Kamu yang Kusebut Rumah 6Kamu yang Kusebut Rumah 6

CRTDALAM Kalau aku mengatakan karena aku masih mencintaimu, apa kamu percaya?

Dalam setiap langkah kaki Puspa, kalimat itu terngiang seakan tak mau lepas dari otaknya. Arya yang mengucapkan dengan wajah frustasi penuh tekanan. Arya yang mengucapkan dengan mata yang menunjukan keteguhan. Semua itu terekam jelas di kepala Puspa.

Selama ini Puspa selalu menanamkan di hatinya bahwa Arya sudah menghianati cintanya, meninggalkannya demi wanita lain yang lebih sempurna. Tapi sekarang, Puspa mulai meragu alasan dibalik kepergian Arya.

Benarkah selama ini hanya dirinya yang tersakiti?

Ada sesak yang berkumpul di dada, tak sedikitpun terjeda meskipun sekuat tenaga Puspa mencoba untuk tidak mempercayai kalimat Arya. Nyatanya kalimat itu adalah kalimat yang masih sangat ia harapkan untuk kembali terdengar.

“Semua itu hanyalah kebohongan,” batin Puspa lirih. Ia mencoba mengusir kebodohannya saat mulai terpengaruh dengan kalimat yang baru saja Arya ucapkan.

Puspa menatap pantulan dirinya sendiri di depan kaca wastafel toilet. Seorang wanita biasa dengan rambut kucir kuda polos. Seorang anak yang tumbuh dari keluarga yang tak utuh. Sampai kapanpun Puspa tak akan pernah sebanding dengan Arya.

Setelah ia meninggalkan ruang kerja Arya, Puspa memilih melarikan diri ke toilet, seperti biasa. Puspa membasuh wajahnya dan mengambil waktu sebanyak-banyaknya untuk mengembalikan logikanya yang menguap saat mendengar ucapan cinta dari Arya.

Derap langkah mendekat memaksa Puspa memejamkan matanya kuat-kuat. Dan saat mata itu terbuka, ia menemukan sosok Arya yang sudah berdiri di balik tubuhnya.

“Aku mencintaimu, sejak dulu sampai sekarang,” ucap Arya dengan mata mereka yang tertaut melalui kaca wastafel. “Kamu adalah wanita yang tak pernah tergeser sedikitpun di sini,” tunjuk Arya ke dadanya.

Puspa tidak percaya! Jika cinta tak bisa membuat Arya bertahan di sisinya, maka semua yang keluar dari bibir laki-laki itu hanyalah kebohongan belaka. “Kenapa kamu masih berniat menyakitiku? Kenapa kamu tak pernah puas memberikan harapan kepadaku?!” Puspa mulai kehilangan akal. Ia marah dan benci kepada Arya dan dirinya sendiri yang masih saja lemah.

“Aku tahu kamu tidak akan pernah percaya dengan ucapanku, Bii,” jawab Arya kecewa. Arya menghela nafasnya berat sambil tersenyum palsu yang terasa menyakitkan bagi siapapun yang melihatnya.

Puspa memutar tubuhnya untuk menatap ke arah Arya langsung. Ada buncah rasa yang luar biasa menyiksa saat melihat laki-laki itu kembali berdiri di hadapannya dengan kalimat cinta. Lima tahun Puspa memupus harapan untuk mendapatkan jawaban dari setiap pertanyaannya untuk Arya. Lima tahun Puspa mencoba membunuh rasa sakit yang selalu menghantuinya. “Kamu tidak menjawab pertanyaanku,” ucap Puspa lirih.

“Aku sudah mengatakan aku mencintaimu! Aku hampir mati, gila karenamu! Bagaimana aku bisa menyakitimu jika air matamu itu menyiksaku!” Arya berteriak lalu menendang dengan keras tempat sampah yang ada di sudut ruangan hingga jatuh berserakan.

Arya melepaskan emosi yang bersirobok di dalam hati. Ia lalu mendekat, mengikis jarak ke arah wanita yang masih terkejut dengan semua yang terjadi begitu banyak dan cepat. Arya merangkum wajah Puspa dan memaksa wanita itu untuk melihat ke arahnya. “Aku mencintaimu, Puspa. Aku mencintaimu!” ucap Arya dengan sorot mata tajam dan otot-otot yang tercetak jelas di kulitnya. Ada rasa kecewa dan marah saat Puspa tak mempercayainya.

“Kenapa?” tanya Puspa tercekat. “Kenapa kamu meninggalkanku jika … kamu mencintaiku?” Setelah lima tahun ia menyimpan pertanyaan itu seorang diri, akhirnya siang ini ia mampu bertanya langsung ke sumber kesakitannya.

“Karena aku pengecut,” jawab Arya lirih. “Aku pengecut karena tak berani menunjukan kesalahanku. Aku tak ingin kamu membenciku karena pengkhianatan, aku mau kamu merindukanku yang meninggalkanmu tanpa penjelasan. Aku takut kehilangan cintamu jika kamu tahu … aku —aku sudah menghamili wanita lain saat masih menjalin hubungan denganmu.”

Rasa sakit yang sebelumnya mulai terbiasa kini kembali bermunculan dengan rasa sakit yang asing. Hati Puspa tercubit banyak, ngilu dan sesak. Meskipun mereka sudah tidak berada di dalam sebuah hubungan, fakta Arya menghamili wanita lain saat bersamanya semakin menghancurkan Puspa.

“Aku mabuk, Ivy telanjang di depanku dan aku kalah.”

Sebuah tamparan Arya dapatkan di pipi kanannya.

“Kamu egois!” ucap Puspa. Satu tamparan kembali ia dapatkan di sisi lainnya. “Selama lima tahun aku menunggu penjelasan darimu. Selama bertahun-tahun aku menunggumu kembali melihatku, tapi yang aku dapatkan justru kamu yang sudah melangkah jauh meninggalkanku.” Puspa mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan di hatinya.

“Aku minta maaf.”

“Aku membencimu.”

Puspa melepaskan diri dari kungkungan Arya tapi laki-laki itu kembali menahan tubuhnya untuk tetap berada pada tempatnya. Arya kembali memojokan tubuh Puspa ke dinding, lalu mengunci tubuh wanita itu disana. “Bukan hanya kamu yang tersakiti, Bii. Aku —aku tidak pernah merasa hidup sejak kehilanganmu.”

“Bohong! Aku tidak akan percaya lagi dengan setiap kata-katamu.”

“Itu fakta, aku membenci takdirku! Aku membencimu yang bisa tertawa lepas bersama laki-laki lain sedangkan aku harus terpuruk di dalam sebuah keluarga yang tak ada cinta di dalamnya. Hidupku hambar tanpa kamu, aku —.”

“Arya, lepaskan aku.” Jarak mereka terlalu dekat, bahkan Puspa mampu merasakan deru nafas Arya yang hebat.

“Katakan apa yang harus aku lakukan? Katakan apa yang harus aku lakukan dengan perasaanku?!” tanya Arya menuntut dengan menekankan setiap kalimat demi kalimat. “Aku meninggalkan diriku seutuhnya pada dirimu, Bii.”

Tangan Arya menahan kedua tangan Puspa di dada. Laki-laki itu berharap Puspa merasakan kejujurannya, merasakan cintanya yang masih sama. Ada tetes air mata Arya yang jatuh membasahi pipi. Hal yang memaksa Puspa untuk melakukan yang sama. Ia lelah untuk berpura-pura kuat. Mereka berdua lelah untuk berpura-pura bisa. “Bagaimana aku bisa hidup jika bahagiaku kamu?” tanya Arya dengan mengusap pipi Puspa lembut.

Laki-laki itu terlihat begitu berhati-hati mengusap wajah Puspa, seakan wajah itu mudah retak dengan sentuhannya. Ia menyatukan keningnya dengan kening Puspa. Ia berharap bisa membagi kesedihan yang selama ini ia rasakan seorang diri. “Aku tahu aku salah, aku pengecut. Aku menjaga semua-nya tapi lupa caranya menjaga diriku sendiri,” tambah Arya dengan isakan yang semakin menjadi. “Bii, katakan aku harus bagaimana? I need you, Bii.”

Tangis Arya pecah, ia mendudukan tubuhnya di hadapan Puspa yang membeku. Laki-laki itu memeluk tubuh Puspa dengan kuat, seakan takut wanita itu kembali meninggalkannya sendirian.

“Arya …”

“Aku mohon biarkan seperti ini —sebentar saja.”

Lama mereka terdiam dalam keheningan. Satu-satunya suara yang mendominasi ruangan ini hanyalah isakan Arya yang terasa menyesakkan bersamaan dengan isakan Puspa yang rapuh.

“Saat kamu memutuskan hubungan kita melalui panggilan telepon, aku bingung, tak percaya. Bagaimana bisa seseorang yang dulunya dekat bisa semudah itu melepas?” ucap Puspa memecah sepi.

“Satu bulan pertama aku masih terus menghubungimu, tiga bulan berikutnya aku mulai takut kehilanganmu. Dan saat aku menemukan potret dirimu bersama wanita lain, mulai detik itu juga aku sadar bahwa aku sudah benar-benar kehilangan Arya-ku. Tumpuanku selama ini saat orangtuaku sibuk dengan kehidupannya masing-masing.” Puspa bermonolog, tak berminat membuka sebuah percakapan.

“Aku selalu bertanya, salahku dimana? Apa aku pernah membuatmu marah? Apa aku tidak baik? Apa aku kurang cantik? Apa … aku kurang sepadan? Semua prasangkaku selalu berujung pada diriku yang masih belum cukup pantas untuk bersanding denganmu.”

“Itu fakta, aku membenci takdirku! Aku membencimu yang bisa tertawa lepas bersama laki-laki lain sedangkan aku harus terpuruk di dalam sebuah keluarga yang tak ada cinta di dalamnya. Hidupku hambar tanpa kamu, aku —.”

“Arya, lepaskan aku.” Jarak mereka terlalu dekat, bahkan Puspa mampu merasakan deru nafas Arya yang hebat.

“Katakan apa yang harus aku lakukan? Katakan apa yang harus aku lakukan dengan perasaanku?!” tanya Arya menuntut dengan menekankan setiap kalimat demi kalimat. “Aku meninggalkan diriku seutuhnya pada dirimu, Bii.”

Tangan Arya menahan kedua tangan Puspa di dada. Laki-laki itu berharap Puspa merasakan kejujurannya, merasakan cintanya yang masih sama. Ada tetes air mata Arya yang jatuh membasahi pipi. Hal yang memaksa Puspa untuk melakukan yang sama. Ia lelah untuk berpura-pura kuat. Mereka berdua lelah untuk berpura-pura bisa. “Bagaimana aku bisa hidup jika bahagiaku kamu?” tanya Arya dengan mengusap pipi Puspa lembut.

Laki-laki itu terlihat begitu berhati-hati mengusap wajah Puspa, seakan wajah itu mudah retak dengan sentuhannya. Ia menyatukan keningnya dengan kening Puspa. Ia berharap bisa membagi kesedihan yang selama ini ia rasakan seorang diri. “Aku tahu aku salah, aku pengecut. Aku menjaga semua-nya tapi lupa caranya menjaga diriku sendiri,” tambah Arya dengan isakan yang semakin menjadi. “Bii, katakan aku harus bagaimana? I need you, Bii.”

Tangis Arya pecah, ia mendudukan tubuhnya di hadapan Puspa yang membeku. Laki-laki itu memeluk tubuh Puspa dengan kuat, seakan takut wanita itu kembali meninggalkannya sendirian.

“Arya …”

“Aku mohon biarkan seperti ini —sebentar saja.”

Lama mereka terdiam dalam keheningan. Satu-satunya suara yang mendominasi ruangan ini hanyalah isakan Arya yang terasa menyesakkan bersamaan dengan isakan Puspa yang rapuh.

“Saat kamu memutuskan hubungan kita melalui panggilan telepon, aku bingung, tak percaya. Bagaimana bisa seseorang yang dulunya dekat bisa semudah itu melepas?” ucap Puspa memecah sepi.

“Satu bulan pertama aku masih terus menghubungimu, tiga bulan berikutnya aku mulai takut kehilanganmu. Dan saat aku menemukan potret dirimu bersama wanita lain, mulai detik itu juga aku sadar bahwa aku sudah benar-benar kehilangan Arya-ku. Tumpuanku selama ini saat orangtuaku sibuk dengan kehidupannya masing-masing.” Puspa bermonolog, tak berminat membuka sebuah percakapan.

“Aku selalu bertanya, salahku dimana? Apa aku pernah membuatmu marah? Apa aku tidak baik? Apa aku kurang cantik? Apa … aku kurang sepadan? Semua prasangkaku selalu berujung pada diriku yang masih belum cukup pantas untuk bersanding denganmu.”

Rumah itu pelindung. Tempat melepaskan lelah. Tempat dimana kita menemukan rasa aman. Rumah melindungi kita dari dinginnya malam, dari panasnya siang. Rumah adalah tempat dimana kita bisa menjadi diri sendiri tanpa perlu mendengar penghakiman dari orang lain.

Seperti itulah rumah yang Arya harapkan. Tempatnya melepas semua topeng manis dari dunia yang seringnya tak sejalan. Ia membutuhkan rumah yang benar-benar bisa menjadi tempatnya pulang.

“Lo bener,” ucap Arya. Ia meletakan satu gelas kosong yang sudah ia tenggak isinya sampai tandas. “Gue sudah benar-benar kehilangan Puspa. Pertemuan ini hanya untuk mengakhiri hubungan kami yang masih belum benar-benar selesai.”

“Kalian sudah memiliki kehidupan masing-masing, Arya. Jangan di usik, lebih baik kalian mencoba mencari kebahagiaan dalam kehidupan kalian saat ini. Jangan mengenang kebahagiaan yang sudah berada di masa lalu karena itu akan ngebuat lo nggak bisa merasakan kebahagiaan yang ada saat ini,” jawab Anton.

Sepulang kerja ia terpaksa menuruti keinginan Arya yang memintanya untuk ditemani ‘minum’. Saat penat atau sedang benar-benar merasa tumpul dengan kehidupannya, Arya lebih sering melepaskan kesedihannya dengan minuman keras. Tidak sampai mabuk, Arya hanya ingin sedikit menghangatkan badan saja.

Dan seperti biasa, Anton akan selalu berusaha menjadi pendengar yang baik untuk sahabatnya.

“Gue akan belajar mengikhlaskan semuanya.”

“Lo pasti bisa, Bos. Lo punya Ivy yang cinta sama lo, Axel yang merupakan duplikasi diri lo seutuhnya dan bayi yang saat ini ada di dalam kandungan Ivy. Hidup lo sempurna kalau lo bersyukur.”

Arya memejamkan matanya mengusir penat. Semakin jauh melangkah ia semakin kehilangan sosok Puspa di belakangnya. Dia berbohong saat mengatakan akan memulai kehidupan barunya dengan Ivy sewaktu memasuki pintu keberangkatan Bandara. Nyatanya, Arya masih selalu dibayangi kehidupannya dengan Puspa. Lalu sekarang, saat kata ‘memaafkan’ terucap dari bibir wanita itu, apakah perasaannya serta merta berubah?

“Kalau gue tetap nggak bisa gimana, Ton?” tanya Arya khawatir.

“Hidup bukan hanya tentang cinta, Arya. Hidup juga tentang cara mengikhlaskan dan menciptakan kebahagiaan lo sendiri. Meskipun itu mungkin nggak akan sesempurna kebahagiaan lo bersama, Puspa. Tapi gue yakin, akan selalu ada yang bisa disyukuri dalam hidup lo saat ini.”

“Yaaa, gue akan belajar semuanya dari awal,” putus Arya.

Sekitar pukul sepuluh malam Arya sudah sampai di rumahnya. Saat melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang ia rasakan hanyalah sepi dan dingin. Ia langsung menuju kamar utama, kamar dimana Ivy biasa tidur di dalamnya.

“Mas,” panggil wanita itu saat mendengar pintu terbuka.

“Heem. Belum tidur?”

“Sudah.” Ivy mendudukan tubuhnya sambil mengucek kedua matanya. Mata Ivy terlihat lelah dengan rambut yang sedikit acak-acakan. Benar kata Anton, pulang dan disambut dengan pemandangan lucu seperti saat ini seharusnya sudah bisa membuat Arya bersyukur dengan hidupnya.

“Kamu tidur lagi saja, ini sudah malam.”

“Mas Arya mau disiapin air hangat?” tawarnya.

“Aku bisa menyiapkannya sendiri.”

Ivy tetap berdiri berniat melayani suaminya. Tidak biasanya Arya masuk ke kamar ini, laki-laki itu lebih sering menghabiskan waktunya di kamar tamu atau ruang kerja.

“Kamu tidur, aku bisa menyiapkannya sendiri,” titah Arya. Ada trenyuh di hatinya melihat Ivy yang selalu berusaha melayaninya dengan baik meskipun wanita itu terlahir menjadi seorang Tuan Putri. Sesuatu yang selama ini tak pernah ia perhatikan karena hidupnya selalu dibayang-bayangi kisah masa lalunya.

Seperti tak mau mendengar perintah suaminya, Ivy tetap melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Namun di langkah keduanya, tubuh Ivy tertahan karena tautan tangan Arya yang menghentikannya.

Arya mengikis jarak lalu memeluk tubuh wanita itu dari belakang. “Terima kasih,” ucap Arya.

“Mas Arya mabuk?”

“Terima kasih karena selalu melayaniku. Menjadi istri yang baik dan ibu yang luar biasa.”

“Mas Arya pasti lagi mabuk.” Ivy hendak memutar tubuhnya tapi Arya benar-benar menahan tubuh itu untuk tetap berdiri pada tempatnya.

“Kamu cinta sama aku?” tanya Arya tiba-tiba.

“Seharusnya Mas Arya nggak perlu nanya itu.”

Arya menguatkan pelukannya, ia meletakan kepalanya di bahu Ivy yang terbuka. Lama Arya membisu dan Ivy seakan sedang memberikan waktu sepenuhnya kepada Arya. “Awal aku melihatmu, kamu tidak lebih dari seorang gadis kecil lucu yang selalu meminta perhatian. Aku sempat sebal, tapi lambat laun aku mulai menyayangimu —seperti adikku sendiri.”

“Mas …”

“Sebentar saja, dengarkan aku,” mohon Arya. “Aku ingin menjagamu, menjadi seorang laki-laki yang berdiri di depanmu saat ada laki-laki iseng yang mencoba menggodamu. Bahkan, aku ingin ikut menyeleksi laki-laki yang mungkin akan menjadi pacarmu,” ucap Arya dengan tersenyum tipis saat mengingat keposesifannya kepada Ivy dulu.

“Lalu saat aku tahu kamu hamil karena ulahku, aku merasa sangat kecewa dengan diriku sendiri. Seharusnya aku menjagamu, bukan justru merusak hidupmu. Kamu masih memiliki masa depan yang panjang di depan sana.”

“Tapi Ivy mau.”

“Hal tersulit dari pernikahan ini bukan hanya tentang masa laluku, tapi juga tentang merubah caraku melihatmu. Dari seorang gadis kecil yang kusayangi seperti adiku sendiri menjadi pasangan hidup untuk berbagi.”

“Mas Arya cinta sama Ivy?”

“Kalau kamu bertanya saat ini, aku akan dengan mudah menjawab tidak,” jawab Arya. Laki-laki itu kini membawa tubuh Ivy untuk menghadapnya, ia merangkum wajah wanita itu untuk menatapnya. “Tapi jika kamu bertanya satu tahun kemudian, dua tahun atau sampai tahun-tahun berikutnya aku belum tentu menjawab dengan jawaban yang sama.”

“Apa yang ingin Mas Arya sampaikan? Mas Arya tahu otakku kecil, terlalu sulit memahami maksud kalimat Mas Arya yang rumit.”

“Ivy …”

“Yaa? Aku disini dari tadi.”

“Apakah kamu bisa mengajariku cara mencintaimu?”

Ivy mematung dengan bibir yang terbuka lebar. Selama hidup pernikahannya dengan Arya tak sekalipun keduanya membahas tentang cinta. Arya selalu sibuk bekerja dan akan sibuk mencari alasan untuk menghindari Ivy saat berada di rumah. Lalu tiba-tiba malam ini ia mengatakan kalimat cinta?

“Mas Arya minum berapa gelas?”

“Aku serius,” ucap Arya meyakinkan.

“Aku juga serius, pasti Mas Arya akan menyesal esok hari,” jawab Ivy. Ia melepaskan tangan Arya dari tubuhnya lalu merangkum wajah laki-laki itu sedikit kasar untuk menyadarkan Arya.

“Lebih baik Mas Arya tunggu duduk manis, Ivy akan menyiapkan air hangat untuk Mas Arya mandi.”

Ivy kembali hendak melangkah ke kamar mandi tapi justru tangannya ditarik Arya dalam satu kali hentakan. Arya mencium bibir Ivy, lembut dan ringan. Ciuman pertama mereka berdua yang dimulai oleh Arya. “Aku berjanji akan belajar untuk mencintaimu, untuk hidup di dalam keluarga kecil kita,” janji Arya.

“Mas Arya sudah pernah mengatakan hal itu. Tapi nyatanya berulang kali Mas Arya tetap mengatakan tak pernah ada Ivy di sini,” tunjuk Ivy ke dada Arya.

“Aku minta maaf. Bisa kita memulainya dari awal?”

“Kenapa?” tanya Ivy ingin tahu. Sebuah keterkejutan yang amat besar saat tiba-tiba Arya berubah dalam waktu 1×12 jam. Tadi pagi, laki-laki itu masih terlihat menghindarinya. Lalu bagaimana bisa seorang manusia tiba-tiba berubah dalam waktu sesingkat itu? Padahal Ivy sudah menunggu perubahan itu selama lebih dari lima tahun.

“Aku sudah benar-benar menyelesaikan masa laluku.”

Masih tentang Puspa. Batin Ivy.

“Aku ingin memulai kehidupan baruku bersama kalian,” ucap Arya sambil mengusap perut Ivy dengan lembut.

Laki-laki itu kembali mendekatkan tubuh mereka dan memberikan pelukan terhangatnya. Ada begitu pertanyaan yang bersirobok di dalam kepala Ivy. Apa yang terjadi dengan suaminya hari ini?

Jika ini masih tentang Puspa, Ivy akan memulai kembali perjuangannya. Arya sudah membuka hatinya dan kali ini adalah kesempatan terbaik Ivy untuk benar-benar menyingkirkan wanita itu.

Tidak akan ada Puspa lagi di dalam hidup Arya dan Ivy akan memastikan hal itu.

“Pokoknya, Ivy nggak mau ada pengganggu di dalam rumah tangga Ivy, Dad.”

“Apapun itu akan Daddy lakukan untuk kebahagiaanmu.”

“Thank you, Dad. I love you.”

Beep.

Seperti angin segar yang berhembus saat Arya memintanya untuk memulai kembali hubungan mereka. Selama lima tahun pernikahan keduanya, ucapan Arya semalam adalah sesuatu yang sangat Ivy harapkan selama ini.

Arya yang mau belajar membuka hati untuknya. Ivy sangat bahagia, hingga nyaris tak pernah melepas senyum dari wajah cantiknya.

“Mau kemana?” tanya Arya saat melihat istrinya sudah berdandan cantik di pagi hari.

“Ke rumah Mama Runi, lagian aku juga mau ngapain di rumah kalau kamu mau pergi dengan membawa Axel?”

Seperti hari Sabtu pagi pada umumnya, Arya biasanya memiliki janji bermain golf dengan beberapa partner bisnis. Kadang laki-laki itu pergi bersama Daddy Miller atau juga Papa Brama. Sebagai Ayah yang baik, Arya juga sering membawa Axel pergi dengannya. Kata Arya, dia ingin memiliki waktu yang berkualitas dengan anaknya.

“Kamu bisa ikut dengan kita, kalau mau,” ucap Arya.

Ivy tersenyum simpul saat mendengar kalimat Arya. Tidak biasanya laki-laki itu memberikan tawaran untuk mengajaknya pergi bersama. Mungkin ini adalah salah satu bukti bahwa apa yang Arya ucapkan semalam benar-benar ia lakukan.

“Mmm, aku ingin ikut tapi aku sudah ada janji dengan Mama.”

“Baiklah, nanti aku jemput di rumah Mama lalu kita makan malam di luar. Bagaimana?” tawar Arya.

Ivy mengangguk senang, ia memberikan pelukan terhangatnya untuk suaminya. “Mau banget.”

“Oke, kita pergi dulu,” pamit Arya sambil mencium bibir Ivy sekilas.

Jika ditanya rentang skala kebahagiaan dari nilai nol sampai sepuluh, maka letak kebahagiaan Ivy saat ini ada di angka seratus. Ivy sangat bahagia, hingga kadang ia terlupa jika ada seseorang yang bisa merebut kebahagiaan ini sewaktu-waktu.

Pagi ini, Ivy berdiri disini untuk kembali memperjuangkan kebahagiaan dan keutuhan keluarganya. Salah satu caranya adalah dengan mendatangi rumah Puspa. Tidak ada yang salah dari seorang istri yang menegur seorang wanita yang memiliki resiko besar menjadi pengganggu dalam rumah tangganya. Benar bukan?

“Hai, apa ada waktu?”

Ivy berdiri di depan pintu rumah Puspa dengan penuh percaya diri. Sebelum ke rumah Mama Runi, ia menyempatkan untuk singgah menemui Puspa.

“Maaf kalau aku mengganggu hari liburmu,” tambah wanita itu lagi. “Apa aku boleh masuk?”

Keterkejutan di wajah Puspa tidak berlangsung lama. Wanita itu membuka pintu rumahnya lebar dan mempersilahkan Ivy masuk. Meskipun mereka tidak saling mengenal tapi Puspa tahu siapa wanita cantik yang berdiri di hadapannya saat ini.

Wanita dengan rambut panjang tergerai yang bergelombang di bagian bawah dan mata tajam yang memancarkan keanggunan. Istri Arya memang memiliki fisik yang nyaris sempurna.

“Silahkan masuk.”

Ivy mendudukan tubuhnya di sofa tanpa perlu diminta. Mata wanita itu memindai setiap detail rumah Puspa dari balik bulu mata lentiknya. Sesuatu yang membuat Puspa merasa tidak nyaman.

Puspa duduk di depan Ivy, sebagai tuan rumah yang baik seharusnya Puspa menawarkan minuman tapi ada harapan besar di hatinya wanita itu tidak bertahan lama di rumahnya.

Puspa sudah memutuskan untuk menutup lembaran kisahnya bersama Arya. Dan kedatangan Ivy tidak ada di dalam rencananya.

“Apa Mas Arya pernah kesini?” tanyanya.

Pertanyaan Ivy terlalu menghakimi menurut Puspa. Sebagai seorang istri apakah ia tidak percaya dengan suaminya?

“Pak Arya tidak pernah datang ke rumah ini.”

“Benarkah?” tanya Ivy dengan nada meragu. “Kita semua tahu Puspa, bagaimana situasi yang kita hadapi saat ini.”

“Situasi seperti apa? Maaf, saya kurang paham.”

Ivy tersenyum tipis dengan wajah meremehkan. Wanita itu juga mengeluarkan tawa ringan sumbang sambil mengalihkan pandangannya dari arah Puspa.

“Aku tidak sebodoh itu untuk kalian bohongi,” ucap Ivy serius. Kali ini ia berkata dengan manik mata tajam dan bibir yang mengatup kuat. “Puspa, meskipun kamu dan Mas Arya masih memiliki keterikatan di masa lalu tapi sekarang bagiku kamu tetaplah pengganggu dalam rumah tangga kami.”

Puspa menggeleng merasa tidak terima. Bahkan air matanya pun belum mengering menangisi takdirnya yang menyedihkan, lalu tiba-tiba wanita ini berdiri di hadapannya dengan asumsinya sendiri yang memojokan.

“Kamu perempuan, Puspa. Seharusnya kamu sadar untuk tidak menyakiti hati seorang istri yang sedang hamil dan seorang anak yang membutuhkan kasih sayang dari ayahnya. Jangan menjadi egois.”

Ada rasa tidak terima bersikokol di dalam hati Puspa. Siapa yang menyakiti siapa? Siapa yang lebih egois dalam masalah ini.

“Meskipun dulu aku pernah melakukan kesalahan dengan Mas Arya, bukan berarti itu bisa dijadikan pembenaran untuk posisimu saat ini,” cerca wanita itu lagi. “Aku ingin kamu meninggalkan Mas Arya. Aku ingin kamu pergi dari Jakarta, pergi dari kami.”

Selama hidupnya, Puspa lebih banyak menekan perasaan ketimbang memaksakan orang lain untuk mengikuti pola pikirnya. Puspa banyak diam, dia malas berdebat. Bagi Puspa, menjelaskan sebuah masalah dengan orang yang memiliki sudut pandang berbeda dengannya itu percuma.

Tapi sekarang ini, Puspa merasa harus untuk mempertahankan harga dirinya.

“Aku akan pergi, bukan karenamu atau karena Arya. Tapi lebih karena demi menyelamatkan diriku sendiri.”

Ivy menegakan tubuhnya canggung, tidak menduga bahwa mengusir Puspa bisa semudah itu. Seharusnya dia tidak perlu melibatkan Daddy-nya dalam masalah ini.

“Aku tidak ingin menjadi egois, maka aku memaafkan Mas Arya dan melepaskan laki-laki itu agar tetap bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah ia lakukan,” jelas Puspa dengan senyum tipis yang tegas.

“Hidup dari keluarga bercerai, aku paham bahwa hidup itu bukan hanya tentang diriku tapi juga tentang perasaan orang lain. Aku pernah bertanya kepada Tuhan, kenapa harus orangtuaku bercerai? Lalu waktu menjawab, karena mereka lebih bahagia ketika berpisah. Mulai detik itu aku merasa menjadi manusia paling egois jika memaksa kedua orangtuaku untuk tetap bersama. Sedangkan kebersamaan mereka hanya untuk saling menyakiti.”

Ada bogam besar yang memukul telak di relung hati Ivy. Sesuatu yang awalnya sudah terbentuk tekad yang bulat, kini justru menciut saat apa yang ia dengar adalah sebuah rasa lain yang tak pernah ada di dalam otaknya.

Apakah selama ini, Ivy yang egois karena memaksa Arya untuk tetap berada di sampingnya?

“Kamu terlalu banyak bicara,” jawab Ivy menutupi kesakitan di dalam hatinya.

“Aku minta maaf. Jika keinginanmu kesini untuk mengusirku, aku pastikan akan pergi. Tapi aku ingin kamu berjanji satu hal kepadaku agar aku bisa pergi dengan ikhlas.”

“Apa itu?”

“Aku ingin kamu membahagiakan Mas Arya,” ucap Puspa dengan manik mata mengikat ke arah lawan bicaranya. “Aku mengenal Mas Arya sebagai laki-laki yang memiliki segala kemewahan tapi selalu haus dengan kasih sayang.”

“Dia selalu menginginkan rumah yang benar-benar bisa menjadi ‘rumahnya’,” jelas Puspa lagi. “Bagaimana Ivy, apakah kamu bisa berjanji untuk membahagiakan Mas Arya? Dan menjadi ‘rumah’ untuknya?” tanya Puspa sekali lagi.

Apakah Mas Arya bisa bahagia bersamaku? Apakah aku benar-benar ‘rumah’ yang di harapkan laki-laki itu? Banyak pertanyaan justru muncul di dalam otak cantik Ivy. Jika selama ini keberadaan Mas Arya hanya sebagai bentuk tanggung jawab, apakah laki-laki itu bisa bahagia bersamanya?

Pertanyaan Puspa seharusnya mudah ia jawab dengan cepat karena tentu saja Ivy akan selalu berusaha membahagiakan Arya. Tapi Ivy ragu, apakah Arya bisa benar-benar bahagia bersamanya?

***

“Apa Ivy jahat, Ma?”

“Apa Ivy egois?”

“Sweatheart,” panggil Mama Runi. “Kamu hanya belum paham.”

“Tapi Ivy sudah benar-benar menjadi seorang penjahat diantara Mas Arya dan wanita itu, Ma.”

Isakan Ivy semakin menjadi, ia menatap ke arah Mama Runi dengan tatapan sendu. Setelah menemui Puspa, bukan ketenangan yang ia dapatkan. Justru Ivy menjadi ragu tentang apa yang sedang ia perjuangkan?

Apakah ini tentang keluarganya? Cintanya? Atau hanya tentang keegoisannya saja?

“Sayang.” Mama Runi menarik tubuh Ivy mendekat. Anak perempuan satu-satunya itu tiba-tiba datang ke rumahnya dalam keadaan kacau. Tangis yang menderu dengan bibir yang bergetar hebat. Lalu sebuah cerita tentang awal hubungannya bersama Arya mengalir dengan lancar dari bibir gadis mungilnya itu, hingga tentang seorang wanita bernama Puspa. Wanita yang menjadi korban keegoisan Ivy si gadis kecilnya.

“Apa Ivy jahat?”

“Mungkin. Tapi semua orang pernah menjadi jahat, Sayang. Yang terpenting kamu bisa memperbaiki semuanya.”

“Ivy harus bagaimana, Ma? Ivy mencintai Mas Arya, Ivy ingin mempertahankan keluarga Ivy. Tapi kenapa semuanya terasa salah?”

“Ada apa ini?” Suara lain di ruangan ini tiba-tiba muncul.

Mr. Miller berdiri di ujung pintu taman belakang rumahnya sambil menatap marah ke arah dua wanita yang sangat berarti di dalam hidupnya sedang menangis.

“Apa ini tentang Arya?” tanya Mr. Miller menduga.

“Dad, ini —.”

“Daddy pastikan tidak akan ada pengganggu dalam rumah tangga kalian,” ucap Mr. Miller lalu melangkah pergi.

“Dad … Daddy, tunggu! Dengarkan Ivy.”

Mr. Miller mengabaikan Ivy yang berteriak menyusulnya. Laki-laki itu kembali masuk ke dalam mobil untuk menyelesaikan apa yang harus ia selesaikan dengan segera.

“Dad! Ini tidak seperti yang Daddy pikirkan,” teriak Ivy. Wanita itu mengetuk kaca pintu mobil agar Daddy-nya mau membukakan pintu dan mendengar penjelasan. Tapi seperti sedang menulikan pendengarannya, mobil tetap berjalan meninggalkan pelataran rumah.

“Bersihkan wanita itu, tak bersisa,” titah Mr. Miller melalui panggilan telefon.

Tidak ada yang boleh menyakiti Ivy-nya. Tidak boleh ada yang merebut kebahagiaan anaknya.

Malam tanpa bintang selepas hujan di tengah indahnya taman kota. Puspa duduk di salah satu bangku yang sedikit basah, dia memutar-mutar es teh yang tadi dia beli dengan tatapan mata kosong.

Setelah pertemuannya pagi tadi dengan istri Arya, Puspa merasa harus segera memutuskan sesuatu agar semuanya tak semakin bertambah rumit.

“Satu cilok pedas tanpa kecap sesuai permintaan Ningrum.”

Raka duduk di sampingnya. Mereka berdua sedang menikmati weekend dengan menghabiskan waktunya di taman dekat rumah Puspa. Raka terkejut saat tiba-tiba Puspa menghubunginya dan meminta untuk ditemani. Biasanya wanita itu sering menolak ajakan Raka, tapi malam ini Puspa yang tiba-tiba memintanya sendiri. “Ciloknya enak?” tanya Raka.

“Ck.”

“Kok nggak dijawab?”

“Semua cilok rasanya sama aja.”

“Dih, ada yang beda. Coba kalau lo mau main ke rumah gue, cilok buatan nyokap gue nggak ada duanya,” ucap Raka menggebu, sekaligus ada maksud lain di balik kalimat itu.

Puspa hanya mendengus sebal. Wanita itu memilih untuk kembali menancapkan lidi ke adonan tepung bulat miliknya dan memakannya langsung dalam satu kali suapan.

“Pelan-pelan, gue nggak minta.”

“Guuwhee lhaapheer —.”

“Telen dulu, Ningruum,” titah Raka.

Puspa menuruti kalimat Raka, ia menelan makanan di mulutnya lalu kembali memusatkan perhatian ke arah laki-laki itu. “Gue laper.”

“Makanya lo mau aja gue per-istri, biar bisa gue kasih makan tiap hari.”

“Lo bilang gitu udah kaya kucing aja gue.”

“Hahaha.” Raka mengacak-acak rambut Puspa yang rapi, sesuatu yang mulai ia sukai akhir-akhir ini.

Lama mereka kembali termenung dalam diam. Puspa dan Raka memilih menikmati cilok sambil melihat beberapa anak muda yang mulai berdatangan. Seperti Raka dan Puspa, kebanyakan mereka hanya ingin melepas lelah, mencari makanan ringan atau hanya ingin sekedar mengurai sepi.

“Rakaa,” panggil Puspa lirih.

“Hmm..”

“Gue mau resign.”

Tubuh Raka menunjukan keterkejutan, tapi laki-laki itu memilih tetap diam untuk mendengarkan penjelasan Puspa. Raka meletakan plastik berisi cilok yang hanya tinggal dua biji di ujung kursi dan menautkan perhatiannya penuh ke arah Puspa.

“Ini tentang masa lalu gue yang harus segera diselesaikan, seperti apa yang lo bilang. Dan keluar dari perusahaan AD Corporate adalah salah satu cara yang gue lakuin buat itu.”

Raka mendengar, duduk sambil meletakan kedua tangan di pangkuannya sendiri.

“Gue yakin ada banyak pertanyaan di otak lo. Tapi sementara ini, hanya itu yang bisa gue share ke lo. Suatu saat gue pasti bisa cerita lebih.”

Bagi Raka, Puspa yang terbuka kepadanya sudah lebih dari sekedar cukup untuk memulai kehidupan barunya bersama wanita itu. Dia tidak akan menuntut lebih. “Okeey, terus apa yang akan lo lakuin selanjutnya?” tanya Raka.

“Gue mau pindah ke Bandung, dekat sama rumah Bapak. Gue mau merintis usaha gue sendiri, kedai kopi.”

Raka cukup terpukau dengan jawaban Puspa. Ternyata di dalam otak serumit itu terbesit pemikiran cemerlang untuk memulai usahanya sendiri.

“Gimana menurut lo?” tanya Puspa meminta pertimbangan.

“Keren.”

“Serius?”

“He’eh, tidak ada pekerjaan yang lebih nikmat dari bekerja sesuai dengan kesukaan lo sendiri. Lo suka kopi, gue yakin pasti lo sukses dengan itu.”

Senyum di wajah Puspa terbit dengan sempurna mendengar jawaban Raka yang mendukungnya.

“Tapi nanti kita akan lebih sulit buat ketemu.” Tetapi Raka akan selalu mengungkapkan apa yang ada di dalam otaknya.

“Dua orang yang ditakdirkan terikat akan tetap dekat meskipun tidak saling melihat.”

“Ruum, kita sudah sama-sama dewasa. Lo pasti sadar kalau apa yang gue inginkan dari kita adalah sebuah pernikahan.”

Puspa mengangguk. “Beri gue waktu, Raka.”

“I will. Gue akan titipkan hati gue disini,” ucap Raka sambil menunjuk ke arah dada Puspa.

“Kalau ternyata gue tidak bisa menjaganya, bagaimana?”

“Mmm, sedih pasti. Tapi apapun itu yang penting bagi gue adalah kebahagiaan Ningrum.”

“Terima kasih,” ucap Puspa tulus. “Bener apa yang lo bilang, mengenal Raka adalah hal yang harus disyukuri dalam hidup gue.”

“Peres lo, Ningrum.”

“Hahahah, seriusaan.”

Puspa mengamati Raka yang tiba-tiba terlihat tidak nyaman. Laki-laki itu tertangkap mata sering melihat ke arah belakang tubuhnya lalu mengedarkan pandangan kemana-mana. “Kenapa?” tanya Puspa.

“Kenapa apa?”

“Lo kaya aneh. Kenapa? Ada mantan lo disini? Apa ada cewek lo?”

“Ck, cewek gue lagi makan malam,” jawab Raka santai.

“Kok nggak ditemenin?” Ada nada sebal di dalam kalimat Puspa. Wanita itu memasang wajah cemberut dengan pandangan yang ia alihkan dari sosok Raka.

“Gue temenin kok,” jawabnya lagi.

“Kan lo ada di sini.”

“Cewek gue lagi makan malam pakai cilok.” Seperti biasa, Raka mengucapkan kalimat itu dengan senyum tengil dan alis mata yang naik turun.

“Najis.”

“Nojas najis, suatu hari kesengsem juga lo sama gue.”

“Eh eh, kok berdiri?” tanya Puspa tidak terima saat melihat Raka yang tiba-tiba berdiri dari duduknya. “Gue masih pengen disini.”

“Kita pulang aja yuk. Gue temenin makan cilok-nya di rumah,” pinta Raka sambil menarik tangan wanita itu untuk mengikutinya.

“Tapi gue masih pengen disini, Raka.”

“Kita pulang,” jawab Raka tegas. Laki-laki itu kembali menyapu pandangannya ke mana-mana.

“Gue ada di hadapan lo, Raka.”

“Gue nggak nyari lo. Sekarang lebih baik kita pulang.”

Raka benar-benar serius. Laki-laki itu memaksa Puspa untuk ikut berjalan di sampingnya. Mereka bergandengan tangan sepanjang jalan, sesuatu yang terasa asing untuk Puspa tapi genggaman Raka terasa begitu menghangatkan.

Raka menyiapkan footstep untuk Puspa sebelum menghidupkan motor. Lalu mulai membawa motornya kembali menuju rumah Puspa. Taman kota ini tak jauh dari rumah Puspa. Mereka sengaja memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah karena mengingat esok hari bernama senin.

“Rum,” panggil Raka di tengah perjalanan pulang.

“Yaa?”

“Lo punya musuh?” tanyanya.

“Musuh? Apaan sih, Ka?” tanya Puspa bingung.

“Abaikan,” putus Raka. Laki-laki itu memilih untuk menaikan kecepatan motornya saat merasa ada sebuah mobil yang mengikuti mereka terus menerus.

Sejak berada di taman, Raka selalu menemukan pandangan orang yang mencurigakan ke arah Puspa. Sebagai seseorang yang cukup dekat dengan Puspa, ia tahu ada yang sedang mengamati mereka berdua sejak mereka meninggalkan rumah Puspa sore tadi.

Raka semakin mempercepat motornya untuk menghilangkan jejak dari mobil yang terus menerus membuntutinya.

“Rakaa, hati-hati,” tegur Puspa saat motor Raka mulai melaju kencang.

Raka kembali melihat ke arah belakang, kali ini ada mobil yang berbeda berjalan mendekat dengan cepat ke arahnya. Raka menukik tajam untuk memutar arah tapi tiba-tiba mobil itu justru berhenti tepat di depan motor Raka.

Seseorang dari dalam mobil keluar dengan tergesa. Laki-laki itu berhenti tepat di depan motor Raka.

Terkadang Raka merasa sangat mengenal Puspa dengan baik, tapi beberapa kali Raka merasa dia tidak mengenal Puspa sama sekali. Ada begitu banyak rahasia yang ada di dalam otak wanita itu, termasuk laki-laki yang saat ini berdiri di depannya dengan tatapan khawatir.

“Kita harus pergi,” ucap laki-laki itu.

Bagaimana Puspa bisa mengenal Pak Arya?

“Sorry, gue harus bawa Puspa pergi dari sini,” tambah laki-laki itu lebih ditujukan ke arah Raka.

“Aku nggak bisa pergi sama kamu,” putus Puspa. Wanita itu dengan berani menolak tegas ajakan pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.

“Puspa, aku mohon. Ikut aku, kamu ada dalam bahaya.”

Interaksi di hadapan Raka saat ini menciptakan asumsi besar di otaknya bahwa ada sesuatu diantara Puspa dan Pak Arya. Sesuatu yang membuat Puspa memutuskan resign demi benar-benar menyelesaikan masa lalunya.

Apakah Pak Arya adalah seseorang dari masa lalu Puspa?

Raka melihat seorang laki-laki yang sering bersama Arya ikut keluar dari mobil. Laki-laki itu menggenggam sebuah pistol untuk berjaga-jaga.

“B 121 xxx,” ucap Raka.

Anton melihat ke arah Raka bingung.

“Gue terakhir lihat mobil itu di pertigaan kedua sebelum ini. Gue lihat mobil itu pertama kali saat kita keluar dari rumah Puspa.”

Itulah alasan yang membuat Raka memaksa Puspa untuk segera pulang saat mereka berada di taman. Ia merasa ada yang membuntuti keduanya.

“Kita harus segera pergi,” paksa Anton. Mereka harus segera masuk ke dalam mobil sebelum sesuatu yang besar terjadi.

“Gue nggak mau pergi,” ucap Puspa lagi. Ia melihat ke arah Raka dengan sebuah permohonan yang kentara. Akan ada hal yang tidak baik jika Puspa ikut pergi bersama Arya. Ada sesuatu yang tidak bisa ia atur sesuai keinginannya, yaitu perasaannya sendiri. “Gue nggak mau,” ucap Puspa lagi.

“Lo harus pergi, ikut Pak Arya,” perintah Raka. Satu-satunya yang bisa menyelematkan Puspa saat ini hanyalah laki-laki itu. Meskipun ada perasaan tidak rela jika Puspa pergi bersama Arya.

“Puspa, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu padamu.” Arya ikut menyela.

“Tapi —kamu tahu ini bukan sesuatu yang baik untuk kita,” sanggah Puspa lagi.

“Ini demi nyawamu. Aku mohon, ikut sama aku,” ucap Arya.

Puspa kembali menatap ke arah Raka meminta persetujuan. Sesuatu yang membuat hati Arya berdesir ngilu. Ia memilih memejamkan matanya kuat-kuat karena tak ingin melihat pemandangan menyesakan dada di depan matanya langsung.

“Lo lebih baik pergi sama Pak Arya,” ucap Raka. Bersama dirinya, Puspa belum tentu aman.

“Puspa,” panggil Arya lagi. “Kita pergi?” Arya menengadahkan tangannya meminta sambutan tangan Puspa. Dengan penuh doa, wanita itu menerima uluran tangan Arya yang terbuka.

Rasa hangat yang dulu pernah ada kembali memenuhi hati Puspa saat tangan mereka kembali saling menggenggam. Malam ini, tangan mereka kembali tertaut setelah sebuah perpisahan dan jarak yang menyakitkan untuk keduanya.

Yaa … kembali tertaut!

Minggu pagi adalah hari yang sangat Arya tunggu-tunggu, di hari ini ia bisa menghabiskan waktunya bersama Axel setelah sibuk dengan pekerjaannya. Dan malam nanti, mereka akan pergi bersama dengan Ivy untuk makan malam. Seperti yang Arya ucapkan, dia akan berusaha memulai kembali kehidupannya bersama Ivy.

“Lo pulang dulu aja,” titah Arya ke Anton. Mereka sedang duduk di cafe dekat lapangan golf. Arya sedang menyuapi Axel buah-buahan dan Anton sedang sibuk dengan ponselnya.

“Tumben?”

“Gue mau jemput Ivy di rumah orangtuanya terus mau makan malam bersama.”

Senyum Anton memiliki banyak makna, dia ikut bahagia melihat Arya yang perlahan sudah mulai melepas masa lalunya. “Cieee,” goda Anton. “Mungkin lo butuh second honeymoon gitu. Haha.”

“Mungkin lain kali, Ivy lagi hamil muda.”

“Good luck buat lo, Bro. Gue yakin lo akan segera mendapatkan kebahagiaan.”

“Thank’s.”

Bunyi dering ponsel Arya mengalihkan perhatian laki-laki itu dari Axel. Ada nama Ivy di sana, laki-laki itu membersihkan tangannya sebelum mengambil ponsel di meja.

“Mas … Daddy, Daddy marah, aku —.”

“Pelan-pelan, Ivy. Ngomongnya pelan-pelan. Daddy kenapa?”

“Aku di rumah, nangis … lalu tiba-tiba Daddy datang terus marah. Puspa gimana Mas?”

Puspa? Arya benar-benar tidak memahami kalimat istrinya. Ia mulai menegakkan tubuhnya waspada saat nama itu disebut bersama dengan Mr. Miller dari bibir istrinya.

“Daddy kenapa?”

“Puspa dalam bahaya.”

Seketika itu juga Arya berdiri hingga kursi yang ia duduki terjatuh kasar di lantai. Anton yang sedang asik dengan game-nya kaget, ia ikut berdiri saat melihat bos-nya terlihat menyeramkan.

Ada apa? tanya Anton dengan isyarat mata.

“Ivy,” panggil Arya dengan desah frustasi. Dia baru saja hendak melangkah tapi istrinya kembali berulah. “Kenapa lagi?”

“Aku tidak bisa menjelaskan sekarang, Mas. Tapi aku benar-benar memohon untuk melindungi, Puspa. Bawa wanita itu pergi dari sini dan aku akan coba berbicara dengan Daddy.”

Ini tidak lucu! Bagaimana bisa Arya harus membawa Puspa pergi? Sedangkan efek Puspa masih begitu besar untuknya. Arya merasa usahanya akan menjadi percuma jika dia harus kembali dipertemukan dengan Puspa.

Tuhan? Kenapa lagi ini? teriak Arya dalam hati.

“Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang membahayakan Puspa,” ucap Ivy lagi dengan isakan yang jelas.

Arya juga tidak mungkin bisa memaafkan dirinya sendiri jika itu terjadi. “Aku akan mencari Puspa, bersama Anton,” putus Arya akhirnya.

Dan di sinilah sekarang dia berada, di dalam mobil yang sama dengan wanita yang masih menjadi pemilik hatinya. Bagaimana bisa takdir sehebat itu menulis cerita? Di saat Arya sudah belajar mengikhlaskan, mereka kembali harus berhadapan.

Arya melihat ke arah Puspa yang memojokan tubuhnya di ujung kursi dengan tatapan kosong. “Aku minta maaf karena harus melibatkanmu di dalam masalah keluargaku,” ucap Arya memecah sepi. Anton yang sedang mengemudi pun bisa ikut mendengarkan percakapan ini.

“Ada apa lagi ini?” tanya Puspa lemah.

“Aku juga tidak tahu, Ivy menghubungiku dan mengatakan kamu dalam bahaya. Dia memintaku untuk menyelamatkanmu.”

Puspa tersenyum tipis meragukan, pagi tadi wanita itu mendatanginya dan memintanya untuk pergi. Lalu malam ini tiba-tiba wanita itu berubah mengkhawatirkannya? “Istrimu mendatangiku pagi tadi,” ucap Puspa.

Arya bahkan Anton terkejut mendengar kalimat Puspa. Mereka berdua melihat ke arah Puspa, untuk Anton itu hanya terjadi sebentar karena laki-laki itu harus kembali fokus dengan kemudinya.

“Dia memintaku untuk pergi.”

“Aku —maaf, Puspa. Aku selalu —.”

“Nggak apa-apa,” jawab Puspa dengan senyum tipis, tapi semua orang tahu senyum itu tak sampai ke hatinya. “Wajar jika seorang istri meminta perempuan lain untuk menjauh dari suaminya.”

Arya menelan ludahnya kelu, dia ingin tahu apa saja yang diucapkan Ivy kepada Puspa. Apakah Ivy menyakiti wanita itu? Apakah Puspa semakin membencinya? Dan semua itu hanya berada di otak Arya karena dia tidak memiliki keberanian untuk bertanya.

“Kita mau kemana?” tanya Puspa. Dia tak ingin lagi membahas istri Arya. Dia hanya ingin nyawanya aman dan semua kembali baik-baik saja.

“Ton, kita kemana?” tanya Arya, sebenarnya dia juga bingung dengan rencananya sendiri.

“Gue juga lagi mikir,” jawab laki-laki itu singkat.

Mobil kembali berjalan membelah jalanan kota Jakarta yang ramai. Beberapa menit kemudian Anton menepikan jalan di sebuah stasiun yang terletak di tengah kota.

“Kenapa disini?” tanya Puspa pertama kali.

“Rencana yang ada di otak gue satu-satunya cuma ini, kalian pergi dari Jakarta kalau perlu keluar pulau jawa. Kita nggak tahu seberapa banyak koneksi Miller di sini.”

“Mas,” panggil Puspa tidak terima ke arah Arya. Tapi laki-laki itu justru meminta Puspa untuk diam dulu dan mendengarkan penjelasan Anton.

“Hanya ini satu-satunya jalan, Arya. Hubungi gue setelah dua hari, nanti gue bantu Ivy buat menyelesaikan masalah ini.”

“Anton…”

“Keselamatan Puspa lebih penting saat ini, apa ada yang salah dengan kalimat gue?” putus Anton. Laki-laki itu tidak memiliki solusi lain selain cara ini. Meskipun itu harus kembali mengorbankan perasaan Arya dan Puspa.

“Lo yang bawa Puspa pergi, atau … Raka,” tawar Arya meskipun dia sendiri takut jika hal itu terjadi.

“Gue belum yakin lo juga aman, Arya. Jika sudah berhubungan dengan keluarganya, Miller yang memiliki sifat setan bisa berubah menjadi iblis mematikan.”

Arya masih bingung, matanya berlarian mencari cara untuk terhindar dari situasi yang mungkin akan semakin menyudutkan dia dan Puspa.

“Kalau lo percaya gue atau Raka buat bawa Puspa pergi, it’s oke, gue tinggal jalan sekarang juga,” ucap Anton lagi.

“Oke, gue bawa Puspa pergi,” putus Arya setelah sekian lama menimbang. Tidak ada yang bisa ia percaya untuk menyelamatkan Puspa saat ini selain dirinya sendiri.

“Aku nggak bisa!” Puspa masih menolak. Wanita itu benar-benar tidak mau pergi berdua bersama Arya.

Arya sendiri pun ragu, tapi sama seperti Anton, tidak ada solusi lain selain Arya sendiri yang melindungi Puspa. Arya menarik tubuh Puspa untuk sedikit menjauh dari keramaian saat Anton pergi membeli tiket. “Papa Ivy sangat berbahaya. Kamu bisa terluka,” jelas Arya. Semua kalangan pesohor tahu bagaimana tangan dingin Miller jika keluarganya terusik.

“Kita temui laki-laki itu, kita jelaskan jika tidak ada hubungan apa-apa diantara kita.”

Puspa benar, tetapi kenapa Arya masih saja sakit hati mendengar kalimat itu? “Menurutmu laki-laki itu bisa percaya dan melepasmu begitu saja?”

Puspa tidak tahu!

“Tapi nggak harus juga pergi dari sini,” jawab Puspa kali ini dengan nada yang lebih rendah. Dia mulai bimbang.

“Tidak ada tempat yang aman di Jakarta. Aku harus membawamu pergi dari sini untuk sementara waktu.” Arya mencoba menjelaskan. “Aku janji, sorry maksudku aku akan berusaha untuk tidak melampaui batasku.”

Arya mungkin bisa berjanji, tapi ini bukan hanya tentang laki-laki itu. Tapi juga tentang Puspa yang tidak percaya dengan dirinya sendiri.

Anton sudah mendekat, laki-laki itu menyerahkan dua tiket kereta ke tangan Arya.

“Tiket ke Surabaya. Kalau saran gue pergi ke Bali. Gunakan kendaraan darat. Dua hari lagi lo telepon gue tapi jangan pakai ponsel lo sendiri,” instruksi Anton cepat dan banyak. “Mana ponsel lo?”

Arya menyerahkan ponselnya ke tangan Anton.

“Ponsel lo Puspa,” ucap Anton ke arah Puspa.

“Punya gue juga?” Ada nada tidak terima di kalimat Puspa.

Anton hanya mengangguk mengiyakan. Dengan terpaksa Puspa menyerahkan ponselnya ke tangan Anton.

Anton menyerahkan tas yang biasa ia bawa ke tangan Arya. “Ada uang lima puluh juta, barusan gue ambil, sementara jangan pakai kartu ATM lo dulu, bahaya.”

“Oke.”

“Kalian pergi sekarang,” usir Anton.

“Kita pergi, Puspa,” ajak Arya dengan melihat ke arah Puspa yang (masih) terlihat tidak terima.

Suara panggilan keberangkatan menarik kenangan Arya saat perpisahan keduanya dulu di Bandara. Tapi bedanya, kepergiannya kali ini membawa Puspa pergi. Seperti keinginannya dulu yang sempat ingin membawa Puspa melarikan diri.

“Puspa,” panggil Arya sekali lagi dengan nada penuh tekanan.

Tangannya kembali menengadah untuk meminta Puspa menyambutnya.

“Kita harus segera pergi,” tambah Arya sekali lagi.

Puspa kembali menyambut tangan Arya yang terbuka. Panggilan kedua keberangkatan kereta memaksa keduanya untuk segera masuk ke dalam stasiun.

Arya menarik tubuh Puspa, mereka berdua berlari mengejar kereta dengan tangan yang saling menggenggam.

“Bii, lebih cepat lagi.”

Puspa mempercepat langkahnya. Arya lebih dahulu masuk ke dalam kereta yang sudah berjalan dan menarik tubuh Puspa untuk ikutmasuk bersamanya.

By adminmg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *