Kamu yang Kusebut Rumah 2Kamu yang Kusebut Rumah 2

CRTDALAM “ Satu ice coffe medium, please.”

Puspa membayar serta menunggu kopi yang dia pesan di sudut ruang berdinding cermin. Weekend begitu kilat lalu, senin yang rempong terdapat di depan mata. Dia memutuskan membeli ice coffe buat hanya membuat matanya senantiasa terbuka.

Pekan kemarin dia berangkat ke rumah bapaknya buat melepas rindu, namun pria itu nyatanya lagi liburan dengan keluarganya. Serta Puspa berakhir dengan liburan yang cuma hanya di rumah serta membaca novel.

“ Ice kayaknya bukan opsi yang pas di waktu hujan.”

Puspa memperoleh pesanannya.“ Yaa, negatif x negatif dapat jadi positif, dingin x dingin dapat jadi menghangatkan.”

Barista wanita yang telah lumayan Puspa tahu nampak ragu mendengar jawaban Puspa.“ Saya tidak berfikir semacam itu,” ucapnya membuktikan ketidaksepakatan dengan kalimat yang baru saja Puspa sampaikan.

“ Yaa, saya cuma mengarang leluasa. Saya lagi mau saja,” jawab Puspa sembari membuktikan es kopi dinginnya.

“ Oke. Good luck buat hari ini.”

Puspa mengucapkan terima kasih kemudian menyeruput kopi di tangannya sedikit. Dia melangkahkan kakinya ke arah bangunan yang telah lebih dari 3 bulan dia peruntukan tempat mencari rezeki. Dia meletakan payung pada tempatnya kemudian membenahi baju yang terserang cipratan air hujan. Sehabis merasa lumayan apik, Puspa kembali melangkah.

“ Telah berapa persen pembangunan pabrik?”

Suara yang tidak asing terdengar dari arah balik badannya. Puspa bergeser haluan, sedikit berlari kilat ke arah wc lobby. Dia menyembunyikan badannya di situ, suatu yang tidak baik bila ia wajib berjumpa dengan pria itu.

Mengapa wajib mereka terletak di tempat yang sama pagi ini? Rutuk Puspa dalam hati. Dia memutar badannya buat lebih masuk ke dalam. Tetapi seketika…

Buugh.

Suara tangis penuhi lorong mengarah ke arah wc lobby.

“ Maaf,” ucap Puspa.

Dia menciptakan seseorang anak kecil berumur dekat 5 tahunan menangis sesenggukan. Sialnya, anak kecil itu menangis sebab terserang tumpahan es kopi miliknya.

“ Hati- hati jika jalur dong, Mba,” ucap seseorang perempuan berseragam yang dapat Puspa kenali selaku penjaga anak pria itu.

“ Maaf,” ucap Puspa sekali lagi. Dia berjongkok di hadapan anak kecil itu sembari membenahi pakaiannya yang terserang tumpahan kopi.“ Apa terdapat yang sakit?”

Anak kecil itu menggeleng, jawaban yang membuat Puspa merasa lega.

“ Apa yang terjalin?” Suara yang jadi pemicu kejadian pelariannya saat ini malah terdengar jelas di balik badan Puspa yang lagi berjongkok. Badan Puspa mengencang, bertepatan dengan wangi parfum yang mendominasi mengganti suasana jadi lebih mencekam.

“ Papaaaa,” panggil anak kecil itu mendekat.

“ Maaf, Pak. Tadi den Axel berkemih, lari terus nubruk Mbaknya, terus ketumpahan es kopi.”

Puspa masih mengeras, dia cuma mencermati tiap obrolan yang terjalin antara pria itu serta penjaga anaknya. Badannya sangat susah buat merespon peristiwa yang begitu kilat pagi ini.

“ Dapat kalian ambilkan baju ubah Axel?” suara pria itu lagi.

Sang penjaga balita memandang ke arah Puspa dengan tatapan menusuk. Apa artinya? Apa pria itu menyuruhnya?

Puspa ketahui dia salah, berlari menjauhi sumber suara kemudian berakhir bertabrakan dengan seseorang anak kecil yang tidak ketahui apa- apa.

“ Hey,” panggil penjaga itu.

Puspa berdiri kemudian memutar badannya ke arah sumber suara. Sebisa bisa jadi dia senantiasa menundukan kepala, menjauh bersitatap dengan pria itu—lagi.

“ Dapat kalian ambilkan baju ubah Axel di mobil?” tanya pria itu lagi.

“ Baik, Pak,” jawab Puspa. Dia sadar, Arya telah ketahui tentang keberadaannya.

“ Oke, nanti membawa ke ruangan aku.”

Puspa melaksanakan instruksi yang diberikan atasannya. Atasan yang sialnya merupakan bapak anak yang dia tabrak serta tertumpah es kopi miliknya! Puspa mencari ketahui tentang keberadaan mobil Arya kemudian memohon tolong sopir buat membukakan mobil Arya serta mengambil baju ubah bocah kecil tadi.

“ Maaf, apakah aku dapat menitipkan baju ubah anak Pak Direktur?” tanya Puspa ke arah petugas satpam yang berjaga di depan pintu lift lantai ruangan Arya.

“ Bisa jadi kamu dapat menitipkan ke seketaris Pak Arya, namanya Mbak Lita.”

“ Oh ya? Dimana aku dapat berjumpa Mbak Lita?”

“ Jalur lurus nanti belok kanan, mejanya pas di depan pintu besar ruangan Pak Arya.”

“ Baik terima kasih.”

Puspa menjajaki arahan satpam serta senyumnya mengembang dikala menciptakan seseorang perempuan berbalut tampilan elok dengan nametag Nurlita.“ Maaf dengan Mba Lita?”

“ Iya,” jawab perempuan itu sopan.

“ Aku ingin nitip baju ubah anak Pak Direktur,” ucap Puspa sembari menyerahkan baju ubah yang terdapat di tangan kanannya.

“ Aku mau menolong, tetapi maaf tadi Pak Arya berpesan supaya Mbak- nya sendiri yang mengantar ke ruangan Pak Arya.”

Senyum di bibir Puspa menghilang, dapat Puspa yakini bila Arya betul- betul mengidentifikasinya. Suatu yang sangat dia jauhi dikala ini. Kemudian apa yang wajib dia jalani? Rasa sesak serta tidak aman penuhi perasaannya. Puspa tidak ingin tetapi apa dapat ia menolak?“ Maaf, tetapi aku tidak dapat.”

Perempuan di hadapannya menyangsikan kalimat Puspa. Kedua alisnya mengerut serta silih mendekat penuh ciri tanya. Pasti saja, gimana dapat karyawan sekelas Puspa menolak perintah atasan yang terletak di atas atas atasnya?

“ Aku wajib bekerja,” jawab Puspa asal.

“ Aku rasa itu bukan suatu jawaban yang bijak. Kamu telah menumpahkan baju ke anak owner industri tempat kamu bekerja, aku rasa kamu butuh memohon maaf langsung ke Pak Arya.”

Puspa ketahui.

“ Yaa, baiklah. Terima kasih.”

Puspa menyeret langkah kakinya ke arah pintu besar yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Pintu bercorak coklat maskulin dengan nama serta posisi yang tercetak jelas di situ. Doa senantiasa Puspa ucapkan dalam hati, mudah- mudahan pertemuan ini tidak hendak berarti apa- apa buat keduanya. Puspa menarik napas panjang saat sebelum betul- betul mengetuk pintu itu.

“ Langsung masuk saja,” ucap Mbak Lita berikan instruksi.

Puspa mengangguk serta memberanikan diri membuka handle pintu yang dingin. Dikala merambah ruangan Arya, aroma maskulin langsung penuhi indera penciumannya. Wangi musk yang dahulu jadi wangi kesukaan Puspa. Ruangan kerja Arya luas dengan karpet Turki bergaya klasik yang terus menjadi menaikkan kesan mahal di tiap sudut- sudut bangunan.

“ Aku mengantarkan baju ubah adeknya.” Puspa wajib bersyukur dia dapat mengucapkan kalimat itu tanpa terbata walaupun degup jantungnya seolah keluar dari tempatnya.

“ Pakaikan, namanya Axel,” jawab Arya. Pria itu duduk di kursi tanpa memandang ke arah Puspa. Tangannya disibukkan dengan sebagian berkas, sebaliknya anak kecil yang baru Puspa tahu namanya Axel duduk di karpet di hadapan Arya sembari bermain mobil- mobilan.

Puspa mau drama ini lekas berakhir. Dia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Axel.“ Hai, apa boleh aku bantu mengubah pakaianmu yang kotor?”

Axel anak yang baik, dia mengangguk memperbolehkan serta berdiri dengan manis di hadapan Puspa. Anak yang mempunyai garis wajah sama dengan Arya, kelainannya matanya bercorak biru. Indah sekali, batin Puspa. Tentu istri Arya sangat menawan sebab Axel begitu sempurna di mata Puspa.

“ Thank you,” ucap Axel sehabis Puspa berakhir mengubah pakaiannya.

“ You are welcome,” jawab Puspa kemudian Axel melanjutkan kegiatan bermainnya.

Puspa berdiri serta menghadap ke arah Arya yang masih nampak padat jadwal.“ Aku telah berakhir, Pak. Maaf bila tadi aku tidak hati- hati serta menabrak Tuan muda kecil,” ucap Puspa dengan tersenyum dikala matanya menangkap wujud Axel yang memandang ke arahnya.“ Aku permisi.”

Arya tidak menanggapi, dia masih menautkan matanya ke arah berkas- berkas di meja. Merasa tidak butuh menunggu jawaban, Puspa memutar badannya buat melangkah berangkat.

“ Tunggu.” Suara yang sanggup menghentikan langkah Puspa. Perempuan itu mengeras di tempatnya.“ Axel, dapat kalian bermain di kamar? Papa ingin ngobrol sebentar dengan tante ini.”

“ Okee, Axel pula mengantuk, Axel ingin bobok dahulu ya, Pa.”

“ Pasti saja sweetheart.”

Suara pintu kamar individu di balik Puspa terbuka, menegaskan kalau kali ini cuma terdapat ia serta Arya di ruangan ini.

“ Duduklah.”

Puspa senantiasa bergeming.

“ Bii, duduk.”

Entah mengapa panggilan itu menyesakan dada. Puspa memejamkan mata buat mengusir seluruh bayang- bayang kenangan masa kemudian yang telah dia kunci rapat di hatinya. Logika Puspa menolak, dia senantiasa melangkah menghindar serta menyudahi di depan pintu ruang kerja Arya.

Tetapi sialnya, pintu itu tidak dapat dibuka.

“ Saya menguncinya,” ucap Arya.“ Duduklah dahulu, saya berjanji tidak hendak menyakitimu—lagi.”

Puspa sempat berharap Arya merupakan jawaban dari tiap doa yang dia langitkan. Suatu pemberian terindah dari dunia yang seringnya mengecewakan. Namun pada kesimpulannya, pria itu malah jadi salah satu cobaan dari sekian tes yang wajib Puspa lapangkan. Sehabis perceraian orangtua yang dimulai dari ratusan pertengkaran hebat di hadapan Puspa, perempuan itu kembali dipatahkan oleh seorang yang sepatutnya dia peruntukan tumpuan. Arya Adiputra, pacarnya.

Puspa jatuh, terbuang serta sekali lagi merasa tersisihkan.

Kehidupan Puspa berganti ekstrem sehabis kepergian Arya. Perempuan yang tadinya telah mulai yakin dengan terdapatnya keajaiban, kembali diredam oleh suatu pengabaian.

Ya, Arya mengabaikan Puspa yang masih berharap besar dengan ikatan mereka. Sampai bertahun- tahun lamanya Puspa masih berharap seseorang Arya hendak kembali memandang kearahnya semacam dahulu, namun tampaknya pria itu tidak kunjung kembali menoleh.

Arya berjalan lurus tidak lagi memandang ke arah Puspa di belakangnya yang meminta pria itu buat kembali. Arya betul- betul memusnahkan Puspa di dalam tiap poros hidupnya. Tidak terdapat lagi nama Puspaningrum di situ. Sebaliknya di hati Puspa masih ada nama Arya di mana- mana.

Pagi ini, mereka berdua kembali dipertemukan dalam suatu fase kehidupan berbeda. Puspa tidak lagi berharap, hatinya kosong berhamburan. Sebaliknya Arya telah berjalan jauh di depan dengan kehangatan keluarga yang dahulu sempat dia janjikan pada Puspa.

Mereka berdua di dalam ruangan yang sama dengan bermacam berbagai perasaan yang silih mencari atensi. Puspa duduk dengan canggung serta jari jemari bertaut takut. Mereka berdua dipisahkan suatu meja marmer elegan. Puspa duduk di kursi berseberangan dengan Arya yang saat ini menautkan atensi penuh ke arah perempuan dari masa lalunya.

Sekelibat bayangan kebersamaan mereka muncul serta sekuat tenaga Puspa berupaya menepisnya.“ Aku tidak sempat bermaksud mengusik hidup Pak Arya,” ucap Puspa awal kali. Ini merupakan salah satu wujud pertahanan diri yang Puspa jalani.

Saat sebelum Arya menghasilkan kalimat yang bisa jadi dapat kembali merobek hati, Puspa menarangkan kalau pertemuan ini cumalah suatu ketidaksengajaan.“ Apalagi aku sama sekali tidak ketahui jika Pak Arya owner industri ini,” tambah Puspa.“ Aku—saya telah berencana resign tetapi nyatanya pinalty- nya sangat besar. Aku tidak sanggup.”

“ Bii—.”

“ Nama aku Puspa—, Puspaningrum,” putus Puspa menyela.“ Aku tidak hendak mengusik hidup Pak Arya, aku ketahui dimana batasan aku terletak.” Puspa mendominasi, sekuat tenaga berupaya membuktikan betapa ia tidak mempunyai iktikad terselubung dalam pertemuan ini. Tidak terdapat lagi yang Puspa harapkan dari seseorang Arya Adiputra.

“ Saya tidak sedikitpun merasa tersendat, aku—.”

“ Aku wajib berangkat,” putus Puspa sekali lagi sembari berdiri.“ Dapat Ayah bukakan pintu buat aku keluar?”

“ Dapat kalian tidak memutus kalimatku, Bii? Serta saya meminta kepadamu buat senantiasa duduk, dapat?” Pinta Arya yang lebih layak diucap tuntutan.

Kali ini mata mereka kembali silih tertaut sehabis sekian purnama. Puspa memantapkan hatinya buat menelisik ke arah bola mata yang tadinya dekat tetapi saat ini terasa asing. Tidak terdapat lagi perasaan mempunyai semacam lebih dahulu. Sebab untuk Puspa, Arya- nya telah mati.

“ Maaf aku wajib bekerja.” Puspa bawa langkahnya ke arah pintu keluar serta terus menjadi memesatkan kala mendengar suara derap langkah kaki mendekat.

Puspa merasakan badannya ditarik serta dituntut menghadap ke arah objek yang sangat mau dia jauhi. Arya memojokan badan Puspa ke pintu. Pria itu saat ini berjarak sejengkal pas di depan badan Puspa yang mengeras.

Puspa memilah alihkan tatapannya kala seolah kembali terperangkap ke dalam manik mata Arya yang menimbulkan ribuan kenangan manis mereka berdua—dulu. Mereka berdiri dengan jarak yang begitu dekat, dengan napas yang silih menderu hebat.“ Perkenankan—saya, berangkat,” mohon Puspa.

Arya meletakan kedua tangannya di samping kanan serta kiri badan Puspa. Terdengar jelas tarikan napas Arya dikala berupaya mengendalikan deru nafasnya sendiri.“ Apakah kalian dapat mendengarkanku?” tanya Arya setelahnya.

“ Tidak.”

“ Mengapa?”

Mengapa? Puspa betul- betul tertarik dengan persoalan itu.“ Itu merupakan persoalan yang aku simpan semenjak dahulu kemudian menguap dengan sendirinya sebab tidak kunjung terjawab.”

“ Artinya?” tanya Arya tidak mengerti.

“ Mengapa?” ulang Puspa.

“ Mengapa apa?”

“ Mengapa Pak Arya tidak dapat mendengar permohonan aku buat senantiasa tinggal?” tanya Puspa tegas, pas ke manik mata pria itu.

Arya terbungkam! Tidak sanggup menanggapi persoalan Puspa yang memukul telak dirinya.

“ Maaf Pak Arya, ayah 5 menit lagi terdapat rapat direksi. Terima kasih.” Suara Mbak Lita lewat intercom membagikan sela waktu diantara keduanya. Puspa kembali menundukan mukanya sebaliknya Arya masih menautkan bola matanya ke arah Puspa. Pria itu nampak marah, sangat marah buat alibi yang tidak Puspa tahu.

“ Saya memohon maaf,” ucapnya lirih. Kedua tangannya dia tarik kembali sejajar dengan tubuhnya

“ Aku mohon buat membuka kunci pintu.”

“ Saya memohon maaf, Bii.”

“ Puspa.”

“ Yaa Puspa! I already said sorry.”

“ Aku tidak dapat memaafkan Ayah. Lebih baik semacam itu, kita tidak lagi butuh silih mengungkit masa kemudian. Seluruhnya telah berakhir.”

Beep

“ Maaf Pak Arya, telah waktunya rapat direksi. Ayah telah ditunggu.”

Kedua tangan Arya mengepal kokoh sampai buku- buku jarinya memutih. Bibir pria itu mengatup tipis dengan rahang keras menahan emosi. Berbeda dengan Puspa, bibir perempuan itu bergetar dengan kedua tangan silih meremas sebab khawatir. Suatu reaksi badan yang tertangkap mata Arya dengan jelas.

“ Pergilah.”

Arya berjalan mendekat ke arah mejanya kemudian sedetik setelah itu bunyi kunci pintu terbuka. Puspa bergegas keluar dari ruangan yang menyesakkan ini, berjalan kilat ke arah lift yang dapat membawanya menghindar dari Arya. Lift berdenting di lantai 4, Puspa masuk ke dalam wc serta kembali memeluk badannya sendiri disitu.

Seluruhnya hendak baik- baik saja.

Seluruhnya hendak baik- baik saja.

Kesekian kali dia mengucapkan kalimat positif buat dirinya sendiri sembari mengantuk- antukan kepalanya ke tembok wc yang dingin. Dia berharap permasalahan serta kesakitan yang terdapat di otaknya menghilang, bertepatan dengan benturan di kepalanya yang menyakitkan.

Jauh di dalam lubuk hati Puspa bertanya, kapan penderitaannya berakhir?

***

“ Apa ini?”

“ Hot coffe latte.”

“ Buat?”

“ Buat lo.”

“ Oh.”

“ Selaku perkataan terima kasih sebab telah nolongin gue waktu motor gue mogok serta sebab udah nganterin gue kembali.”

Pria itu menaikan kedua alisnya yang tebal dengan mimik wajah menyepelehkan. Sementara itu tangannya mengambil satu cup kopi yang tadi disodorkan Puspa di mejanya.“ Hanya dapet ini doang?” tanya Raka.

“ Ck, jangan ngelunjak.”

Puspa berjalan merambah kubikelnya sendiri, meletakan tas kemudian duduk dengan anggun semacam tidak terjalin apa- apa di sekian menit kehidupan lebih dahulu.

“ Traktir gue makan siang,” pinta Raka. Pria itu meletakan kepalanya di pembatas kubikel diantara keduanya. Mukanya membuktikan suatu permohonan yang sangat kentara.

“ Gue padat jadwal,” jawab Puspa.

“ Habis kembali kerja aja berarti.”

“ Gue tidak biasa makan malam.”

“ Kita cari kemilan sehat aja jika gitu.”

“ Raka…” panggil Puspa dengan nada memanjang di bagian akhir.

“ Iya, Puspa…” jawab Raka dengan nada yang sama.

Raka bawa tangannya mendekat ke wajah Puspa, suatu yang memforsir Puspa buat memundurkan badannya kala wilayah teritorialnya tersendat. Tetapi seolah tidak ingin menyudahi, Raka senantiasa mendekatkan jari telunjuknya ke ujung bibir Puspa kemudian menariknya ke atas.“ Sumpah lo jika senyum menawan banget.”

“ Bangke!”

“ Bhahaha, sungguh- sungguh sumpah!”

“ Ingin apa sih lo muji- muji gue gitu?”

“ Makan siang ataupun makan malam seluruhnya gue suka.”

“ Gue—.”

“ Oke makan siang aja ya? Deket- deket kantor, di deket mari terdapat tempat makan nasi padang murah meriah lezat banget. Ntar gue kasih ketahui tempatnya.” Raka mengucap kalimat panjang lebar itu sembari menarik badannya.

Puspa cuma dapat menggeleng menjawab tingkah Raka yang menyebalkan.“ Raka sialan.”

“ Gue dengeer,” teriak Raka dari dalam kubikelnya.

Puspa ketahui, ia terencana berkata itu supaya Raka mencermatinya. Puspa kembali mendudukan badannya serta terkesiap kala memandang mukanya yang terpantul dari cermin kecil di meja. Suatu senyum yang jarangPuspa amati dalam kesehariannya.

Seseorang wanita berumur anak muda terduduk lemas di balik pintu kamarnya yang kecil. Wanita itu masih menggunakan seragam SMA. Dia menutup kedua telinganya kala suara- suara teriakan di luar tidak kunjung menyudahi.

“ Mengapa kalian senantiasa menuntutku? Saya letih!”

“ Kalian tidak sempat ngertiin saya, Mas!”

“ Saya kerja bisa pendapatan segitu kalian juga ketahui, kemudian kalian memohon apa? Saya telah ngasih seluruhnya ke kalian.”

“ Tetapi itu tidak lumayan! Saya telah bantu turut jualan, saya telah ngurus rumah serta mengapa seluruh kekurangan kalian bebankan ke saya? Bayaran sekolah mahal, seluruh kebutuhan pokok juga pula tidak murah!”

Praaang.

“ Saya letih sama kalian!”

“ Saya lebih letih, Mas.”

Brak.

Suara pintu ditutup keras menghentikan drama sore ini. Suara teriakan itu menyudahi, berubah isakan tangis ibunya yang terdengar lirih. Puspa masih duduk di tempat yang sama dengan tatapan mata gamang serta badan yang tidak bergerak sedikitpun. Nyaris tiap hari suara pertengkaran kedua ibu dan bapaknya menghiasi kehidupan Puspa anak muda. Wanita yang sepatutnya berkembang dengan kasih sayang terpaksa memandang gimana kedua ibu dan bapaknya yang hidup buat silih membenci.

Puspa mendekat ke arah ibunya yang duduk lemas di ruang tengah rumah kecil mereka. Sebagian kali dia menciptakan tatapan penuh selidik dari sebagian orang sebelah yang melalui di depan rumah, entah memanglah betul- betul melalui ataupun cuma hanya mau ketahui.“ Bu,” panggil Puspa.

“ Bapakmu Ningruum, Bapakmu.”

Puspa duduk di samping ibunya yang menangis. Puspa bimbang, apa yang wajib dia jalani? Lama mereka cuma duduk berdua dalam diam, tidak terdapat pergerakan. Puspa duduk di situ hingga tangis ibunya mereda kemudian kembali ke kamarnya semacam biasa. Bila pondasinya saja rapuh, kemana Puspa wajib mencari proteksi?

***

“ Aw!”

Puspa merasa pusing dikala suatu bola basket terlempar pas menimpa kepalanya. Perempuan itu terjatuh sampai tersungkur sebab lemparan yang lumayan keras. Sebagian manusia di situ memandang ke arah Puspa kasihan tetapi tidak terdapat yang bernazar menolong.

“ Hey, kalian baik- baik saja?” Seseorang mahasiswa pria berpakaian berolahraga mendekat. Dia duduk berjongkok di dekat Puspa sembari menolong perempuan itu berdiri.

“ Aku baik,” jawab Puspa kilat. Dia lekas berdiri serta berlari menjauhi pria itu walaupun dengan kesakitan sebab sikunya yang berdarah terserang batu kerikil.

Dalam langkahnya, Puspa menoleh sekilas buat memandang ke arah pria itu lagi. Terkesiap, Puspa memutar kepalanya kilat kala masih menciptakan pria itu memandang ke arahnya. Dia bergegas mencari unit kesehatan di kampusnya. Lukanya wajib lekas dibersihkan supaya tidak terinfeksi.“ Apa saya boleh memohon obat buat mensterilkan cedera ini?” tanyanya ke arah petugas yang lagi berjaga.

Kampus Puspa mempunyai satu unit kesehatan yang mempunyai bilik- bilik dengan ranjang kecil. Umumnya buat kasus- kasus simpel dapat dibantu ditangani di mari ataupun cuma hanya buat penindakan awal.

Petugas perempuan itu menyerahkan satu flabot cairan NaCl serta kasa bersih ke arah Puspa.“ Ingin dibantu?”

“ Tidak butuh,” jawab Puspa tidak ingin merepotkan.

Dia masuk ke dalam dinding sangat ujung serta mendudukan badannya di ranjang kecil beralaskan kain putih. Puspa membuka cairan NaCl serta menuangkan di tempat yang telah disediakan. Dengan lumayan kesusahan Puspa mensterilkan sedikit demi sedikit cedera yang terdapat di sikunya. Sesekali dia nampak meringis dikala kulitnya terasa nyeri.

“ Kalian tidak hendak dapat mensterilkan lukamu seseorang diri.” Pria yang Puspa kenali selaku orang yang menolongnya berdiri, juga pula mungkin besar merupakan orang yang menyebabkan cedera itu terdapat, berjalan mendekat ke arah Puspa. Dia menarik tangan Puspa serta bernazar menolong mensterilkan lukanya.

“ Saya dapat melaksanakannya sendiri.”

Kalimat Puspa mengudara tanpa balasan. Pria itu senantiasa mengambil kasa bersih kemudian mensterilkan siku Puspa yang terluka.“ Sakit?” tanyanya.

“ Tidak… aw aw.” Puspa meringis dikala pria itu sedikit memencet lukanya dengan terencana.

“ Jika sakit bilang sakit,” ucap pria itu tanpa memandang ke arah Puspa.

Puspa tidak menanggapi, membiarkan pria itu melanjutkan kegiatannya mensterilkan cedera di tangannya. Dari tempatnya duduk Puspa dapat memandang bulu mata pria itu yang lentik, hidung mancung serta rambut yang sedikit ikal di ujung dengan aroma parfum musk yang terkesan mahal.

“ Siapa namamu?” tanya pria itu seketika serta masih tidak alihkan objek yang dia tekuni.“ Apa kalian bisu?” tanyanya lagi dikala menyadari Puspa tidak menanggapi pertanyaannya.

“ Puspa,” jawab Puspa kesimpulannya.

“ Fakultas?”

“ Saya rasa lukaku telah lumayan bersih.” Puspa menarik tangannya tetapi kembali tertahan. Pria itu kembali menahan tangan Puspa buat senantiasa terletak pada tempatnya.

“ Kalian dari fakultas mana?” tanya pria itu sekali lagi. Kali ini dengan mata yang bergeser memandang ke arah Puspa sebentar kemudian kembali fokus ke arah cedera.

“ Psikologi.”

Pria itu tidak merespon kemudian membuang sebagian kasa kotor ke tempat sampah.“ Telah bersih.”

“ Terima kasih.”

“ Kalian tidak bertanya namaku?” tanya pria itu menghentikan langkah Puspa yang hendak keluar dinding. Pria itu berdiri dengan elok di ujung ranjang, masih terdapat keringat tipis yang menaikkan kesan maskulin di badan liatnya.

“ Buat apa?”

Pria itu mengedikan bahu.“ Saya tidak ketahui, umumnya orang lain melaksanakan itu.”

Puspa malas menjawab, dia bernazar buat melanjutkan langkahnya yang pernah tertahan.

“ Namaku Arya,” ucap pria itu lagi.

“ Terima kasih, Arya.”

“ See you soon, Puspa.”

Puspa mengabaikan kalimat Arya, gimana dapat pria itu berkata dengan jelas seolah mereka hendak kembali berjumpa sesuatu dikala nanti. Tidak ingin ambil pusing, Puspa melanjutkan langkahnya ke ruangan yang mau dia tuju lebih dahulu.

Sebagian hari selanjutnya berjalan semacam biasa. Puspa belajar kemudian kembali serta berdiam diri di kamar. Tidak terdapat interaksi berarti di rumahnya. Ibunya senantiasa padat jadwal bekerja sebaliknya bapaknya saat ini telah menikah lagi sehabis satu tahun perceraian. Kedua orangtua Puspa berpisah dikala dia masih SMA. Puspa memilah tinggal bersama ibunya sebab tidak ingin menjajaki bapaknya yang berpindah kota serta kerap berpergian sebab pekerjaan.

Sore ini, langit mulai hitam. Puspa mendesah sebal kala sekali lagi dia wajib ketinggalan bis- nya di jam kritis. Belum pasti terdapat lagi bus yang sejalan ke arah rumahnya melalui di jam 6 sore. Opsi terakhir ia wajib naik ojek yang hendak menghabiskan kantongnya lumayan banyak.“ Huft,” jengkel Puspa buat dirinya sendiri.

Suatu mobil yang lumayan mencolok menyudahi pas di depan Puspa. Pintu terbuka serta seseorang pria yang dapat dia kenali merupakan pria yang membantunya mensterilkan lukanya saat ini berjalan mendekat dengan setelan apik. Sweater serta celana bahan slim bugat menempel di badannya.“ Saya anter kembali, boleh?” Arya menawarkan.

“ Rumahku jauh.”

“ Saya membawa mobil, jarak jauh juga bukan permasalahan.”

“ Maaf, tetapi saya tidak dapat.”

Arya nampak berfikir sebentar, matanya memicing dengan bibir yang dia gigit kecil. Merayu wanita di hadapannya kayaknya tidak hendak gampang semacam umumnya.“ Anggap saja ini selaku perkataan terima kasih untukku yang telah menolong menjaga lukamu.”

“ Saya tidak sempat memintamu buat membantuku.”

“ Puspa.”

“ Saya tidak dapat.”

“ Mengapa kalian nampak menghindariku? Apa terdapat yang salah denganku?” tanya Arya dengan kedua tangan terbuka lebar. Dia memandang ke arah dirinya sendiri yang nampak biasa- biasa saja. Tidak terdapat yang salah dalam diri Arya, kemudian mengapa Puspa seolah melihatnya semacam orang jahat yang dapat menyakitinya kapan saja?

Puspa cuma memandang pria itu sekilas kemudian bernazar berangkat. Puspa tidak sedikitpun bernazar dengan seluruh tipe ikatan antar manusia tidak hanya keluarga terdekatnya, itu juga tidak sering. Terdapat sangat banyak rasa kecewa yang lumayan dia peruntukan alibi buat menjauhi interaksi rumit antar manusia. Ia kecewa serta sangat banyak sumber kekecewaan pada dirinya buat orang lain. Puspa cuma mau menyimpannya seseorang diri.“ Saya tidak dapat.” Puspa cuma dapat mengulang jawaban.

“ Paling tidak beri peluang untukku mengantarkanmu kembali, sekali saja. Lagipula tidak baik bila seseorang wanita kembali malam sendirian gunakan ojek. Gimana jika driver- nya jahat?”

“ Gimana jika kalian jahat?”

“ Kalian dapat meyakinkannya serta saya yakinkan tidak terdapat niatan jahat di otakku.”

“ Arya…”

Arya tersenyum dikala Puspa menyebut namanya buat awal kali, suatu kemajuan baginya. Entah mengapa Arya suka dengan suara Puspa dikala memanggil namanya.“ Ya?”

“ Aku ti—.”

“ Saya memforsir, masuk ke mobil dengan ataupun tanpa paksaan, Puspa,” ancam Arya kesimpulannya. Ia tidak hendak membiarkan peluang ini terbuang begitu saja. Suatu kebetulan dia kembali menciptakan Puspa di terminal dikala hendak kembali ke rumah. Seseorang perempuan yang dia cari sepanjang seminggu belum lama ini. Seseorang perempuan yang lebih banyak bersembunyi sebab Arya nyaris saja menyerah mencarinya.

Tidak ingin memperkeruh atmosfer, Puspa menjajaki keinginan Arya. Bila dilihat dari penampilannya pasti Arya bukan semacam orang jahat. Lagipula apa yang hendak dicari dari seseorang wanita miskin pendiam semacam dirinya? Cuma terdapat duit 5 puluh ribu di dompetnya, nominal yang tidak bisa jadi lumayan cuma hanya buat membeli pakaian Arya.

Pria itu tersenyum puas dikala memandang Puspa masuk ke dapam mobilnya dengan suka rela.“ Ingin makan dahulu?” tanya Arya sehabis mereka berdua terdapat di dalam mobil.

“ Kalian janji mengantarkanku kembali, cuma kembali.”

“ Oke,” jawab Arya menghela napas kecewa. Ia berharap rumah Puspa jauh supaya dapat memberinya waktu sedikit lebih lama buat bersebelahan dengan perempuan itu.

Jakarta diguyur hujan semenjak dini hari, atmosfer yang menimbulkan dingin serta asing buat tiap penghuninya. Umumnya Jakarta panas, tidak semacam saat ini yang basah dimana- mana. Puspa mendudukan badannya di sofa kayu usang balkon terbengkalai yang kerap dia peruntukan selaku tempat pelarian. Matanya tidak sempat puas menikmati atmosfer jalanan kota Jakarta dari titik ini. Terlebih hujan masih mengguyur deras. Puspa sangat menggemari hujan serta atmosfer setelahnya.

Suatu tempat makan bercorak abu- abu dengan isi 2 roti bakar selai strawberry terletak di samping kanan Puspa. Satu cup es kopi dingin tidak kurang ingat menemani paginya. Industri tempatnya bekerja membagikan kelonggaran karyawan buat memperoleh makan pagi terlebih dulu. Lamanya ekspedisi di Jakarta jadi alibi mengapa peraturan industri membagikan kelonggaran jam mulai bekerja.

Puspa membuka kotak makan serta mengawali sarapannya. Di gigitan awal roti bakar miliknya, Puspa merasakan kedatangan seorang tidak hanya dirinya di tempat ini. Tidak butuh memutar badan buat mengenali siapa yang tiba sebab aroma parfum musk yang telah dia kenali sanggup membagikan jawaban.

Pria itu mendudukan badannya di ujung kanan sofa kayu yang kosong tanpa permisi. Dia meletakan satu cup teh panas dengan tali saringan yang menggantung—seperti dahulu, Puspa suka es kopi serta Arya menggemari teh hangat. Tidak butuh bertanya darimana Arya ketahui Puspa terdapat di mari. Industri ini miliknya, terdapat dalam kekuasaannya. Mereka dipisahkan jarak diantara tempat makan serta 2 cup minuman. Gemericik air jadi suara yang sangat dominan disini.

“ Gimana berita Ayah serta Bunda?” tanya Arya memecah hening.

Puspa enggan menanggapi, dia lebih memilah buat lekas menghabiskan roti bakar miliknya serta berangkat.

“ Ayah sama Bunda sehat kan?” tanya Arya tidak ingin menyudahi.

“ Saya ke Peninggaran( rumah Puspa dahulu), tetapi kata orang sebelah kamu telah menjual rumah serta pindah.”

Sepi kembali menjeda kala kalimat Arya tidak berbalas. Puspa mengunci mulutnya rapat dengan tatapan mata menaut ke arah hujan yang deras.

“ Masih suka hujan?” tanya Arya lagi.“ Masih suka es kopi di dikala hujan, kalian tidak berganti, Bii,” ucapnya sembari tersenyum tipis ke arah Puspa. Pria itu menggunakan kebisuan Puspa buat mengamati garis wajah perempuan yang tidak sempat berganti di hadapannya. Telah lebih dari 5 tahun tetapi Puspa masih sama, masih menawan buat seseorang Arya.

Tanpa permisi Arya mengambil satu tangkup roti bakar kepunyaan Puspa serta memasukan ke mulutnya. Cuma satu gigitan tetapi ribuan kenangan mereka dahulu silih berlomba mencuri atensi. Kenangan yang sanggup menghangatkan dalam dinginnya pagi tetapi seketika mencekat kala realitasnya saat ini mereka tidak lagi dekat.“ Lezat,” puji Arya yang percuma sebab Puspa masih senantiasa sama.

Tangan Puspa mengambil cup miliknya serta memilah buat meninggalkan Arya dalam kesepian. Sayangnya, salah satunya jalur buat berangkat dari tempatnya wajib lewat sisi depan Arya yang kosong. Puspa berfikir sebentar kemudian memutuskan buat senantiasa melangkah kala tidak terdapat opsi lain.

“ Bii.” Arya menahan tangan Puspa yang leluasa, menggenggamnya sekilas.

Sentuhan raga awal kali sehabis 5 tahun perpisahan membuat tiap nadi di dalam badan Puspa mengencang. Kulit itu terasa dingin serta asing, suatu yang menghasilkan desir hebat di hati Puspa yang terbiasa kosong tidak terdapat rasa serta warna.

“ Saya mohon buat senantiasa semacam ini.”

Puspa mengingat permohonannya dahulu yang senantiasa terabaikan. Dia mengingat dengan sangat perinci gimana perasaannya dahulu dikala Arya menolak permintaannya buat kembali.“ Ayah sangat mengerti seluruh ini merupakan kesalahan.”

Arya meletakan kepalanya di tangan Puspa yang menggantung. Sepersekian detik Puspa merasakan kesedihan Arya yang hingga ke hatinya. Kemudian seketika ingatan Puspa kembali tersentak kala rasa sakitnya ditinggalkan kembali timbul. Arya tidak mencintainya lagi.

“ Tidak terdapat yang salah bila itu tentangmu, Bii. Tentang kita,” jawab Arya tanpa membebaskan genggamannya.

“ Ayah telah—menikah.” Puspa tercekat dengan kenyataan itu.

Seluruh telah berbeda, Arya tidak lagi kepunyaan Puspa begitu kebalikannya. Ia tidak ingin mengusik perkawinan pria itu. Puspa membebaskan tangannya dari genggaman Arya dengan gampang. Semacam seperti itu pria itu dikala melepaskannya dahulu, tanpa kata, tanpa uraian, Puspa berangkat meninggalkan Arya dengan perasaannya sendiri.

Selama ekspedisi ke ruangan, hati Puspa tidak sempat menyudahi berdesir hebat. Dampak Arya masih begitu kokoh buat seseorang Puspa. Arya merupakan cinta awal Puspa sehabis bapaknya, pria yang mematahkan sayapnya, sehabis bapaknya pula melaksanakan perihal yang sama. Dia berjalan ke arah kubikel sebab waktu makan pagi sepatutnya telah berakhir. Bila ia sangat lama, mungkin besar dia tentu hendak memperoleh teguran dari Mbak Dwi. Semacam kemarin kala kejadian menumpahkan kopi ke anak owner industri yang memforsir Puspa buat mengawali pekerjaannya sedikit terlambat.

Bola mata Puspa menciptakan kehampaan dikala memandang kubikel di sisinya yang tidak berpenghuni. Dia mau bertanya kepada sahabat yang lain sebab pria itu tidak sering terlambat, tetapi urung. Tidak terdapat yang butuh menemukan atensi lebih tercantum Raka.

“ Terdapat pembaharuan terkini ya gais, ini telah terdapat rancangan penerimaan karyawan baru. Kayaknya industri betul- betul concern dalam pembangunan pabrik di Cikarang.” Mbak Dwi tiba dengan segepok berkas perencanaan rekruitment karyawan.

“ Kapan, Mbak?” tanya sang rambut kontras yang Puspa tahu biasa dipanggil Ciput. Kata Raka nama aslinya merupakan Gadis sebaliknya Ciput merupakan nama kerennya saja.

“ Bulan depan. Hendak terdapat rekruitment di luar kota, bisa jadi terdapat yang bernazar mendaftarkan diri buat dinas luar nih?”

“ Kemana aja?” tanya Laila, ia merupakan salah satu karyawan yang nyaris mirip dengan Puspa, pendiam. Duduk di sangat ujung dekat jendela cermin.

“ Jogja, Bandung sama Malang.”

“ Wah gue ingin yang di Malang.”

“ Gue ingin yang di Jogja, supaya sekaligus jalan- jalan.”

Banyak kanak- kanak yang mendaftarkan diri buat dapat turut gabung dinas luar. Sebab dapat sekaligus jalan- jalan juga pula duit ekstra- nya yang cukup.

“ Puspa ingin coba turut catatan?” tanya Mbak Dwi.

Puspa menggeleng, tempat baru dengan sahabat serta orang baru bukan jadi opsi yang terbaik buat dirinya dikala ini.

“ Oke, fiks ya, udah gue list nih,” tanting Mba Dwi.

“ Telah, Mba,” jawab kanak- kanak serentak.

Puspa mendekati Mba Dwi yang padat jadwal menulis sebagian pendaftar di mejanya plus kota yang di idamkan.“ Raka kemana, Mbak?” tanya Puspa mau ketahui.

“ Tadi pagi seketika izin lagi sakit katanya.”

“ Oh,” jawab Puspa pendek.

Raka sakit? Batinnya dalam hati.

“ Gimana, Puspa?” tanya Mba Dwi membenarkan.

“ Tidak apa- apa, Mbak. Hanya nanya aja.” Puspa melanjutkan kegiatan pekerjaannya. Dia mengambil ponsel serta merasa susah menahan rasa mau tahunya.

Me:

Lo sakit?

Lama pesan itu tidak berbalas. Puspa mengabaikan dengan menyibukan diri dalam pekerjaannya yang menggunung di dini pekan. Sebagian menit tidak terdengar terdapat balasan, sampai Puspa tertarik buat kembali mengambil ponsel serta mengecek notifikasinya kemudian mendesah pelan dikala tidak menciptakan apa- apa di situ.

“ Huft.”

Beep.

Raka:

Iya.

Me:

Sakit apa?

Raka:

Jika ingin ketahui dateng aja jengukin gue.

Me:

Dih! Ogah, ngarep lo.

Raka:

Emang! Peka dikit dong.

Puspa tidak lagi membalas pesan Raka. Memilah buat membiarkan serta kembali berkutat dengan sebagian berkas laporan yang wajib dia selesaikan hari ini. Tidak terdapat yang salah bila itu tentangmu, Bii. Tentang kita.

Mengapa kalimat ini terus terulang- ulang di dalam otaknya?

By adminmg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *