Kamu yang Kusebut Rumah 6Kamu yang Kusebut Rumah 6

CRTDALAM Puspa merasa tenang dengan kehidupannya saat ini. Bekerja, tidur, baca novel dan bekerja lagi. Tak ada yang perlu ditakuti, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Arya tak lagi menemuinya dan Raka sudah tak duduk di samping tempat duduknya. Seperti inilah kehidupan yang diinginkan Puspa. Landai tak ada masalah, kuncinya hanya satu : Puspa hanya perlu menghindari berinteraksi di luar pekerjaan dengan orang lain.

Meskipun, ada setitik rindu yang Puspa rasakan untuk Raka. Biasanya laki-laki itu yang sering memberi warna dalam hidupnya, warna yang sangat dihindari Puspa karena sewaktu-waktu orang yang sama bisa merebutnya kembali.

“Hari ini ikut gue meeting, ya?” titah Mbak Dwi.

“Gue, Mbak?” tanya Puspa ragu sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.

“Iya, kenapa?”

“Kenapa nggak yang lain? Yang lebih senior gitu, gue baru—.”

“Gue males ribet sama mereka, lo tahu kan banyak yang nggak suka sama gue karena di anggap ribet termasuk Raka.” Mbak Dwi mengucap kalimat itu dengan cepat tanpa berniat memberikan jeda kepada Puspa untuk menjawab. “Nanti jam satu.”

“Ya, Mbak,” jawab Puspa akhirnya. Dia malas mendebat.

Puspa mendengar bunyi notifikasi pesan masuk di ponselnya, lalu senyumnya merekah membaca baitan pesan yang dikirim Raka, meskipun berbanding terbalik dengan pesan yang ia balas untuk laki-laki itu.

Raka :
Selamat bekerja Tuan Putri.

Me :
Basi lo!

Raka :
Gue akan ngulang2 terus kalimat ini sampai lo sadar kalau gue serius. Gue kangen sama Ningrum.

Puspa malas menjawab, ia lebih memilih meletakan ponselnya di meja lalu menyiapkan beberapa berkas yang dibutuhkan Mbak Dwi untuk meeting siang nanti.

Sial sedang menyambut Puspa, ia tidak menanyakan dengan siapa meeting siang ini. Dan saat derap langkah kaki mendekat ke dalam ruangan, Puspa tak lagi bisa keluar melarikan diri. Ia melihat mata Arya yang terkesiap saat bertemu dengan bola matanya, namun dengan cepat laki-laki itu mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.

“Saya tidak punya waktu banyak, bisa segera dimulai saja presentasinya.” Arya bertitah yang langsung diikuti seluruh peserta rapat.

Semua orang di ruangan ini memperhatikan presentasi yang dipaparkan bagian HRD. Selama rapat Puspa mencuri pandang ke arah Arya yang menautkan perhatian penuh ke arah depan. Laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya. Lalu Puspa merasa bodoh, kenapa harus ia berharap Arya melihatnya?

Setelah selesai Arya mengomentari sekilas presentasi hari ini dan lalu langsung berniat pergi.

Jika tidak salah menduga, Arya terlihat tidak nyaman. Seperti yang Puspa kira sebelumnya, mungkin Arya menyesal dengan pertemuan terakhir mereka dan merasa tidak enak hati karena harus bertemu dengannya lagi. Seharusnya, Puspa-lah yang merasa tidak enak hati karena tempat ini memang bukan tempatnya. Seharusnya Puspa tidak ada disini.

Sebelum acara ditutup, ada sedikit penyampaian dari tim HRD. Namun tiba-tiba …

Arya jatuh. Laki-laki itu terlihat kesakitan sambil memegangi dadanya yang sesak. Puspa tahu, Arya memiliki riwayat asma. Biasanya ia menyimpan inhaler di tas kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Arya melihatnya dengan tatapan mata meminta pertolongan. Kemana laki-laki yang biasa bersama Arya? Puspa menyapu ruangan tapi tak menemukan laki-laki itu disini.

“Pak Arya!” panggil Mbak Lita. Ia duduk di samping Arya terlihat kebingungan. Mungkin wanita itu juga tidak tahu jika Arya memiliki riwayat asma dan saat ini sedang terkena serangan. “Panggil satpam, panggil Anton atau siapapun itu,” titah Mbak Lita ke semua karyawan yang ada di ruangan sama. Mereka semua berdiri disekitar Arya padahal seharusnya hal itu tidak boleh dilakukan.

“Anton! Anton!” teriak Mbak Lita bingung.

Puspa memang membenci laki-laki itu, tapi membiarkan Arya kesakitan pun juga tak membuatnya merasa lebih baik. Jauh di lubuk hati Puspa yang paling dalam, dia menyayangi Arya dan tidak ingin terjadi sesuatu yang membahayakannya.

Setelah memupuk keberanian, Puspa berlari mendekat lalu mendudukan tubuhnya di samping Arya. Dengan cekatan tangan wanita itu mengambil inhaler yang ada di tas Arya, lalu menyiapkan obat yang biasanya sudah terpasang disana. Puspa mendudukan tubuh Arya, menahannya di pangkuan dan meletakan kepala Arya di bahunya. Ia membantu Arya memasukan inhaler ke mulut lalu menyemprotkan obatnya. “Tahan dulu,” tutur Puspa. Wanita itu menghitung sampai sepuluh detik agar obat masuk ke dalam paru-paru. “Aku semprot lagi ya,” ucap Puspa meminta persetujuan.

Arya mengangguk, tangan kirinya berada di atas tangan Puspa yang sedang menggenggam inhaler sedangkan tangan kanannya memegang kuat tangan Puspa lainnya. Puspa sering membantu Arya dulu, saat laki-laki itu mendapatkan serangan asma. Dan saat ini pun, semuanya masih tersimpan jelas di kepalanya.

“Sekali lagi,” ucap Puspa dan Arya mengangguk setuju. “Tahan dulu.”

Arya mengikuti setiap instruksi yang dititahkan Puspa kepadanya. Semua itu terekam dengan jelas oleh semua karyawan yang hadir termasuk Mbak Dwi dan Mbak Lita. Anton datang setelahnya dan meminta karyawan lain untuk keluar ruangan. “Sudah enakan?” tanya Puspa.

Arya menggeleng.

“Masih mau disemprot lagi?”

“Cukup,” jawab Arya sambil memejamkan mata.

Mereka tidak sadar bahwa posisi mereka saat ini … begitu dekat, intens dan intim. Arya terkapar di lantai dengan tubuh bagian atas bersandar di dada Puspa yang duduk di belakang laki-laki itu. Tangan kiri Puspa saat ini memeluk kepala Arya yang masih terpejam dan terlihat tidak nyaman. Sedangkan tangan lainnya digenggam erat tangan Arya seperti meminta kekuatan.

Puspa mengusap pipi Arya dengan lembut seperti yang ia lakukan dulu saat laki-laki itu terkena serangan asma. Biasanya hal ini bisa mengurangi kecemasan yang bisa memperparah serangan. “Masih sesak?” tanya Puspa sekali lagi.

“Sudah lumayan.”

Arya membuka mata, terpaku melihat wajah Puspa yang begitu dekat di depan matanya. Jeda dibiarkan sejenak, saat Arya melihat tatapan mata Puspa yang tak menyimpan benci. Wanita itu melihat ke arah Arya dengan khawatir, —seperti dulu. Jika boleh sebentar saja Arya ingin moment ini berhenti sesaat. Dia ingin kembali merasakan rasanya jadi Arya yang (sangat) dicintai Puspa-nya.

Namun harapan Arya pupus, ketika tiba-tiba wanita itu menjauhkan tubuhnya. Puspa berdiri dan terlihat canggung menatap ke arah Mbak Lita dan laki-laki bernama Anton.

“Terima kasih, Puspa,” ucap Anton.

Mbak Lita dan Puspa sendiri sedikit terkejut laki-laki itu tahu namanya.

“Yaa, terima kasih kembali. Saya senang bisa membantu Pak Arya. Saya pernah memiliki pengalaman merawat seseorang yang memiliki riwayat asma,” jelasnya tidak mau terlihat khawatir dengan Arya.

“Siapa?” tanya Arya lemah. “Siapa yang memiliki riwayat asma?”

Puspa membeku, otaknya bingung menjawab pertanyaan Arya yang seharusnya mudah.

“Siapa, Puspa?” Arya menuntut.

“Seseorang yang berada di masa lalu saya.”

“Apakah orang itu tak lagi penting buatmu?” tanya Arya.

“Pak Arya,” panggil Anton memperingatkan. Dia tidak mau Arya kehilangan logika. Ada Lita disini yang mengenal Ivy. Tidak baik jika sampai hubungan keduanya yang sebenarnya tidak ada apa-apa, jadi diketahui orang lain.

Arya berdiri merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.

“Orang itu penting buat saya. Sejak dulu sampai sekarang,” jawab Puspa akhirnya. Ada keinginan kuat di dalam hati Puspa untuk menanyakan alasan Arya menciumnya, alasan Arya kembali mendekat, alasan dulu dia pergi begitu saja. Banyak sekali yang ingin Puspa tanyakan kepada Arya.

“Lalu?”

“Lalu apa?” tanya Puspa.

“Lalu jika dia masih menjadi orang yang penting, kenapa sekarang tak lagi sama?”

“Laki-laki itu yang memilih pergi meninggalkan saya.”

“Berikan salamku kepada orang yang memiliki takdir yang sama denganku itu. Kalau boleh aku menyarankan, beri kesempatan kepadanya untuk menjelaskan,” ucap Arya kemudian berlalu pergi.

Anton mengikuti Arya dibelakangnya, sedangkan Mbak Lita lebih memilih berdiri dengan canggung di samping Puspa. “Kamu baik-baik saja?” tanya Mbak Lita.

“Saya baik.”

“Puspa,” panggil Mbak Lita menghentikan langkah Puspa. Ada jeda sebentar yang dibiarkan keduanya hening tanpa suara. “Seharusnya aku tidak ikut campur. Selama aku bekerja dengan Pak Arya, aku tidak pernah melihat laki-laki itu menatap seseorang dengan begitu … dalam. Bukankah lebih baik kalian berbicara?”

Puspa tak menanggapi lalu memilih untuk meninggalkan ruangan meeting dengan perasaan tak menentu. Ia masuk ke dalam toilet yang sepi dan mendudukan tubuhnya disana. Tatapan mata Arya yang sendu, kedekatan mereka yang masih jelas terasa nyata. Puspa berusaha menetralkan perasaanya sendiri dari rasa yang tak ia pahami.

Dia membenci Arya, tetapi kenapa perasaan Arya terasa begitu nyata?

Bapak :
Besok minggu datang ke rumah. Mentari ulang tahun.

Puspa tersenyum ceria saat melihat pesan di ponselnya. Setelah cukup lama menunggu akhirnya ia bisa bertemu dengan ayah. Ayah Puspa bekerja sebagai seorang distributor makanan beku, laki-laki itu sering bekerja di jalan dan jarang berada di rumah. Oleh sebab itu, Puspa hanya akan berkunjung saat ayahnya ada di rumah.

Me :
Ningrum akan datang.

Pagi harinya Puspa menyiapkan segalanya dengan sempurna, ia sudah membelikan sebuah tas sekolah berwarna pink untuk Mentari, adik tirinya yang lucu. Sebelum jam enam pagi Puspa hendak berangkat, rencananya ia akan pergi ke Bandung menggunakan kereta.

Pintu di ketuk dari luar. Puspa sempat menajamkan pendengarannya untuk memastikan tamu yang datang. Jarang sekali ada yang bertamu di rumah Puspa. Dia tidak punya teman atau pun sahabat. Paling ada beberapa tetangga yang cukup ia kenal, tapi itu pun tidak lebih dari jumlah jari di tangannya.

Puspa yakin ketukan itu ada di pintu rumahnya. Puspa melangkah untuk membukakan pintu dengan menghela nafas dalam sebelumnya. Saat membuka pintu, Puspa terkejut dengan kehadiran tamu tak diundang yang berdiri di depan rumahnya.

“Gue udah sering bilang kalau gue kangen sama Ningrum.”

“Raka?”

“Nama gue masih sama.”

“Ngapain lo disini?” tanya Puspa. Ia terlalu terkejut melihat tubuh Raka yang berdiri di depan rumahnya di pagi hari.

“Mau ngajakin lo jalan,” jawabnya enteng.

Tanpa dipersilahkan laki-laki itu masuk ke dalam rumah Puspa lalu mendudukan tubuhnya di sofa kecil depan TV. Seperti perumahan minimalis pada umumnya, rumah Puspa hanya terdiri dari ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang tengah dengan dua kamar tidur dan satu dapur yang berada di luar bagian belakang.

Raka melihat satu tas jinjing cukup besar tergeletak di sofa. Lalu matanya menatap Puspa penuh tanda tanya.

“Apa?” tanya Puspa bingung.

“Lo mau pergi?”

“Iyaa.”

“Kemana?”

“Ke rumah bokap gue.”

“Gue anter,” putus Raka. Dia tidak rela hari minggu-nya berakhir tidak dengan Puspa.

“Nggak! Jauh. Bokap gue tinggal di Bandung.”

“Gue bawa mobil kok,” jawabnya menuntut persetujuan. Raka punya mobil, meskipun ia beli second tapi masih berfungsi dengan baik karena rajin di service.

“Raka …”

“Gue jauh-jauh dari Bekasi lho, Rum. Gue udah kangen banget sama lo. Gue anter, ya?” Raka adalah salah satu makhluk ter-santai yang pernah Puspa temui di bumi. Dengan gamblang laki-laki itu menunjukan perasaannya kepada Puspa.

“Nggak.”

“Yes?”

“Nggak.”

“Yes?”

Puspa menghela nafasnya berat, lalu merutuki takdirnya yang selalu dikelilingi manusia-manusia pemaksa seperti laki-laki di hadapannya. “Terserah.”

“Yes!!” Kalimat ini bukan lagi dengan tanda tanya persetujuan, tapi Raka mengucapkannya dengan tangan yang mengepal ke udara seakan sedang berselebrasi saat mendapatkan persetujuan Puspa.

“Silahkan Tuan Putri, lebih baik kita berangkat sekarang.”

Mereka berdua berjalan ke luar bersama dengan Puspa yang terlebih dahulu memastikan satu persatu pintu dan jendela rumahnya sudah terkunci.

“Mobil gue bekas tapi rajin di service jadi gue pastiin aman di perjalanan.”

Puspa duduk di samping Raka dengan beberapa barang ia letakan di kursi belakang. “Motor lo kemana?” tanya Puspa.

“Service dong! Motor lo udah di service?”

“Udah.”

“Di mana?”

“Gue minta tolong Pak Tejo, gue nggak tahu tempat service deket rumah.”

“Waah, dah sohib lo sekarang sama si doi?”

Puspa hanya tersenyum.

“Terus lo besok berangkatnya gimana?” tanya Raka masih berusaha membuka percakapan dengan si irit bicara bernama Puspa.

“Pakai ojek online.”

“Gue anter.”

“Jangan ngaco! Lo dari Bekasi terus kesini terus—.”

“Gue bisa tidur di sini, kan?” putus Raka yang hanya mendapatkan tatapan maut dari Puspa. “Bercanda, Ningrum. Hidup lo kaku banget dah.”

Raka tak lagi berbicara, ia memilih menghidupkan mobil dan mulai membawa mobilnya ke arah Bandung. Perjalanan mereka kali ini ramai karena hujan datang dengan deras. Sepanjang perjalanan sesekali mereka berbincang tapi tidak banyak karena Puspa lebih suka menikmati hujan dan entah kenapa Raka menyukai pemandanganan itu. “Pulang dari Bandung kita mampir ke pantai, gimana?” tanya Raka memecah sepi.

“Gue nggak suka pantai.”

“Seriously? Ayolah Puspa, tidak ada yang tidak suka pantai.”

“Ada —gue.”

“Kenapa?”

“Tidak perlu ada alasan untuk tidak menyukai sesuatu,” jawab Puspa.

“Lo pasti punya kenangan buruk di pantai.”

Katanya, senja itu indah karena menyimpan kenangan.

Senja itu selalu cantik karena dia selalu di atas bersama langit, tak bisa digenggam apalagi dimiliki.

“Gue terlalu banyak menyimpan kenangan buruk dimanapun, itulah sebabnya gue cuma suka di rumah.”

“Ningrum,” panggil Raka pelan tapi dengan nada penekanan yang lembut. “Semua orang punya masa lalu yang buruk.”

“Gue tahu.”

“Mungkin lo bisa cerita ke gue, tentang masa lalu lo.”

Puspa menggeleng. Raka hanyalah seorang manusia yang menuntut masuk ke dalam hidupnya. Dia tidak percaya Raka, tidak juga memiliki keinginan lain dengan Raka. Bagi Puspa, Raka hanyalah manusia yang nantinya juga akan pergi meninggalkannya. Seperti kedua orangtuanya, seperti Arya.

“Orangtua gue bercerai, bokap gue selingkuh di depan mata gue sendiri,” ucap Raka tiba-tiba.

Kalimat Raka mampu menarik perhatian Puspa. Wanita itu menelisik ke arah Raka yang mampu menceritakan masa lalu buruknya itu dengan wajah biasa saja tanpa kesedihan.

“Bokap dan nyokap bercerai saat gue masih usia … sepuluh tahun mungkin, waktu gue masih SD. Gue dan adik ikut nyokap, abang ikut bokap. Sekarang dia jadi dokter dengan segala kekayaan dari bokap.”

Puspa mendengarkan.

“Sedangkan kehidupan nyokap jauh dari kata cukup. Kita berjuang dari nol hingga sampai detik ini kita bisa makan tanpa perlu ngutang. Gue benar-benar dididik tanggung jawab dari kecil, sampai saat ini pun gue sudah menjadi kepala keluarga buat adik sama nyokap gue.”

Raka bercerita banyak, tak merasa canggung untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi yang sangat tidak pantas untuk dibanggakan. “Tapi gue tetap bersyukur, gue bahagia punya mereka.”

“Tapi tidak ada yang bisa disyukuri dari hidup gue, Raka.”

“Lo pernah diucapkan ‘selamat ulang tahun semoga panjang umur’ dari bokap lo?”

Puspa tak tahu kemana arah pertanyaan Raka. Wanita itu terlihat berfikir sebelum kembali membuka suara. “Pe—pernah.”

“Gue nggak pernah mendapatkannya.”

Puspa membisu, menyerap makna di balik kalimat Raka yang menyakitkan.

“See? Terkadang apa yang lo miliki itu adalah hal yang paling diinginkan orang lain. Terkadang apa yang lo anggap simpel itu belum tentu dimiliki orang lain. Lo punya rumah itu adalah hal yang paling diinginkan orang yang ngontrak. Lo punya kedua orangtua lengkap, meskipun bercerai tapi lo masih bisa melihatnya sewaktu-waktu, lo masih bisa denger suaranya. Dan itu adalah hal yang paling diinginkan dari anak yang orangtuanya sudah meninggal.”

Raka benar.

“Masalah itu pasti ada, lo mungkin hancur berantakan. Tapi inget, akan selalu ada hal yang bisa disyukuri dalam hidup lo. Termasuk gue! Gue yakin lo pasti bersyukur banget ada Raka di dalam hidup lo.” Raka mengucapkan kalimat itu dengan santai dan penuh percaya diri.

“Najis!”

“Bhahaha, jangan terlalu spaneng Puspa,” ucap Raka sambil mengacak-acak rambut Puspa dengan gemas.

Wanita itu ikut tersenyum lalu memukul bahu Raka dengan sebal. Sedangkan yang dipukul hanya bisa senyum-senyum penuh makna. “Gue punya kenangan buruk karena ditinggalkan. Bapak dan ibu gue sering bertengkar di depan mata gue langsung. Gue bahkan terdaftar menjadi salah satu pasien di klinik psikiatri.”

Puspa melihat ke arah Raka yang tak merubah raut wajahnya.

“Kenapa?” tanya Raka saat melihat Puspa yang melihatnya dengan intens.

“Gue sakit jiwa!”

“Gue pun kalau ke dokter jiwa belum tentu sehat. Lo malah lebih preventif dulu datang ke psikiatri.”

“Raka.”

“Yaa?”

“Gue wanita rusak.”

“Hahaha, sama. Mungkin itu alasan kita bertemu. Kita adalah dua manusia rusak yang dipertemukan untuk saling melengkapi.”

Jam setengah sebelas siang Raka dan Puspa sudah sampai di rumah Ayah Puspa di Bandung. Mereka sempat berhenti untuk sarapan karena Raka mengeluh lapar, ditambah Puspa yang salah memberikan arahan membuat mereka sedikit terlambat sampai di rumah.

Wanita memang paling tidak bisa diandalkan untuk membaca ‘map’.

Acara ulang tahun dimulai jam sembilan pagi. Jadi, saat mereka berdua datang sudah banyak anak kecil yang berkumpul di rumah.

“Teteeeh,” panggil Mentari. Adik kecil-nya itu cukup dekat dengan Puspa, beberapa kali mereka sempat bertemu dan bermain bersama. Meskipun tidak lama tapi Puspa bersyukur Mentari mengingatnya.

“Hai, selamat ulang tahun Princess.”

“Terima kasih, Teteh.”

“Sami-sami.”

“Nduk, tadi macet?” Ayah Puspa muncul dari dalam rumah, ia menyambut tangan Puspa yang menciumnya lalu sedikit terkejut saat melihat laki-laki yang berdiri di belakang tubuh Puspa.

“Nggak macet, cuma tadi sedikit nyasar soalnya Puspa sudah jarang kesini.”

“Ini siapa?” tanya ayah Puspa yang justru tak menanggapi kalimat anaknya. Mata laki-laki itu terkunci ke arah Raka yang berdiri dengan canggung di belakang tubuh Puspa.

“Saya Raka.”

“Temen?”

“Calon, Pak,” jawab Raka.

Puspa melihat Raka dengan tatapan tidak suka. Protes dengan jawaban Raka yang seenaknya sendiri.

“Calon pacar.” Raka menambahkan dengan nada bercanda, seperti seorang Raka yang begitu percaya diri. Tapi sayangnya, ayah Puspa tak menanggapi dan berakhir dengan Raka yang jadi salah tingkah sendiri.

Ternyata tidak hanya Puspa yang kaku tapi ayahnya pun terlihat sulit menerima orang baru.

“Ayo masuk, Nduk,” ucapnya mempersilahkan tapi hanya nama Puspa yang disebut.

Hingga siang menjelang acara ulang tahun berjalan lancar. Raka hanya duduk dari jauh melihat Puspa yang ikut dilibatkan dalam acara. Meskipun Puspa adalah wanita yang jarang tersenyum, tapi saat berada disekitar keluarganya wanita itu seakan menjadi sosok yang berbeda.

Senyum ceria dengan mata bulat yang memancarkan kebahagiaan.

Mata Raka tertaut ke senyum Puspa yang lebar. Wanita itu sesekali tersenyum ke arahnya dan Raka membalasnya. Detik terasa begitu lambat berjalan saat Raka menikmati wajah Puspa yang tertawa ceria. Sangat jarang Raka mendapati senyum Puspa seperti sekarang ini.

“Namanya siapa tadi?” Ayah Puspa tiba-tiba duduk di samping Raka, membuat laki-laki itu malu. Pasti ayah Puspa mendapati dirinya yang sedang mengamati anaknya diam-diam.

“Saya, Raka,” jawabnya.

“Sudah berapa lama kenal?”

“Hampir tiga bulan.”

“Baru ya, kenal dimana?” Seperti ayah pada umumnya, ayah Puspa mulai banyak bertanya. Suasana yang sebelumnya hangat berubah menjadi mencekam.

“Kita bekerja di kantor yang sama.”

“Oh,” jawab laki-laki itu singkat. “Rumahnya dimana?”

“Saya di Bekasi, Pak.”

“Tinggal sama keluarga?”

“Saya tinggal sama ibu dan dua adik perempuan.”

“Ayah?”

“Ayah dan ibu sudah bercerai,” jawab Raka dengan tetap mempertahankan garis bibirnya ke atas. “Bapak, namanya siapa Pak? Maaf saya belum sempat bertanya ke Puspa,” tanya Raka untuk menghentikan proses interview satu arah yang terasa mencekat tenggorokannya.

“Saya Andang.”

“Oh ya, Pak Andang.”

Mereka berdua kembali diam, entah kenapa ada sedikit rasa canggung yang sangat kentara. Raka yang biasanya dengan begitu mudah dekat dengan orang baru berasa menjadi amatiran. Kicep!

“Saya menyayangi Ningrum —sangat,” ucap Pak Andang tiba-tiba dan pelan tapi bermakna dalam.

Oke, semua orang tahu. Dari cara melihat Pak Andang ke Puspa tentu menunjukkan kasih sayang yang besar seorang ayah untuk anaknya.

“Saya tidak akan pernah membiarkan Ningrum tersakiti —lagi,” tambahnya.

Ada sebuah perbincangan yang ingin dibuka Pak Andang dan Raka menyambutnya. Laki-laki itu memposisikan duduknya menghadap ke arah Pak Andang dengan kedua tangan yang terbuka lebar. “Saya berjanji tidak akan menyakiti Puspa.”

Pak Andang tersenyum meremehkan. “Dulu sudah ada yang pernah mengatakan hal itu ke saya dan bodohnya saya percaya.” Pak Andang berucap dengan mata yang menatap jauh ke masa lalu. “Lalu laki-laki itu tidak menepati janjinya. Dia justru membuat anakku semakin hancur.”

Raka menghela nafas dalam saat merasa perbincangan siang ini semakin berat. Ada rasa sakit yang tercetak jelas di dalam raut wajah laki-laki paruh baya di hadapannya ini.

“Saya adalah laki-laki pertama yang menyakiti Ningrum dan laki-laki itu benar-benar menyempurnakan rasa sakit yang dirasakan anakku,” jelas Pak Andang dengan rasa sedih yang terlihat nyata. Laki-laki itu sekarang menatap lurus ke arah Puspa yang sedang bercanda dengan Mentari. “Saya pernah berharap, Ningrum akan mendapat pasangan yang melengkapinya. Tidak seperti ayahnya yang … egois.”

“Ningrum pasti akan mendapatkan laki-laki yang bisa membahagiakannya.”

Pak Andang menggeleng ringan, ia mengalihkan tatapan dari arah Puspa ke Raka. “Itu tidak akan mudah. Wanita itu … terlalu sulit untuk kembali membuka hatinya.”

Raka ingat dengan Puspa yang tidak menyukai pantai. Tentang kenangan buruk dan semua sisi lain yang coba Puspa tutupi dengan penarikan diri. Ada rasa ingin tahu di hati Raka tapi ada rasa yang lebih dominan dibanding rasa ingin tahunya, rasa yang mulai Raka sadari secara nyata.

Dia jatuh cinta pada wanita bernama Puspa dengan segala retakan yang ada didalamnya.

“Jangan sakiti hati anakku. Jika tidak berniat serius, saya sebagai ayah memohon dengan sangat untuk segera pergi. Karena rasa sakit yang Ningrum alami akan sampai ke sini,” tunjuk Pak Andang ke arah dadanya. “Tidak ada rasa sakit melebihi rasa sakit seorang ayah yang melihat anaknya hancur karena dirinya sendiri dan laki-laki yang sudah ia percaya.”

Setelah acara selesai, Raka dan Puspa kembali ke Jakarta menjelang senja. Mereka jalan setelah selesai makan bersama keluarga Puspa.

“Kenapa?” tanya Puspa tiba-tiba.

“Kenapa apanya?”

“Tumben Raka diem, biasanya nyerocos bercerita banyak.”

“Gue lagi pengen diem.”

“Hahaha, lo nggak pantes.”

“Gue lagi mikir,” ucap Raka dengan mata yang menunjukan wajah berfikir serius.

“Mikir apa?”

“Ntar juga lo tahu.”

Puspa tak mau menanggapi, wanita itu lebih memilih menikmati pemandangan asri melalui jendela sebelah kiri. Hujan sudah reda menyisakan sepi dimana-mana.

Puspa menegakan tubuhnya saat tiba-tiba mobil Raka berhenti di tepi jalan. “Kok berhenti?”

“Mampir sebentar.”

Puspa keluar dari mobil dan matanya langsung dimanjakan pemandangan kota Bandung dari tempatnya berdiri saat ini.

“Sudah pernah kesini?” tanya Raka.

Puspa menggeleng dan tak mengalihkan perhatiannya dari arah pemandangan kota di bawahnya yang penuh dengan cahaya. Tempat ini sepi dan sejuk, apalagi hujan baru saja turun menambah suasana menjadi dingin yang syahdu.

“Tadi gue lagi mikir mau bawa Ningrum kemana dan tempat ini adalah pilihan gue.”

Puspa tersenyum sambil menunjukan kedua jempol tangannya ke arah Raka. “Bagus.”

“Dibanding pantai, gue lebih memilih membuat kenangan yang baru buat lo, buat kita.”

Puspa menatap Raka dengan kedua alis berkerut. “Gue nggak paham sama apa yang lo omongin.”

“Gue cinta sama lo, Puspaningrum.”

Kalimat yang baru saja Raka ucapkan mampu membuat tubuh Puspa menegang. Sebagai seorang wanita yang menghindari sebuah masalah, kata ‘cinta’ seperti sebuah mantra terkutuk yang tak boleh disebut disekitarnya. “Gue nggak percaya sama cinta.”

“Kita nikah.”

“Gue juga nggak percaya pernikahan. Kita berdua berdiri disini sebagai korban dari pernikahan yang katanya dianggap sakral tapi nyatanya banyak yang menghancurkannya sendiri.”

“Setidaknya kita bisa mencoba.”

“Gue nggak bisa.”

“Kenapa?” tanya Raka sambil menahan tangan Puspa yang berniat pergi.

“Gue pernah percaya, tapi kepercayaan gue dihancurkan begitu saja.”

“Apa yang terjadi di masalalu lo?” tanya Raka menuntut penjelasan. “Lo nggak akan pernah bisa membuka hati kalau belum selesai sama masa lalu, Puspa.”

Puspa menengadahkan kepalanya saat merasa apa yang diucapkan Raka adalah benar. Ada begitu banyak pertanyaan di otak Puspa untuk Arya. Ada begitu banyak rasa yang ingin ia sampaikan kepada laki-laki itu. Ada rasa tertahan yang selalu menghantui kehidupan Puspa setelah Arya pergi.

Raka menarik tangan Puspa lalu menggenggamnya. Ia merangkum wajah wanita itu untuk melihat ke arahnya. Ia ingin Puspa melihat ke dalam matanya. Ia ingin Puspa menemukan keseriusan di dalamnya. “Kita berhak bahagia, Puspa. Gue mau ngebuat lo bahagia.”

Puspa tak bergeming.

“Selesaikan dulu masa lalu lo dan kita mulai kehidupan kita sendiri.”

“Raka, please.” Puspa menolak, ia menarik tangannya dari genggaman tangan Raka.

“Puspa, gue mohon. Kasih kesempatan ke gue buat ngebuktiin kalau apa yang gue rasain ke lo itu nyata dan serius.”

“Gue nggak bisa.”

Raka tahu, Puspa akan semakin menolak jika Raka menuntut. “Oke, sorry kalau gue terlalu memaksa. Gue cuma pengen bisa menjadi salah satu alasan lo bahagia.”

“Gue sudah bahagia sama diri gue sendiri.”

“Lo nggak bahagia! Kita manusia, makhluk psikososial yang butuh pasangan.”

“Raka …”

“Selesaikan masa lalu lo, Puspa. Atau lo nggak akan pernah mendapatkan masa depan.”

Dalam hidup, Ivy selalu diajarkan dengan kata perjuangan dari Daddy-nya. Perjuangan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Perjuangan untuk mempertahankan apa yang ia miliki. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Daddy selalu menyebut Ivy adalah segalanya, sumber kehidupan dan anugrah untuk kedua orangtuanya. Kasih sayang yang teramat besar dari Mr. Miller membuat Ivy tak pernah mengenal rasa takut.

Yang Ivy tahu, di dalam hidup kita tidak boleh menjadi lemah atau kita akan menjadi tertindas.

Pagi ini, dengan keberanian dan harapan besar Ivy kembali melakukan sesuatu yang dulu pernah ia jadikan alasan. Sudah lebih dari satu bulan ia belum mendapatkan tamu bulanannya. Ada harapan besar kali ini ia bisa kembali mempertahankan keluarganya, kembali mempertahankan Arya disisinya.

Ivy tahu dia sangat menyedihkan. Tapi jika perlu, demi Arya dia akan melakukan hal ini -lagi dan lagi.

Tangan Ivy bergetar saat mengambil test pack yang ia letakan di wastafel kamar mandi. Dan senyumnya tercetak lebar saat mendapati alat itu menunjukan dua garis yang menandakan ada sebuah kehidupan baru di dalam perutnya. Anak Arya di dalamnya.

Detik pertama ia mengetahui hal itu, Ivy berniat ke rumah sakit untuk memastikan kehamilannya dan datang menemui Arya.

“Sayaaang,” panggilnya.

Arya duduk di kursi dengan beberapa berkas di meja. Laki-laki itu tersenyum tipis saat mendapati istrinya yang tiba-tiba berada di kantornya. Tanpa dipersilahkan, Ivy mendudukan tubuhnya di pangkuan Arya dengan manja, lalu melingkarkan tangan di leher suaminya. Arya sempat menolak dan menjauhkan tubuh Ivy, namun tentu saja wanita itu tidak menyerah.

“Sepertinya ada yang sedang bahagia,” ucap Arya menebak. Tidak bisa ditutupi garis wajah kebahagiaan yang tercetak jelas di raut wajah istrinya. Wanita itu tak berhenti mengulum senyum di hadapan Arya yang semakin menambah kecantikannya.

Semua orang tahu, Ivy cantik dengan segala kelebihan fisik yang ia miliki.

“Aku ingin memberimu sesuatu,” ucap Ivy sambil meletakan sesuatu di meja Arya.

Arya menaikan kedua alisnya, sedikit terkejut Ivy memberikan hadiah tidak di hari ulang tahun atau hari spesial keduanya. “Aku sedang tidak berulang tahun,” jawab Arya.

“Tidak perlu ulang tahun untuk memberikan kado kepada orang tersayang.”

“Oh .. oke.”

Ivy meletakan sebuah kotak berwarna coklat tua dengan pita merah muda. Merasa tertarik, Arya membuka kotak itu lalu seketika tubuhnya membeku saat melihat satu alat yang ia pahami fungsinya dan sebuah potret hitam putih kecil yang tidak Arya pahami gambarnya. Tapi, jelas Arya tahu dengan maksud semua ini. Dulu, potret hitam putih dan alat ini yang mampu membuat kehidupannya berubah drastis.

“Aku hamil, empat minggu,” jelas Ivy tanpa perlu diminta.

Arya masih tak berekspresi, di sisi lain dia bahagia karena akan mendapatkan seorang anak yang bisa melengkapi kehidupannya, tapi di sisi lain, Arya merasa dunia semakin menutup rapat kesempatan untuk bersama Puspa. Arya sudah benar-benar kehilangan Puspa. Atau sebenarnya kesempatan itu sudah benar-benar hilang sejak dulu? Hanya Arya saja yang bodoh karena masih berharap.

Mungkin benar apa yang Anton katakan, pertemuan ini hanya untuk menyelesaikan apa yang belum selesai.

“Mas, kok kamu nggak kelihatan bahagia?”

Arya tersenyum. “Aku bahagia, terima kasih.”

Ivy mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Arya yang sangat ia rindukan. Wanita itu semakin menyamankan duduknya dengan meletakan kakinya di samping kanan dan kiri tubuh Arya. “Ivy, ini di kantor,” cegah Arya.

“Nggak apa-apa, kan bisa di kunci.”

“Aku tidak nyaman.” Arya mendorong pelan tubuh Ivy untuk berdiri lalu menarik wanita itu ke sofa. Meskipun dengan cemberut, Ivy tetap menurut.

“Aku ingin merayakan kehamilan kita,” ucap Ivy saat mereka berdua sudah duduk di sofa.

“Apapun itu aku setuju.”

“Aku ingin membagikan makan siang untuk karyawan di kantor ini, khusus pegawai office. Tidak sampai ke bagian produksi karena itu akan sangat banyak dan merepotkan,” tambahnya. “Aku akan minta tolong Lita untuk menghandle-nya.”

Arya paham dengan maksud lain dari keinginan Ivy saat ini. Dan seperti memang benar-benar sudah mengikhlaskan, Arya tak mau mendebat. Dia hanya berharap semoga Tuhan memberikan kesempatan kepada Arya untuk menjelaskan tentang semuanya. Meskipun Puspa tak lagi miliknya, setidaknya wanita itu mendapatkan apa yang sudah menjadi hak-nya yaitu penjelasan.

“Bagaimana?” tanya Ivy memastikan.

“Aku sudah mengatakan, apapun itu aku setuju.” Arya jarang menolak keinginan Ivy. Seperti robot, kehidupan Arya tak memiliki warna. Warna itu sudah menghilang sejak ia kehilangan Puspa-nya.

“Terima kasih,” ucap Ivy lalu mengecup pipi Arya sekilas.

Wanita itu benar-benar melakukan apa yang ia inginkan atau sebenarnya Ivy sudah menyiapkan hal itu sebelum meminta persetujuan Arya.

Seperti yang Ivy harapkan, kabar kehamilannya sampai ke telinga Puspa. Satu kotak makan dengan gambar steak di atasnya menjadi menu makan siang karyawan kantor. Dari tempat dan aromanya, Puspa tahu makanan ini bukan makanan murahan.

Ada sebuah kertas dengan tulisan ucapan syukur yang sangat menyesakan dada.

Selamat menikmati dari kami yang sedang berbahagia menanti kehadiran anak kedua.

Arya & Ivy

Lalu apa maksud ciuman Arya waktu itu? Maksud kesedihan yang bisa Puspa rasakan sampai ke hatinya. Puspa membenci Arya dan juga membenci dirinya sendiri yang tetap merasakan sakit hati saat ia mendapatkan kabar kehamilan istri Arya. Tak mau menambah sesak, Puspa memilih membuang kotak makan itu ke tempat sampah.

Selesaikan masa lalu lo, Puspa. Atau lo nggak akan pernah mendapatkan masa depan.

Apa itu harus?

Sekuat tenaga Puspa mencoba mengalihkan perhatiannya dari hal ini, dari Arya dan semua perasaannya. Tapi seperti sebuah ilmu pasti, kalimat Raka selalu terngiang di kepalanya. Hingga beberapa hari berikutnya Puspa akhirnya menberanikan diri untuk berdiri di lantai ini dengan canggung.

Dia merasa harus untuk menyelesaikan perasaannya. Dia merasa harus mendapatkan sebuah penjelasan.

“Puspa, ada yang bisa kubantu?” tawar Mbak Lita. Wanita itu tersenyum ramah ke arah Puspa.

“Apa Pak Arya ada di ruangan, Mbak?”

“Ada, tapi beliau sedang ada meeting kecil dengan staff finance.”

“Oh, lama?”

“Aku rasa tidak, kamu bisa menunggu di depan ruangannya. Aku akan menyampaikan kepada Pak Arya tentang kedatanganmu.”

“Terima kasih.” Puspa mendudukan tubuhnya di sofa depan khusus tamu. Ruangan cukup luas dengan beberapa majalah dan minuman ringan yang tersedia di meja.

Mbak Lita masuk ke dalam ruangan Arya dan tak lama setelahnya Mbak Lita keluar bersama dengan beberapa orang lainnya. “Kamu boleh masuk, Puspa.”

“Terima kasih.”

Sebelum benar-benar membuka pintu, Puspa mengucapkan berbagai macam jenis doa untuk menguatkan langkahnya. Tapi di langkah pertamanya memasuki ruangan ini, Puspa tahu kalau dia (masih) kalah.

“Masuklah, Bii,” sambut Arya. Laki-laki itu berdiri dengan jas yang sudah ia lepaskan, menyisakan kemeja berwarna putih dan inner berwarna biru tua yang mencetak tubuh liatnya dengan jelas. “Duduklah,” ucap Arya mempersilahkan.

“Maaf saya mengganggu, Pak Arya. Saya hanya akan sebentar.”

Arya tak menjawab, laki-laki itu memilih untuk menetralkan degup jantungnya sendiri. Ada keterkejutan besar saat Lita mengatakan Puspa ingin bertemu dengannya. Senang, sedih dan hancur datang di waktu bersamaan. “Katakan apa yang ingin kamu sampaikan.”

“Pertama, saya ingin mengucapkan selamat atas kehamilan kedua istri Pak Arya.”

Saat kalimat itu terucap, Arya sudah seperti kehilangan nafasnya. Tercekat, ketika fakta yang sudah sampai ke semua orang itu benar-benar mendapatkan apa yang ia tuju.

“Kenapa Pak Arya mencium saya waktu itu?” tanya Puspa cepat. Dia tak mau kembali mundur untuk mendapatkan jawaban dari setiap pertanyaan yang ada di kepalanya.

“Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu?” tanya Arya balik.

“Yaa, perlu.”

“Aku berharap kamu merasakan perasaanku tanpa perlu kujelaskan, nyatanya kamu tidak.”

“Saya bukan cenayang yang bisa mengetahui dalam hati orang lain. Saya berharap besar Bapak menjelaskan alasan di balik perlakuan Bapak selama ini, agar semuanya menjadi jelas.”

Arya mengalihkan tatapannya dari Puspa, ia mencari objek lain selain wanita yang ingin ia dekap dengan erat. Lama mereka berdua terdiam, Puspa memberikan waktu sepenuhnya kepada Arya. “Kalau aku mengatakan karena aku masih mencintaimu, apa kamu percaya?”

Puspa diam, cenderung menakutkan. Tanpa permisi, wanita itu memilih berdiri dan berniat meninggalkan ruangan ini. Arya yang hendak mengejar kembali tertahan karena suara dering ponselnya yang menampilkan nama Ivy.

Dia ingin mengabaikan, tapi kenangan dimana ia pernah mengabaikan telfon dari Ivy dan berakhir dengan wanita itu harus mendapatkan perawatan di rumah sakit karena pendarahan mengurungkan niat Arya.

Arya hanya bisa melihat tubuh Puspa yang menghilang dari ruangannya.

By adminmg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *