kalah.”

“Aku tak pernah sedikitpun mencari tahu tentangmu, tapi pada akhirnya aku tetap memutuskan untuk melepaskan keluargaku. Bukan hanya aku, Ivy pun melakukan hal yang sama. Sejak kejadian dua tahun lalu ia mengalami keguguran, dan setelahnya wanita itu berubah menghindariku dan berakhir dengan kami yang tak lagi bisa berjalan berdampingan. Aku sudah bercerai dari Ivy.”

Meskipun kalimat yang Arya ucapkan sangat berpengaruh besar, tapi Puspa membiarkan Arya mengucapkan apa yang ingin ia sampaikan. Tak ada interupsi sedikitpun dari Puspa karena wanita itu hanya berniat mendengarkan.

“Kamu tidak perlu khawatir dengan Axel. Kami berjanji untuk tetap menjadi sebuah keluarga yang utuh untuk Axel.”

“Bii,” panggil Arya saat tak mendengar satu kalimat pun dari bibir wanita itu. Arya menelisik ke arah wanita yang masih mengunci bibirnya rapat-rapat. Puspa bahkan sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari arah kota Bandung.

“Aku tahu, aku memang tidak tahu diri karena masih mengharapkanmu. Setelah perceraian terjadi, aku mulai membenahi diriku sendiri, lalu mulai mencari keberadaanmu. Saat mendapatkan kabar pernikahan Raka, rasanya masih tetap sama, sakit. Maaf jika kemudian aku senang, saat mendengar jika mempelai wanita-nya bukanlah dirimu.”

“Kamu belum menjawab pertanyaan yang sudah aku tanyakan berulang kali. Apa kamu masih mencintaiku, Bii?”

Bibir Puspa masih tak mau menjawab. Memaksa Arya mengurungkan niatnya untuk berbicara banyak. Mungkin kedatangannya saat ini begitu mendadak dan tiba-tiba, Puspa belum siap untuk bertemu dengannya. Tentu saja, ditinggalkan berulang kali tidak akan semudah itu untuk dilupakan. Tapi sebagai laki-laki, Arya memiliki waktu seumur hidup untuk menunjukan keseriusan cintanya kepada Puspa.

“Maaf jika aku mengganggumu, aku tahu kedatanganku begitu tiba-tiba.”

Arya meletakan satu kotak cincin berwarna merah di ayunan. Meskipun tak melihat, Arya yakin Puspa tahu ia meletakan benda itu di sana. “Aku pergi, jangan terlalu lama di luar rumah. Udara sedang dingin-dinginnya.”

“Selamat malam.” Arya melangkahkan kakinya meninggalkan Puspa. Ia berjalan lemah saat pertemuan pertamanya dengan Puspa tidak terlalu bermakna. Ia menghela nafas berat sebelum kembali memaksakan kakinya untuk melangkah pergi.

“Kenapa baru pulang sekarang?”

Arya mematung, sedikit sangsi pertanyaan Puspa diarahkan untuk dirinya. Tapi, di taman ini hanya ada dia dan Puspa. Tidak mungkin kan Puspa bertanya kepada hantu? Dia bukan cenayang setahu Arya. “Aku?” tanya Arya memastikan sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.

“Hem.”

“Kamu tahu, —tidak mudah untukku bisa berdiri di sini sekarang ini.”

“Kenapa lama?” tanya Puspa masih dengan pertanyaan yang sama.

“Aku memang lelet, nggak peka. Aku memang tidak tahu diri, pokoknya semua aku yang salah. Karena aku bodoh, karena aku —banyak. Ada banyak kekuranganku, Bii.” Arya kembali mendekat, laki-laki itu mendudukan tubuhnya di depan Puspa dengan tatapan penuh harap. “Bii, kasih kesempatan untuk kita.”

“Kamu yakin?”

“Sangat,” jawab Arya pasti.

“Mungkin aku akan menjadi pasangan yang sangat posesif nantinya. Aku nggak mau lagi berjauhan, aku nggak mau lagi ada jarak.”

“Okee, aku akan selalu berada di rumah setelah bekerja. Aku tetep boleh kerja, kan? Kita butuh uang untuk hidup. Mungkin aku hanya akan keluar rumah untuk berolahraga, lari atau gym. Kalau tidak boleh pun aku bisa membuat tempat olahraga sendiri di rumah.”

“Aku mungkin akan sering ikut ke kantor.”

“Nggak apa-apa. Aku siap membawamu kemanapun aku pergi. Kalau dinas luar kamu juga boleh ikut biar aku bisa membawamu melihat dunia luar.”

“Aku mungkin akan menjadi wanita yang cemburuan dan tidak mudah percaya.”

“Aku pun akan begitu, cemburuan. Dan jika kamu tidak percaya aku akan selalu menjelaskan terus dan terus sampai kamu percaya,” jawab Arya menggebu. “Bii, kamu masih cinta sama aku?”

“Bodoh! Harusnya kamu nggak perlu nanya.”

“Aku cuma mau dengar dari bibirmu sendiri, Bii.”

Puspa merangkum wajah Arya, ia menariknya untuk mendekat. “Aku cinta sama kamu, Arya Adiputra. Aku cinta sama kamu dari dulu sampai detik ini, sampai nanti kamu akan selalu ada di dalam hatiku.”

By adminmg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *