CRTDALAM Satu cup teh hangat Arya genggam kuat. Dia tersenyum tipis saat melihat siluet tubuh Puspa yang duduk seperti terakhir kali ia lihat melalui kamera CCTV di ruangannya. Dengan langkah tegap Arya berjalan mendekat lalu meletakan cup teh hangatnya di ruang kosong diantara mereka berdua. Senyumnya tak bisa terbendung saat melihat kedua cup milik mereka berdua saling bersisihan. Dengan berani Arya mendudukan tubuhnya di sisi kanan kursi kayu usang yang sama dengan wanita itu. Ia menjeda, mengikuti arah mata Puspa melihat kota Jakarta yang ramai. Jakarta masih sama, masih basah di mana-mana dengan hujan yang mengguyur sejak pagi. Arya memilih untuk mengunci bibirnya, menahan untuk tak bersuara. Ada begitu banyak yang bisa ia ceritakan mesti tanpa suara. Ada begitu banyak moment yang ia tangkap meskipun mereka berdua saling membisu. “Bagaimana kabar Bapak dan Ibu?” tanya Arya setelah mencoba sekuat tenaga untuk tetap diam. Puspa enggan menjawab, matanya tak sedikitpun melihat ke arah Arya yang menatapnya intens. “Bapak sama Ibu sehat kan?” tanyanya lagi. “Aku ke Peninggaran (rumah Puspa dulu), tapi kata tetangga kalian sudah menjual rumah dan pindah.” Arya kembali mengingat kenangan saat pertama kali mengetahui rumah Puspa tak lagi berpenghuni. Seperti sebuah rasa yang sebelumnya penuh lalu tiba-tiba kosong. Arya benar-benar kehilangan Puspa-nya. “Masih suka hujan? Masih suka es kopi di saat hujan. Kamu tidak berubah, Bii.” Masih teringat jelas rekaman kebiasaan Puspa dulu di otak Arya. Es kopi dingin yang masih Arya ingat dengan detail setiap takarannya. Kata Puspa, tidak ada yang bisa membuat es kopi seenak Arya. Ia memanfaatkan kebisuan Puspa untuk mengamati garis wajah wanita itu yang tak pernah berubah. Sudah lebih dari lima tahun tapi Puspa masih sama, masih sangat cantik untuk seorang Arya. Arya membuka kotak makan milik Puspa dan tersenyum sumringah saat melihat ada roti isi strawberry yang masih tersisa di sana. Dulu, Puspa sering menyiapkan bekal untuk mereka berdua. Arya suka roti selai coklat sedangkan Puspa menyukai selai strawberry. Tanpa dipersilahkan Arya mengambil roti itu dan memakannya. “Enak,” puji Arya sia-sia karena Puspa masih tetap mempertahankan hening. Wanita itu berdiri, terlihat berniat pergi padahal Arya masih menginginkan moment ini berhenti sesaat. “Bii.” Arya memberanikan diri menahan tangan Puspa. Sebuah sentuhan kulit pertama kali setelah lima tahun perpisahan keduanya. Arya tahu ia kalah! Sentuhan itu mampu menyulut kenangan yang tak pernah mampu ia ikhlaskan. “Aku mohon untuk tetap seperti ini.” Arya tahu permohonannya saat ini terdengar egois. Dulu, dia yang meninggalkan wanita itu tanpa penjelasan. Dulu, dia yang mengabaikan permohonan Puspa untuk tetap tinggal. “Bapak sangat paham semua ini adalah kesalahan.” Arya tak mendengar! Dengan hati-hati, laki-laki itu tetap melanjutkan niatnya meletakan kepalanya di tangan Puspa yang menggantung. Mencoba membagi gundah yang selama ini ia rasakan seorang diri. Meskipun Arya tahu, Puspa tidak akan memahami perasaannya. “Tidak ada yang salah jika itu tentangmu, Bii. Tentang kita.” “Bapak sudah—menikah.” Sebuah fakta yang selalu membungkam sisi Arya yang tak pernah tersentuh siapapun. Fakta yang memaksa Arya melepaskan dengan mudah tautan jari Puspa saat wanita itu pergi. *** Mobil Land Cruiser keluaran terbaru berhenti di sebuah rumah mewah kawasan Jakarta Barat. Seorang laki-laki berjas hitam elegan keluar dari dalamnya. Sesekali laki-laki itu melihat ke arah ponsel miliknya yang masih saja berdering selepas jam kerja, lalu kembali memasukannya ke dalam kantong ketika merasa panggilan itu tidak terlalu penting. “Minggu depan proses recruitment di Yogyakarta, Malang dan Bandung akan dimulai. Sudah ada beberapa calon karyawan yang mendaftar, saya rasa kinerja HRD kita sudah cukup baik.” Anton, seketaris Arya yang selalu mengikuti kemanapun laki-laki itu pergi. “Bagus, selalu pantau berjalannya proses recruitment karena Pabrik di Cikarang sudah sembilan puluh persen jadi,” jawabnya. “Bulan depan semuanya akan dimulai, Ton.” “Siap, Bos.” Arya melangkah ke dalam rumah dan berhenti ketika melihat sosok anak laki-laki mungil yang berlari ke arahnya. “Papaaaa.” Teriak seorang bocah laki-laki yang terlihat baru saja selesai mandi. “Woo, jagoan Papa sudah mandi?” tanyanya sambil mencium pipi Axel dengan gemas. “Udaaah dong.” “Pantesan wangi, nggak bau acem lagi.” Arya menggendong Axel dalam pelukan lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Setiap langkah Arya mendengarkan dengan seksama celoteh Axel yang sedang menceritakan aktivitasnya hari ini. Sesekali Arya memberi tanggapan lalu mencium pipi anak kecil itu lagi. “Sudah pulang, Mas?” Seorang wanita cantik berwajah blasteran dengan dress rumahan muncul dari balik pintu dapur. Tangannya masih terlihat kotor karena ia sedang memasak untuk makan malam. “Hem. Masak apa?” tanya Arya sambil melepaskan Axel yang ingin bermain bersama pengasuhnya. “Ayam rica-rica.” “Kelihatannya enak,” puji Arya. “Enak doong, buatan Ivy pasti enak.” “Percayaa, Princess.” Arya mengamati Ivy yang sedang mencuci potongan ayam. Livylia atau biasa dipanggil Arya dengan panggilan Ivy adalah seorang perempuan yang ia nikahi lima tahun silam. Tangan wanita itu terlihat cekatan memasak untuk makan malam. Ada ayam, lengkuas, bawang merah dan putih serta beberapa bumbu dapur yang tak bisa Arya pahami. “Kenapa?” tanya Ivy ingin tahu. “Nggak apa-apa.” “Are you okey?” “Aku baik,” jawab Arya. “Aku mau mandi dulu.” Ivy mengangguk sambil memberikan anggukan untuk mempersilahkan Arya mandi. “Eh, Mas!” panggil Ivy tiba-tiba. “Ya?” Arya menghentikan langkahnya di tangga kedua. Ia berdiri dengan tampan meskipun lelah selepas bekerja, memutar tubuh ke arah istrinya sambil memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana. Sesuatu yang selalu membuat Ivy jatuh cinta setiap hari. “Nanti Mama Runi mau mampir kesini buat makan malam bareng.” “Heem, ya. Aku akan siap sebelum jam tujuh.” Ivy memberikan kedua jempolnya tanda setuju. Arya berjalan ke arah lantai dua di mana kamarnya berada. Ia mendudukan tubuhnya di ujung ranjang ketika rasa kosong mendominasi hatinya hampir setiap hari sejak lima tahun yang lalu. Dan hari ini dengan lancangnya ia kembali menemui Puspa di balkon terbengkalai perusahaan miliknya, seorang wanita yang di masa lalunya ia sakiti dengan sangat. Mata Arya memejam kuat ketika mengingat apa yang terjadi pagi tadi. Sekuat tenaga Arya tak ingin mengusik kehidupan Puspa lagi tapi nyatanya Arya kalah. Dia kalah dengan perasaannya sendiri. Ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi lalu mengguyur tubuhnya dengan air hangat untuk melepaskan semua ketegangan yang ada di dalamnya. Arya mengingat jelas garis wajah yang tadi sempat ia rekam di dalam otaknya. Garis wajah yang sudah hampir memudar karena perpisahan keduanya lima tahun yang lalu. “Fuck!” Cermin di hadapan Arya hancur berantakan terkena pukulan kuat tangan Arya. Darah terlihat di sana dengan kepingan-kepingan kaca yang memantulkan wajah kacau penghuninya. “Kamu kenapa, Mas?” tanya Ivy khawatir. Wanita itu sudah menunggu Arya di kamarnya. “Astaga kenapa tanganmu bisa berdarah? Kacanya pecah?” Ivy terkejut saat mendapati darah yang menetes di tangan Arya. Ia menarik tangan Arya dan memperhatikan beberapa kulit yang terluka akibat pecahan kaca. “Hanya sedikit, aku bisa membersihkannya sendiri,” jawab Arya sambil menarik tangannya dari genggaman Ivy. Wanita itu bergegas mengambil handuk kecil lalu menarik tubuh Arya untuk duduk di sisi ranjang. Dengan telaten Ivy membersihkan pecahan kaca dari tangan Arya lalu menekan darah untuk menghentikan perdarahan. “Kamu kenapa?” tanya Ivy yang duduk berjongkok di depan Arya sambil menekan tangan laki-laki itu. “Kalau ada masalah itu cerita, Mas. Kenapa?” tanyanya sekali lagi. “Aku minta maaf.” “Untuk?” “I found her, Vy,” ucap Arya dengan kesedihan yang begitu kentara. Ivy hanya bisa mentatap manik mata Arya dengansendu. Keterkejutan dan kesedihan datang bersama dalam satu waktu, begitu banyak hingga Ivy nyaris gontai. Jika Arya sudah menemukan wanita itu, bagaimana dengan dirinya nanti? Flashback “Maaa…” panggil seorang gadis cantik dengan rambut yang tersanggul indah. Ada hiasan bunga berwarna putih mewah di rambutnya yang semakin menambah kecantikan gadis berlesung pipi itu. “Ya sayang?” “Ivy tidak mau pakai dress ini,” sebalnya sambil menunjukan sebuah dress panjang yang ia jinjing di tangan kanannya. “Dress itu cantik, Vy.” Seorang wanita dengan wajah keibuan mendekat. Namanya Mama Runi. Wanita itu tersenyum hangat menanggapi tingkah anak perempuan satu-satunya yang masih bersikap sangat kekanak-kanakan. Jika tidak suka, Ivy akan memberontak, dan jika ingin, Ivy akan selalu berusaha mendapatkan apa yang ia mau. “Tapi ini sangat kekanak-kanakan, Ma. Ivy sudah dewasa.” “Usiamu masih belum 20 tahun, Ivy.” “Tapi pokoknya Ivy nggak mau pakai dress ini.” Wanita itu melangkah pergi. Ia berjalan memasuki ruang walk in closet kamarnya lalu mencoba mencari gaun pilihannya sendiri. Matanya berbanding lurus dengan tangannya yang bergerak lincah, hingga pada akhirnya gerakan itu berhenti saat menemukan sebuah dress berwarna soft pink dengan belahan dada rendah favoritnya. “Perfect,” ucapnya. “Daddy-mu tidak akan setuju kamu mengenakan dress ini,” ucap Mama Runi saat memasuki kamar. “Daddy tidak akan pernah menolak keinginan Ivy,” jawabnya percaya diri. Malam ini, ia pergi bersama dengan kedua orangtuanya ke sebuah pesta. Dan seperti yang Ivy ucapkan sebelumnya, ia berhasil pergi dengan memakai dress pilihannya sendiri. Pesta ini digelar dengan tujuan mempertemukan para pelaku bisnis untuk saling menjalin relasi. Seperti biasa, Ivy selalu bosan. Ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk makan ataupun sekedar mendengarkan musik. Biasanya pesta pengusaha akan mengundang penyanyi besar tanah air. “Ivy.” Suara lembut yang sangat ia kenali menarik perhatian Ivy dari rak makanan. Mamanya mendekat dengan senyum yang selalu mampu membuat Ivy merasa aman. “Kamu di panggil Daddy-mu.” “Ivy lagi makan, Ma,” jawab Ivy menolak. Tangannya hendak mengambil pastry dengan selai strawberry diatasnya yang terlihat menarik, tapi pergerakan itu terhenti saat tangan Mama Runi menahannya. “Sebentar saja,” paksa Mamanya. Malas berdebat di depan umum, Ivy mengikuti tarikan tangan Mama Runi. Wanita itu membawanya kembali mendekat ke meja mereka, tetapi meja itu kini tak lagi hanya milik kedua orangtuanya. Daddy Miller duduk dengan beberapa orang yang tidak Ivy kenal. Ada sepasang suami istri seumuran mama dan daddy-nya, dan seorang laki-laki yang duduk sedikit menjauh dari meja. “Ini Livylia, putri kami satu-satunya,” ucap Mama Runi memperkenalkan. “Sayang, kenalan dulu sama Om Brama dan Tante Anjani.” “Malem Om, Tante. Saya Livylia, biasa di panggil Ivy.” Kalimat itu keluar tanpa hambatan. Seperti biasa karena Ivy sudah sangat terbiasa memperkenalkan diri di depan rekan bisnis papanya. Hanya bedanya, kali ini wanita itu terlihat tertarik dengan seorang laki-laki yang duduk diantara kedua orang itu. “Hai Ivy, senang bisa berkenalan denganmu,” jawab Tante Anjani. “Oh ya, kenalkan ini Arya. Dia anak kami satu-satunya yang nantinya akan meneruskan perusahaan Adiputra.” Laki-laki yang disebut namanya itu hanya tersenyum sopan dan semakin membuat Ivy penasaran. Seperti sebuah magnet, Ivy merasa jatuh ke dalam manik mata laki-laki itu yang setajam elang tapi terasa lembut secara bersamaan. “Wah sudah kelihatan aura-nya,” puji Mama Runi. “Sangat berkharisma.” “Terima kasih Tante,” jawab laki-laki itu. “Arya tahun ini akan berangkat ke Boston untuk meneruskan Postgraduate-nya.” Ny. Anjani menyombongkan anaknya, wajar! Tempat ini dan pertemuan ini tujuannya memang untuk saling menunjukkan diri. “Oh ya? Keren,” jawab Mama Runi. “Ivy baru mau mengambil graduate-nya di Co—.” “Boston juga,” jawab Ivy cepat. Jawaban singkat yang mampu memutar wajah Mama Runi dan Mr. Miller bersamaan. “Ya, Boston?” Pernyatan Mama Runi yang lebih pantas disebut sebuah pertanyaan. Mama Runi melihat ke arah Ivy dengan kedua alis yang saling mendekat. Ia merasa sangsi dengan jawaban putrinya. “Yaa, Boston,” jawab Ivy mantap. Hingga malam menjelang, pesta yang biasanya membosankan menjadi sangat menyenangkan. Ivy merasa betah mencuri pandang ke arah laki-laki yang bernama Arya itu. Banyak laki-laki anak pengusaha yang sering dikenalkan dengan Ivy tapi hanya Arya yang mampu membuat wanita itu tertarik. Biasanya laki-laki akan dengan senang hati membawa Ivy untuk menjauh dari orangtua mereka, berbasa basi dan berbincang ingin mengenal Ivy lebih. Ayolah, siapa yang tidak mengenal Livylia Miller? Anak perempuan satu-satunya seorang investor kaya dari Aussie, memiliki perusahaan eksport import dan tinggal di Indonesia karena menikah dengan seorang wanita beruntung di negara ini. Tidak ada yang tidak mengenal Ivy di tempat ini, dan seharusnya tidak ada laki-laki yang tidak terpengaruh dengan Livylia termasuk Arya. “Aku sangat senang bisa berkenalan dengan Tuan Brama dan Ny. Anjani,” ucap Mr. Miller. “Kami yang lebih beruntung bisa mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan Mr. Miller dan keluarga,” jawab Tn. Brama. “Yaa, semoga kita bisa bertemu kembali lain kali.” “Pasti, Mr. Miller.” Mr. Miller dan keluarga diantar masuk ke dalam mobil oleh Tn. Brama. Mereka kembali berbincang sekilas lalu akhirnya keluarga Miller meninggalkan tempat pesta. “Boston?” tanya Mama Runi menatap Ivy penuh tanda tanya. Mr. Miller melakukan hal yang sama. Sedangkan gadis yang mendapatkan tatapan itu berlagak tidak peduli. “Sejak kapan anak kita mau kuliah di Boston, Ma?” tanya Mr. Miller. “Sejak bertemu dengan keluarga Adiputra tentunya,” jawab Mama Runi menggoda. “Sweethearth,” panggil wanita itu lagi ketika Ivy tidak menanggapi. “Yes, Ma?” “Boston?” “Ya, apa ada yang salah dengan Boston? Bukannya Daddy dan Mama minta Ivy untuk kuliah di sana?” tanya Ivy membela diri. “Ya, dan dua hari yang lalu kamu menolaknya, katamu kamu sudah berjanji dengan Arjuna untuk kuliah di tempat yang sama.” “Aku pikir-pikir tidak ada yang salah dengam Boston,” jawab Ivy santai. Mama Runi menggelengkan kepala lalu menyerah memahami otak rumit anak perempuan satu-satunya. “Anak kita sudah jatuh cinta, Dad,” celetuk Mama Runi yang mendapatkan gelak tawa dari Mr. Miller. *** Bandara Internasional Logan. “Mas Aryaa!” “Ivy!” “Akhirnya bisa ketemu.” “Aku sudah di sini dari tadi nunggu, kamu-nya aja yang susah nyarinya.” “Ck.” Malam ini, Ivy sampai di Boston. Setelah menyelesaikan berbagai keperluan administrasi pendaftaran, akhirnya wanita itu bisa menyusul pujaan hatinya yang sudah lebih dahulu kuliah di sini. Dengan beberapa pertemuan disengaja akhirnya Ivy bisa mengenal Arya lebih dekat. Dan berkat kuasa Daddy-nya, Ivy bisa memaksa Arya untuk menjadi pengasuhnya di Boston. Ivy memang cerdas! “Bagaimana perjalananmu, heh?” tanya Arya dengan senyum menawan. Seperti biasa, laki-laki itu selalu terlihat tampan di hadapan Ivy. Mata coklat gelap dengan rambut tebal sedikit ikal. Bibir tipis yang selalu tersenyum manis. Dan jangan pernah lupakan semua sikap manis yang selalu Arya tunjukan untuk Ivy. Ivy sering salah tingkah dihadapan Arya. “Hey,” panggil Arya meminta perhatian Ivy. “Baik, baik,” jawabnya cepat ketika ia merasa tolol karena terlalu mengagumi Arya. “Makasih udah jemput.” “Seperti biasa, Princess, kamu selalu bisa memaksaku buat nurut sama semua permintaanmu,” sindirnya. “Kita langsung ke apartement ya? Seperti permintaan Daddy-mu yang nggak mau anak perempuannya seorang diri di Boston. Akhirnya, aku terpaksa jadi bodyguard Ivy di sini.” “Jadi terpaksa nih?” “Hahaha, nggak Princess. Ikhlas, aku sudah berjanji akan menjagamu seperti adikku sendiri.” Ada kalimat yang tidak Ivy sukai disana, tapi Ivy bisa apa? “Kita tinggal di apartement yang sama kan?” tanya Ivy memastikan. “Ya, tapi unit di lantaiku sudah penuh. Kamu ada di unit lantai di atasku,” jawab Arya sambil memasukan koper-koper Ivy ke mobil. “Oh oke, nggak apa-apa.” Tidak apa-apa mereka tinggal di lantai yang berbeda. Yang penting, mereka bisa setiap hari bertemu. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Ivy akan selalu berusaha mendapatkan apa yang gadis itu inginkan termasuk Arya. Hamparan laut dalam gelap malam, hanya ada suara berisik debur ombak yang saling bersahutan. Mata Ivy berlarian mencari sosok yang menjadi alasannya datang ke tempat ini. Sebuah perkemahan yang diadakan oleh teman-teman Arya di kampus. Dan karena sedang tidak ada acara yang ia inginkan di akhir minggu, terpaksa Ivy mengikuti Arya yang memiliki agenda camping bersama teman-temannya. Ivy mendudukan tubuhnya di kursi samping Arya. Laki-laki yang sedang memetik senar gitar diikuti beberapa teman-teman lainnya bernyanyi. Arya sangat piawai bermain dengan gitarnya. Sesekali laki-laki itu melihat ke arah Ivy lalu meminta wanita itu untuk ikut bernyanyi bersama. Beep. Bii ❤️ Selamat pagi, Bii. Satu pesan yang terlihat di layar pop up ponsel Arya menarik perhatian Ivy. Ia melihat ke arah laki-laki itu yang masih fokus dengan teman-temannya. Ivy memberanikan diri menekan tombol power agar ponsel itu mati. Ivy tidak suka wanita itu mengganggu kebersamaan mereka. Ivy tahu tentang seorang wanita dengan nama panggilan ‘Bii’ di layar ponsel Arya. Ia adalah kekasih Arya, mereka sudah memiliki hubungan selama hampir tiga tahun. Namanya Puspa, seorang wanita yang sedang mengambil gelar sarjana di Universitas yang sama dengan Arya dulu. Darimana Ivy tahu? Tentu saja wanita itu mencari tahu segalanya tentang Arya. Termasuk Puspa dan segala kerumitan hidup di dalamnya. “Ada apa?” tanya Arya tiba-tiba. “Nggak apa-apa.” “Laper?” Ivy menggeleng. “Ngantuk?” Ivy menggeleng sekali lagi. “Terus?” “I’m fine. Aku hanya sedang melamun.” Arya tersenyum, laki-laki itu memusatkan perhatiannya ke arah seorang wanita yang selalu menemaninya akhir-akhir ini. “Aku sudah bilang untuk tidak usah ikut camping. Acara ini sangat bukan ‘kamu’,” ucap Arya. “Lalu apa yang bisa aku lakukan tanpa kamu di apartement?” tanya Ivy ambigu. “Kamu bisa nonton ajak teman-temanmu atau shoping? Apapun yang kamu sukai.” “I don’t have friends,” jawab Ivy. Ia mengambil satu botol minuman yang tidak ia pahami. Tapi tangannya tertahan tangan Arya. “Ini minuman beralkohol,” larang Arya. “Aku tidak boleh minum? Usiaku sudah lebih dari dua puluh tahun.” Arya menggeleng. “Kamu tidak boleh.” “Please,” mohon Ivy. “Yang penting kita sama-sama tidak mengatakan rahasia ini ke Daddy ku.” Arya mengambil beberapa botol minuman yang masih penuh di kedua tangannya. “Tidak boleh.” Laki-laki itu membawa minuman mendekat ke arah teman-temannya. Mereka semua mendapatkan minuman beralkohol kecuali Ivy yang hanya mendapatkan satu botol air mineral. Merasa selalu dianggap anak kecil, Ivy memilih pergi. Arya selalu berlebihan dalam menjaganya. Ia masuk ke dalam tenda miliknya sendiri lalu menidurkan tubuhnya disana. Otaknya menerawang jauh entah kemana. Hanya ada satu nama di dalam otak wanita cantik itu. Puspaningrum. Bagaimana cara Ivy menjauhkan Arya dari wanita itu? Sudah hampir satu tahun Ivy ada di sini dan nama wanita itu tidak bergeser sedikitpun di hati Arya. Bahkan yang Ivy sadari, Arya hanya melihat Ivy sebagai seorang adik kecil yang membutuhkan perlindungan. Tidak lebih. “Brengsek!” umpat Ivy lirih. Ia memilih untuk mengambil earphone miliknya dan mendengar beberapa lagu kesukaannya. Wanita itu tertidur dalam waktu yang cukup lama. Ivy mendudukan tubuhnya lalu menggeliat panjang untuk merilekskan tubuhnya yang kaku karena tertidur dalam posisi tengkurap. Ia melihat ke arah jam yang menunjukan pukul dua pagi waktu setempat. Ivy keluar dan dia mendapati beberapa teman Arya tergeletak di kursi, bahkan sampai tertidur di pasir. Pasti mereka baru saja selesai mabuk-mabukan. Kehidupan luar negeri memang sebebas itu, terlebih untuk anak muda yang memiliki uang seperti Arya dan Ivy. Mata Ivy terpaut ke arah sosok tubuh yang sedang tertidur tidak jauh dari tempatnya berdiri. Arya duduk di kursi dengan posisi sedikit menelungkup. Ivy mendekat lalu merasakan bau alkohol yang sangat kuat di sekitar tubuh Arya. Pasti laki-laki itu sedang mabuk. Batin Ivy. Arya, paling tidak kuat dengan alkohol. Laki-laki itu sering meracau jika sedang mabuk, dan melakukan hal-hal absurd seperti bukan dirinya. Ivy tidak mau Arya sakit. Dengan cuaca sedingin ini, tentu tidak baik bagi Arya yang memiliki riwayat asma menghabiskan malam di luar tenda. Biarkan teman-teman lainnya tidur di luar tapi tentu Ivy tidak akan membiarkan tubuh Arya kedinginan di luar tenda. Ivy membawa tubuh Arya yang besar, ia beruntung karena Arya masih sedikit sadar dan mau ikut melangkah untuk mempermudah jalan mereka berdua. “Hai adik kecilku,” sapa Arya dengan kalimat serak. Berapa minuman yang laki-laki itu tenggak? Jika dia sudah sadar, Ivy tidak akan segan untuk memukulkan botol itu ke kepala Arya. “Ah, jika melihatmu di sekitarku, aku —jadi sangat merindukan Puspaku.” Kalimat Arya menghentikan langkah Ivy. Ia melihat ke wajah Arya yang tersenyum sambil menerawang entah kemana. Jelas laki-laki itu sedang membayangkan kekasihnya, dan Ivy sangat tidak menyukai hal itu. “Aku sangat merindukannya, kamu tahu? Aku sangat ingin memeluk tubuh wanita itu sekarang ini.” Ingin sekali Ivy menyumpal bibir Arya dengan tangannya. Sekuat tenaga Ivy mencoba membantu Arya untuk masuk ke dalam tenda. Ia menidurkan tubuh Arya ke kasur matras tapi karena berat tubuh Arya yang besar, Ivy kehilangan keseimbangan dan justru ikut jatuh ke dalam pelukan hangat seorang Arya. Laki-laki itu melingkarkan tubuhnya ke tubuh mungil Ivy yang membeku. Ketika menengadahkan kepalanya, moment di sekitarnya terasa berhenti. Mata Ivy terpaut ke arah wajah Arya yang tersenyum dengan mata terpejam. Moment yang jarang terjadi, Ivy bisa mengamati Arya dari jarak dekat. “Aku mencintaimu, Bii.” “Aku mencintaimu, Arya.” Laki-laki itu tersenyum meremehkan padahal matanya tertutup sempurna. “Kamu tidak lebih dari adik kecilku. Dulu … aku sangat menginginkan seorang adik perempuan, dan aku mendapatkannya darimu.” Dengan sekuat tenaga Ivy melepaskan diri. Ia berniat melangkah pergi, rasa sakit luar biasa ia rasakan di hatinya. Ivy tidak suka ketika hal yang dia inginkan tidak bisa ia dapatkan. Ini bukan tentang obsesi tapi jelas Ivy sudah jatuh cinta kepada sosok Arya, dan ingin memiliki Arya untuk dirinya sendiri. Kamu bisa memilikinya. Ivy melihat ke arah Arya yang masih meracau, Ivy tahu … laki-laki itu akan mudah menyerah dengan logikanya saat mabuk. Masih ada satu kesempatan. Ivy mendekat lalu dengan berani mendudukan tubuhnya di atas tubuh Arya yang telentang. Anggap saja Ivy sudah kehilangan logika dan akal! Laki-laki itu terkejut, tapi dengan cepat Ivy meletakan kedua tangannya merangkum wajah Arya untuk menghadapnya. “Aku bukan adik kecilmu.” Ivy mencium bibir Arya semampunya. Meskipun ia tidak pernah melakukan ini, tapi nalurinya yang menuntun setiap gerakan lembut bibir Ivy. Arya sempat menolak tapi dengan mudah Ivy memaksa tubuh Arya yang gontai untuk tetap berada di bawahnya. “Vy, kamu—, Stop!” cegah Arya. Logikanya sudah rusak akibat minuman yang baru saja ia tenggak. Lebih lebih dari satu tahun dia tidak bertemu dengan kekasihnya. Dan malam ini, seorang wanita dengan tubuh indah berada di hadapan Arya menawarkan diri. “Ivy, stop,” geram Arya sekali lagi saat Ivy mulai menciumi lehernya. Laki-laki itu menghargai Ivy sebagai wanita terhormat, menjaga wanita itu seperti adiknya sendiri. Ia bergerak dan mendorong tubuh Ivy pelan agar wanita itu menjauh, tapi sepertinya, usahanya terlalu mustahil dilakukan saat tubuhnya lemah. “Aku tidak bisa, Vy, aku mohon, lebih baik—.” Ivy menempatkan tubuhnya di bagian bawah tubuh Arya. “Livyliaaa!” bentak Arya marah, ia mendorong tubuh Ivy kasar hingga wanita itu nyaris terjungkal. Ivy menyelesaikan apa yang ingin ia lakukan, lalu berdiri menantang. Jari jemarinya melepas satu persatu pakaian yang menutupi tubuhnya. “Aku tidak akan melepaskan Mas Arya malam ini.” “Fuck!” Marah Arya kasar lebih untuk dirinya sendiri! Arya … kalah. “Arya tidak bisa.” Satu tamparan kuat mendarat di pipi Arya. Laki-laki itu berdiri dengan kaku di depan papanya di ruang tengah apartement miliknya di Boston. “Jangan jadi goblok, Arya.” “Arya tidak bisa, Pa,” keukeuh Arya. “Karena wanita itu?” tanya Tn. Brama marah. Kedua matanya menyorotkan amarah yang sangat besar kepada anak laki-laki satu-satunya yang selama ini selalu bisa ia andalkan. Tn. Brama langsung mendapatkan penerbangan di hari pertama saat mendapatkan kabar kehamilan Ivy dan … penolakan Arya. “Namanya Puspa,” jawab Arya. Arya berdiri dengan kepala yang sengaja ia tundukan. Dia sangat menyesal tapi bukan berarti dia harus mengorbankan sisa hidupnya bersama dengan seorang wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Dia menjaga dirinya dan juga perasaan Ivy nanti. “Papa tidak peduli! Lepaskan wanita itu!” tuntut Tn. Brama. “Berapa kali pun Papa meminta, Arya tetap akan selalu memiliki jawaban yang sama jika itu tentang Puspa.” Tn. Brama mengambil kertas kosong di hadapannya lalu meremasnya tepat di depan mata Arya. “Aku bisa menghancurkan wanita itu seperti kertas ini,” ancam Tn. Brama. “Lepaskan dia.” Arya takut! Tentu saja papanya bisa menyingkirkan hidup Puspa dengan sangat mudah. Terlebih jika ada nama keluarga Miller dibelakangnya. “Arya ti—.” Brak! “Jangan membantahku, Arya! Kamu tahu siapa Livylia? Siapa nama Miller dibelakangnya? Mereka bisa menghancurkan perusahaan yang sudah kakekmu rintis dari nol dengan sangat mudah. Hancur! Dan itu semua hanya bisa terjadi jika kamu melihat tubuhku terbujur kaku.” “Pa…” “Berfikirlah dengan benar sebelum kamu bertindak,” ucap Tn. Brama lalu duduk di kursinya. Seperti sebuah tamparan hebat disematkan kearah keluarga Adiputra saat mendengar kabar ini. Bagaimana bisa Arya tidak mau bertanggung jawab dengan darah dagingnya sendiri? “Keluarga Miller menginginkan pernikahan setelah anak itu lahir. Jangan pernah lepaskan pandanganmu dari Ivy.” Arya hanya diam membisu, tidak mengiyakan. Otaknya sibuk mencari jalan keluar yang sekuat tenaga ia cari tetapi nyatanya tetap tidak ia temukan. “Arya tidak mencintai Ivy.” “Apa menurutmu Papa menikahi mamamu karena cinta?” tanya Tn. Brama. “Jawabannya adalah tidak! Tapi buktinya ada kamu, kita bahagia hidup di dalam keluarga ini.” Arya diam mendengarkan. “Dan apakah kamu membutuhkan cinta untuk membuat janin tumbuh di dalam perut Ivy?” tambah Tn. Brama. “Itu sebuah kesalahan.” “Tidak butuh cinta dalam rumah tangga, Arya! Yang kamu butuhkan hanya komitmen dan kerjasama. Cinta akan menghilang bersama waktu, dan Papa pastikan apa yang kamu rasakan kepada wanita itu akan hilang saat kamu memulai kehidupanmu bersama Ivy.” Arya memejamkan matanya kuat saat merasa tak ada lagi pintu keluar untuknya. Tapi melepaskan Puspa tidak akan semudah itu. Wanita itu sudah menjadi bagian dalam hidup Arya. Ia jadikan tumpuan selama ini. Lalu bagaimana ia harus mengatakan sebuah perpisahan yang sama sekali tidak ada di dalam rencananya bersama Puspa? “Pa —,” panggil Arya lirih. Satu tetes air mata tak lagi bisa tertahan ketika rasa kehilangan begitu kuat meskipun perpisahan belum terucap. Dada Arya sesak, hanya sekedar untuk bernafas normal. Ia membayangkan bagaimana hidupnya nanti tanpa wanita itu? Bagaimana bisa Arya bertahan saat wanita itu-lah selalu bisa ia jadikan sandaran? “Yaa?” “Apakah tidak ada jalan keluar lain?” tanyanya. Ia menatap papanya dengan sebuah permohonan tanpa ucapan. Papanya adalah benteng terakhir yang bisa menyelematkan hidup Arya saat ini. Tn. Brama menggeleng. “Tidak ada, Nak. Maafkan papamu. Aku tidak bisa membantumu.” Isakan Arya pecah! Laki-laki itu meluruhkan tubuhnya di lantai marmer yang dingin. Ia menumpahkan segala perasaannya di sana. Meratapi kisah cinta yang selalu ia sematkan dalam hidupnya. “Arya dan Puspa sudah mati. Mulai detik ini, mulai hidup barumu bersama Ivy. Masa depanmu ada bersamanya,” ucap Tn. Brama penuh penekanan. Tn. Brama memeluk tubuh Arya untuk memberikan kekuatan. Dia memahami perasaan putranya. Jelas ia bisa melihat ketertarikan Ivy kepada Arya di detik pertama pertemuan keduanya. Dan melihat bagaimana wanita itu yang selalu mencoba mendekati Arya, Tn. Brama tahu, kehamilan Ivy tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Arya. Laki-laki itu memilih berdiri saat merasa apa yang ingin ia sampaikan sudah terucap. Ada rasa sakit yang ia rasakan saat melihat anaknya terluka. Tapi ketika suratan takdir itu sudah tertulis, apa yang bisa manusia bisa lakukan selain menjalaninya? Tn. Brama melangkah pergi meninggalkan Arya dengan keputusasaannya seorang diri. “Beri kesempatan kepada Arya,” ucap Arya yang menghentikan langkah Tn. Brama. “Untuk?” “Mengucapkan sebuah kata perpisahan.” “Ambil waktumu sebelum pernikahan itu terjadi. Tetapi setelahnya, kamu harus benar-benar melepaskan wanita itu termasuk kenangan kalian.” Tn. Brama melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Arya di dalam ruang apartemennya. “Bagaimana?” tanya seorang laki-laki yang sudah menunggu Tn. Brama di depan pintu. “Aku sudah berusaha semampuku.” “Perusahaan kalian ada di tangan Arya. Semua keputusannya akan sangat berpengaruh besar dalam kehidupan kalian kedepannya.” “Saya sudah berusaha, Mr. Miller.” *** Ivy berdiri canggung saat mendengar pintu terbuka. Ia melihat Arya yang masuk ke dalam apartement. Dengan pasti Ivy tahu Arya sudah melihatnya, tapi laki-laki itu memilih mengabaikan Ivy. “Mas,” panggilnya. Arya melepaskan sepatunya lalu berganti dengan sandal rumah. Ia berjalan dengan gontai dan duduk di sofa berseberangan dengan wanita itu. “Mas, bagaimana?” tanya Ivy. “Kamu tahu aku tidak pernah mencintaimu,” jujur Arya. Sakit memang! Tapi Ivy yakin ia bisa menaklukan hati Arya jika laki-laki itu sudah benar-benar menjadi miliknya. Jika sudah tidak ada lagi nama Puspaningrum di dalam hidup Arya. “Kita bisa mencoba, Mas. Setidaknya, demi anak kita.” Ivy tahu laki-laki itu tersentuh saat mendengar bayi yang berada di dalam kandungannya. Ivy sadar ia jahat, tapi demi cintanya ia merasa harus untuk melakukan ini. “Aku menghormatimu sebagai perempuan, Ivy. Dan aku menyayangimu seperti saudaraku sendiri. Tidak akan ada namamu di hatiku,” ucap Arya dengan menunjuk ke arah dadanya sendiri. “Apapun keputusanmu saat ini akan sangat berpengaruh besar dalam kehidupan kita nantinya.” Ivy menatap mata Arya, mendengar setiap ucapan yang disampaikan laki-laki itu. “Sebuah pernikahan adalah dua manusia yang menyatu. Tanpa cinta, semuanya akan terasa hambar.” “Mas Arya bisa mencoba?” Arya memejamkan matanya kuat, sekelibat bayangan Puspa yang sedang tersenyum ceria semakin membuat Arya merasa bersalah. Seharusnya Arya menjadi obat bukan justru menjadi sumber kesakitan Puspa. “Mas Arya bisa mencoba?” tanya Ivy sekali lagi. “Sebuah pernikahan bisa dipupuk dengan adanya komitmen dan tanggung jawab. Jika Mas Arya bisa memastikan bahwa wanita satu-satunya yang ada didalam hidup Mas Arya hanya Ivy. Ivy mau menjadi istri Mas Arya dan berusaha menjadi Ibu yang baik untuk anak kita.” Arya masih tercekat. Ia tidak mampu untuk sekedar berkata ‘ya’ seperti rencananya sebelumnya. “Mas … bagaimana?” Jeda cukup lama dibiarkan Arya tanpa jawaban. Ia melihat seorang wanita yang duduk dengan wajah berbinar di hadapannya. Apakah benar wanita itu adalah takdirnya? Masa depannya? Rasa ngilu di hati Arya kembali terasa saat menyadari bahwa tidak ada lagi nama Puspa di masa depannya. “Mas…” “Aku akan berusaha,” jawab Arya lirih. “Tapi aku memperingatkanmu, Vy. Hal yang didapat dengan cara yang tidak baik … tidak akan pernah berakhir dengan baik.” Wanita itu mendekatkan tubuhnya lalu memeluk Arya. “Aku mengambil resiko itu, Mas. Terima kasih.” “Aku minta satu hal.” “Apa itu?” Arya menelan ludahnya kesulitan. “Aku ingin kamu memberiku waktu sampai pernikahan itu terjadi.” “Waktu?” “Waktu untukku dan Puspa. Waktu untuk perpisahan.” “Tentu saja.” Post navigation Kamu yang Kusebut Rumah 3 Kamu yang Kusebut Rumah 5