CRTDALAM Hujan turun deras. Puspa bermonolog dalam hati kala suatu kegundahan hebat lagi menyerang. Di sisi lain, Puspa sangat memerlukan es kopi dingin buat tingkatkan kandungan kafein di dalam darahnya, sebaliknya di sisi yang lain ia pula merasa enggan buat berbasah- basahan di tengah hujan. Kedai kopi langganannya terletak di seberang jalur. Umumnya dia membeli kopi saat sebelum masuk ke dalam zona industri. Namun sebab waktu absensi telah sangat mepet, Puspa terpaksa masuk terlebih dulu buat absen ataupun gajinya hendak terpotong bulan ini. Puspa cuma berdiri bingung di sisi kanan pintu masuk bangunan gedung tempat dia bekerja. Puspa sangat susah mengambil keputusan cuma buat hanya membeli kopi ataupun tidak. Dinginnya air hujan yang mungkin besar hendak membasahi pakaiannya tentu menyiksa pekerjaan Puspa yang terletak di dasar pendingin ruangan. “ Ash!” Cipratan air dari suatu mobil sedan elegan yang menyudahi di depan lobby memforsir Puspa buat memundurkan badannya. “ Mama.” Suara anak kecil yang dapat Puspa kenali sanggup mencuri atensi manik mata perempuan itu. Puspa memandang ke arah seseorang perempuan menawan yang keluar dari dalam mobil. Perempuan berparas blasteran dengan rambut coklat yang tergerai indah. Kulit putih bersih terpelihara dengan benda- benda yang jelas mahal menempel di badannya. Seluruh orang tercantum Pak Satpam yang biasa menolong Puspa menunduk hormat ke arah perempuan itu. Jelas perempuan itu bukan sembarang orang di industri ini. “ Mama saya ingin berangkat ke rumah Grandpa.” Badan mungil yang sebagian hari kemudian dia tumpahi es kopi miliknya lagi bergelayut manja di dalam dekapan perempuan itu.“ Mamaaa.” “ Ya sayang,” jawab perempuan itu lembut. “ Axel ingin ke rumah Grandpa,” rengek anak pria itu lagi. “ Nanti, sehabis kita mengantar makan pagi ini ke Papa ya,” jawab perempuan itu sembari membuktikan kotak makan yang dia membawa di tangan kanannya. Puspa percaya perempuan itu merupakan istri Arya. Dia menelisik tiap perinci pahatan hampir sempurna di hadapannya. Bibir tipis dengan senyum mempesona serta mata indah. Perempuan itu semacam kelopak bunga yang lagi mekar, sangat gampang buat dikagumi keindahannya. Sangat sempurna. Batin Puspa. Puspa memandang ke arah pantulan dirinya sendiri, tidak terdapat yang menarik. Seseorang perempuan cupu pendiam serta berpenampilan biasa saja. Normal bila Arya memilah perempuan itu selaku pasangan hidup. Pasti saja! Seluruh orang hendak mencari kesempurnaan buat suatu intensitas. Serta Puspa cumalah berulang opsi yang lumayan gampang buat Arya abaikan. Rasanya sakit, tetapi Puspa telah terbiasa. Senyum tipis timbul di wajah oval kepunyaan perempuan itu. Senyum yang kerap dia pakai buat membentengi dirinya sendiri. Dia memilah buat kembali masuk ke dalam bangunan gedung. Dia melupakan keinginannya tentang kopi. Daripada kafein, Puspa lebih memerlukan kesendirian dikala ini. Dia kembali mendudukan badannya di sofa usang tempat yang sama semacam hari lebih dahulu. Semacam biasa, Puspa memilah tempat ini buat menghabiskan makan pagi. Kelainannya, bangku sebelah kanannya kosong. Sang empunya telah kembali diambil oleh seorang yang memanglah memilikinya secara absolut. Dia mengambil satu tangkup roti isi strawberry kemudian kembali tercekat kala dadanya terasa sesak. Telah bertahun- tahun kepergian Arya dari hidupnya, mengapa dampak kehabisan Arya masih sehebat ini? Tidak ingin berlarut dalam kesedihan, Puspa mengambil ponsel genggamnya kemudian menghubungi salah satu nama di kontak. Layar ponsel itu menunjukkan nama‘ ibuk’ serta berdering. Telah lebih dari 5 kali nada memanggil itu terdengar, hendak namun panggilan Puspa tidak kunjung menemukan jawaban. “ Assalamualaikum, Rum.” Kesimpulannya, panggilan Puspa terjawab dipercobaan kedua. Nama Puspa merupakan Puspaningrum. Bapak serta Ibunya biasa memanggil Puspa dengan panggilan Ningrum. Namun semenjak sekolah SMA Puspa lebih kerap dipanggil dengan penggalan dini namanya.“ Walaikumsalam, Bu. Lagi apa?” “ Biasa toh, jualan. Mengapa?” “ Tidak apa- apa, Bu. Ningrum cuma—.” “ Oh, jika tidak terdapat apa- apa mengapa telepon to?” Apakah wajib? tanya Puspa dalam hati. Nyaris tiap pekan dia menghubungi ibunya, bila lagi beruntung panggilan itu dapat terhubung, namun lebih seringnya panggilan Puspa tidak berbalas.“ Ningrum—kangen,” jawab Puspa dengan kalimat tersendat. “ Oh, sehat kan?” tanya Bunda Puspa. “ Alhamdulillah, bunda serta ayah pula sehat kan?” “ Sehat, sehat.” Panggilan itu terjeda dikala kehadiran seorang yang mengajak ibunya berbincang.“ Telah dahulu ya, Nduk. Ibuk ingin jualan telah banyak yang ngantri.” “ Oh ya bu, maaf—.” “ Assalamualaikum, nanti ibuk telepon lagi.” Puspa percaya kalimat itu cuma hendak jadi janji palsu yang berulang kalinya. Semenjak perkawinan keduanya, Bunda senantiasa disibukan dengan keluarga barunya. Semacam Ayah dahulu dikala menikah lagi. Seluruh orang telah mempunyai keluarganya sendiri, kebahagiaannya sendiri kemudian meninggalkan Puspa sendirian. *** Satu cup es kopi dingin dengan manis terletak di meja Puspa. “ Tadi di anter sama OB, katanya buat lo.” Mbak Dwi yang mengamati kebimbangan di wajah Puspa berdialog. “ Dari siapa, Mbak?” tanya Puspa. “ Tidak ketahui deh. Tadi tidak bilang soalnya,” jawab Mbak Dwi yang diberi anggukan sahabat lainnya “ Oh,” jawab Puspa pendek. Dia memandang ke arah meja di sampingnya yang kosong semacam kemarin tetapi kelainannya terdapat suatu tas menggantung di sofa. Bisa jadi, Raka yang membelikannya es kopi. “ Kangen gue lo, Pus?” Suara di balik badan Puspa yang mengeras mengagetkannya. Puspa memutar badan kemudian menciptakan Raka yang berdiri tengil semacam biasa. Pria itu menggunakan kemeja biru muda yang dipadukan sweater hangat. Mukanya nampak sumringah walaupun dia baru saja izin sakit satu hari yang kemudian. “ Kangen gue? Ngeliatin meja gue hingga gitu amat.” “ Dih, tidak!” “ Pus.” “ Gue bukan kucing!” Puspa berlagak marah serta duduk di mejanya sendiri. “ Sulit banget milih nama panggilan buat lo!” Raka mengucap kalimat itu dengan santai serta tanpa bernazar berangkat dari hadapan Puspa.“ Gue panggil‘ Pus’ lo bukan kucing, gue panggil‘ Pa’ lo bukan bokap gue.” “ Puspa. Panggil gue Puspa.” “ Sangat panjang.” “ Ribet deh lo, Ka,” sewot Puspa. Dia telah menghidupkan PC- nya serta siap buat bekerja. Namun Raka seolah tidak memandang suasana yang terencana diciptakan Puspa. “ Gue panggil Ningrum aja, gimana?” tawar Raka. Ningrum juga sesungguhnya namanya. Cuma saja, nama itu biasa digunakan buat orang- orang terdekat tercantum keluarganya. Tetapi Raka bukan tercantum didalamnya.“ Terserah,” jawab Puspa kesimpulannya sebab enggan berdebat. “ Oke, Rum.” Raka tersenyum puas dikala merasa ide- nya sangat brilian. Pria itu duduk di mejanya sendiri sembari bersiul. Semacam Puspa, Raka lagi bersiap buat bekerja. Raka terpaksa kembali alihkan perhatiannya dari pc dikala seketika kepala Puspa timbul dari balik pembatas ruangan yang tipis. “ Eh, by the way thanks buat es kopi- nya.” Raka nampak berpura- pura bimbang.“ Kopi?” “ Ini.” Puspa membuktikan kopinya dengan wajah tersenyum riang. Walaupun ngeselin, paling tidak Raka senantiasa baik kepadanya. “ Gue tidak beliin kopi.” “ Ya ya ya,” jawab Puspa berpura- pura meng- iya- kan jawaban Raka. Pria itu memanglah hobby- nya bercanda. Dia kembali mendudukan di sofa kemudian menyempatkan buat menyereput kopinya sedikit.“ Ck.” Rasanya betul- betul Cocok dengan selera Puspa. Gimana Raka dapat ketahui takaran kopi yang Puspasuka? “ Telah klunting gais.” Ciput membuktikan ponselnya ke arah sahabat satu ruangan serta disambut hiruk pikuk manusia- manusia yang lain. “ Gajian, gajian,” timpal Mbak Dwi dengan wajah sumringah. Puspa mengecek ponselnya sendiri serta tersenyum puas dikala memandang notifkasi sms banking yang membuktikan nominal pendapatan masuk. Dia kembali menekuni PC- nya saat sebelum seketika Raka berdiri di depan mejanya dengan wajah muram.“ Apa?” tanya Puspa dengan kedua alis mengerut. Perempuan itu senantiasa duduk di kursinya tanpa bernazar berdiri buat menyongsong Raka. “ Gue lagi terdapat permasalahan.” “ Terus? Gue tidak wajib ikut serta dalam permasalahan lo,” jawab Puspa kembali memandang ke layar pc. Dia membenahi kacamata anti radiasi yang bertengger manis di hidung mungilnya. “ Nyokap ketahui jika gue lagi gajian, terus ia nitip dibeliin kencur.” Puspa memandang ke arah Raka yang masih senantiasa dengan kurang ajar berdiri di depannya. Untung sahabat satu ruangan mereka tidak sangat pakar mencampuri urusan orang lain. Terlebih, mereka seluruh lagi tekun dengan ponsel mereka tiap- tiap. Terdapat yang lagi bayar paylater, terdapat yang checkout benda serta terdapat pula yang transfer ibu dan bapaknya di desa. “ Puspaningrum,” panggil Raka lagi dengan penekanan. “ Apa sih?” “ Gue tidak ketahui mana kencur, temenin gue belanja bareng,” jelas Raka kala Puspa tidak kunjung mengerti dengan iktikad terselubung dalam hati pria itu. “ Lo dapat nanya ke mbak- mbak di supermarket, Raka.” “ Yaa gue lebih amannya nanya sama lo. Lo pula perlu belanja bulanan kan?” Tebakan absurd Raka tidak percuma sebab Puspa mengangguk. Seluruh orang tentu memikirkan belanja bulanan di hari gajian datang.“ Makanya, sekaligus aja kita belanja bareng.” “ Ya udah, tapi—.” “ Gue udah terdapat plan! Motor lo ditinggal kantor terus lo gue bonceng sekaligus gue anter kembali. Supermarketnya yang deket- deket rumah lo aja supaya tidak sangat letih membawa benda belanjaan,” jelas Raka panjang lebar kemudian sedetik setelah itu ia menyesal. Sepatutnya ia tidak boleh sangat nampak mencolok jika ia telah memikirkan plan semenjak tadi. “ Yaa gue ngikut aja.” Beruntungnya Raka, Puspa merupakan salah satu perempuan ter- tidak peka di muka bumi. Raka percaya perempuan itu sama sekali tidak ketahui iktikad terselubung di balik ajakannya belanja bersama.“ Oke deal!” Sore harinya sepulang kerja, Raka betul- betul tidak ingin menyia- nyiakan peluang ini. Mereka berdua berjalan bersama dengan satu trolly belanja. Bila boleh Raka menduga, mereka telah seperti sejoli suami istri yang lagi belanja bersama sepulang kerja. “ Mengapa lo senyum- senyum sendiri? Tidak edan kan lo?” “ Dih, kagak! Gue lagi seneng aja habis gajian, gue bimbang gimana ingin ngabisin uang.” “ Sombong!” “ Haha,” tawa Raka lepas. Mereka berdua lagi berdiri di depan etalase perlengkapan mandi serta sebagian pewangi ruangan. Puspa lagi menimbang- nimbang antara 2 parfum pewangi ruangan, satu botol bercorak ungu dengan wangi wild flower serta satu lagi bercorak oranye dengan wangi lemon segar. “ Gue suka yang buah- buahan, lemon gitu,” ucap Raka yang seketika timbul di sebelah kanan kepala Puspa. Keakraban asing yang memforsir Puspa buat menjauhkan badannya dari Raka. “ Ini bukan buat lo.” “ Yaa gue ngasih ketahui aja. Siapa ketahui esok jika kita telah tinggal di atap yang sama lo butuh ketahui apa yang gue suka serta apa yang tidak gue suka. Tercantum parfum ruangan,” jawab Raka dengan kedua alis yang terencana ia naik turunkan. Jangan lupakan senyum tengil yang senantiasa memforsir bibir Puspa buat mengikutinya. “ Gue tidak memiliki uang lebih,” jawab Puspa dengan wajah datar—seperti biasa. “ Iktikad lo?” Mengapa Puspa jadi bahas uang? “ Ya siapa ketahui lo ingin tinggal seatap sama gue buat jadi tukang kebun ataupun pembantu di rumah gue. Makanya gue kasih ketahui, gue tidak memiliki budget buat itu.” Raka ternganga, bibirnya terbuka bundar sempurna. Bukan ia terpukau dengan jawaban Puspa yang( sedikit) lucu, tetapi pria itu sangat kaget kala gimana dapat Puspa berkata candaan dengan wajah datar tanpa ekspresi? Raka mendesah tidak yakin. “ Mengapa?” tanya Puspa. Ia sedikit ragu dengan jawaban yang terencana dia timpali buat mengimbangi Raka. “ Gue kagum, lo pinter banget menyembunyikan ekspresi wajah, Rum.” Puspa berfikir dengan kedua bola mata yang terletak di ujung kiri atas mata belo- nya.“ Emang begitu?” “ Ya.” “ Oh,” jawab Puspa kembali dengan ekspresi datar. Puspa bawa trolly mereka berdua ke arah lain, meninggalkan Raka dengan rasa penasarannya. “ Mengapa lo sulit banget buat senyum?” tanya Raka seketika. “ Hidup gue sangat susah buat disenyumin,” jawab Puspa pendek. Perempuan itu kali ini lagi mencermati sebagian merek shampo yang menarik atensi. Raka terhenyak, peristiwa apa yang membuat seseorang perempuan semanis Puspa jadi tidak terbaca? Bila dilihat dari metode Puspa menanggapi leluconnya, sepatutnya Puspa tidaklah perempuan se- pendiam itu. Raka membebaskan seluruh pemikirannya tentang Puspa kala merasa tidak kunjung menciptakan jawaban. Dia memilah pasta gigi serta gosok gigi kemudian meletakannya di trolly. Mereka melanjutkan kegiatan belanja kemudian telah terletak di parkiran motor kala senja menjelang. “ Gue laper. Ingin sekaligus makan tidak?” tanya Raka. “ Gue makan di rumah aja.” “ Lo tidak ingin nawarin gue makan di rumah lo?” tanya Raka penuh harap. Puspa cuma menanggapi dengan senyuman serta senantiasa melanjutkan aktivitasnya mengenakan jaket. Raka ketahui, keinginannya kembali pupus. “ Mengapa lo senantiasa nampak khawatir berhubungan dengan orang? Apalagi waktu terdapat tawaran buat dinas luar, lo menolak.” Entah mengapa Raka merasa tidak aman dengan keingintahuannya. Puspa seseorang perempuan yang sanggup menarik atensi Raka di kali awal pertemuan keduanya. “ Buat apa memahami banyak orang? Kala gue dapat hidup dengan diri gue sendiri.” “ Lo senantiasa perlu orang lain.” “ Gue tidak bilang jika gue tidak perlu orang lain. Gue cuma—nyaman sama diri gue sendiri.” “ Tetapi lo senantiasa perlu berjumpa dengan orang baru, memahami orang baru dan—.” “ Serta permasalahan baru, sumber rasa sakit baru. Begitu iktikad lo?” tanya Puspa menyela. Raka diam, memandang ke arah Puspa tajam. Ia pernah berfikir sepatutnya parkiran motor bukan tempat yang baik buat mangulas pembicaraan serumit ini. Namun seluruhnya telah terlanjur bukan?“ Gue… gue pula orang baru. Tetapi lo dapat menerima gue buat masuk ke dalam hidup lo.” Raka menuntut uraian. “ Lo yang senantiasa maksa buat masuk ke dalam hidup gue, Raka. Pria senantiasa semacam itu. Tetapi santai, tameng gue udah lebih mumpuni buat masalah- masalah semacam itu,” jawab Puspa. Perempuan itu telah menggunakan jaket serta helmnya lengkap.“ Telah boleh naik?” “ Oh ya, pasti.” Raka sejenak kehabisan logikanya. Dia mempersiapkan footstep buat Puspa naik kemudian mempersilahkan perempuan itu duduk di belakangnya. Motor mulai dihidupkan serta mereka berdua meninggalkan parkiran supermarket. Selama ekspedisi cuma terdapat kebisuan. Raka padat jadwal dengan pemikirannya sendiri sebaliknya Puspa padat jadwal menikmati sebagian tetes gerimis yang mulai tiba. Gerimis tiba saat sebelum mereka hingga di rumah Puspa. “ Rumah gue udah deket, tidak harus gunakan jas hujan ya?” pinta Puspa. “ Yaa.” Puspa memanglah tidak bernazar memakai jas hujan. Ia mau menikmati hujan. Puspa membebaskan helmnya, dia mendongak menanti air hujan membasahi kulit mukanya. Telah lama perempuan itu tidak bermain hujan. Semacam dahulu dikala dia masih kecil, dikala kedua ibu dan bapaknya masih utuh serta silih menyayangi. Manusia senantiasa semacam itu, kehabisan cinta sebab waktu. Seperti itu sebabnya Puspa sama sekali tidak yakin dengan perihal itu lagi. Menurutnya, hidup dengan dirinya sendiri telah lebih dari hanya lumayan. Puspa tidak memerlukan oranglain tercantum Ayah serta Ibunya, tercantum Arya serta pula Raka. Puspa cuma diam membisu dikala merambah minibus yang bawa sebagian karyawan tercantum dirinya. Minibus itu hendak bawa Puspa serta sahabatnya yang lain ke Yogyakarta. Dia memandang ke arah Raka yang lagi tersenyum penuh makna, duduk berseberangan di sofa yang sama. Berulangkali dia berupaya menguasai jalur benak Raka, yang dengan berani memasukan namanya di dalam catatan list dinas luar tanpa persetujuan Puspa. Suatu yang memforsir Puspa mendiamkan pria itu semenjak data itu hingga ke telinganya. Puspa tidak suka tetapi ia senantiasa wajib berangkat kala Mba Dwi memaksanya turut. “ Anggep aja healing, Puspa,” bisik Raka kemudian Puspa menatapnya marah.“ Eh, Ningrum. Eh, suka- suka gue lah ya manggil lo apa.” Puspa masih mengunci bibir, memandang ke arah depan tanpa bernazar menjawab kalimat- kalimat godaan Raka yang menyebalkan. “ Ck, sorry deh. Gue hanya ingin ngajakin lo jalan- jalan doang. Dinas luar itu dipastikan mengesankan, tidak terdapat yang tidak mendaftarkan diri buat turut kecuali lo.” Raka masih senantiasa keukeuh kalau apa yang dia jalani merupakan demi kebaikan Puspa.“ Ningruum, lo masih ngambek?” “ Gue tidak suka jalan- jalan, Raka. Gue suka di rumah serta sendiri.” “ Mengapa? Apa enaknya di rumah sendiri?” Puspa mengetatkan jaket kala dingin mulai mendominasi. Mereka bersama- sama berangkat dini hari kala hujan masih sangat deras- derasnya.“ Lo tidak hendak ngerti.” Puspa sekuat tenaga mengecilkan suara. Walaupun ia duduk di barisan balik serta cuma berdua dengan Raka tetapi tidak menutup mungkin suaranya hendak terdengar orang lain. Puspa tidak ingin memunculkan salah anggapan diantara sahabat yang lain. Mobil minibus kembali berjalan, dengan Raka serta Puspa yang memilah menaruh kebisuan. Ia memanglah sangat berani memasukan nama Puspa di dalam list dinas luar, sementara itu mereka tidak sedekat itu. Cuma saja, Raka mau Puspa memandang dunia tidak cuma dari kacamatanya saja. Sepanjang ekspedisi Puspa memilah duduk di sangat ujung sofa dengan Raka yang duduk di seberang yang lain. Mereka berdua semacam sejoli pacar yang lagi bertengkar, duduk berjauhan.“ Kaki lo taruh mari aja jika letih,” Raka menepuk bagian tengah sofa yang kosong. Sofa ini lumayan luas buat mereka berdua. “ Tidak harus.” “ Kaki lo letih ketekuk terus, Ruum.” “ Gue tidak apa- apa begini,” jawab Puspa menolak. Sehabis nyaris 2 belas jam ekspedisi mereka hingga di Yogyakarta. Kota pelajar yang katanya banyak menaruh kenangan. Tetapi untuk Puspa, kota ini terasa asing. Lama umur Puspa yang tiba nyaris 2 puluh 7 tahun, tidak sempat sekalipun Puspa tiba ke kota ini. Seluruh hidup Puspa terdapat di Jakarta. Kedua orangtua dari bapak serta ibunya telah tiada, jadi tidak terdapat tujuan keduanya kembali ke kampung taman. “ Gue telah bilang buat naruh kaki di sofa. Letih kan?” tanya Raka dikala memandang Puspa yang memukul- mukul kakinya sendiri. Mereka menyudahi di hotel kawasan malioboro. Sebagian penjual nampak membuka lapaknya di depan hotel. Terdapat daster, batik apalagi hingga tas- tas tradisional yang unik. Banyak sahabat Puspa yang tiba mendekat tetapi tidak dengan Puspa yang memilah langsung ke kamarnya. “ Lo jadi satu kamar sama Mbak Dwi ya,” ucap salah satu karyawan perempuan yang tidak dia tahu. Walaupun seluruh karyawan tiba dari divisi yang sama tetapi tugas serta bidang mereka berbeda. Seperti itu sebabnya banyak manusia- manusia asing disekitar Puspa. Tercantum perempuan itu. Mereka seluruh ketahui Mbak Dwi merupakan senior rese yang dihindari buat tinggal di kamar yang sama. Serta semacam biasa, Puspa senantiasa memperoleh yang tidak orang lain mau. Seandainya terdapat Ayuk, tentu hidupnya tidak hendak serunyam ini. Perempuan itu turut dinas luar tetapi ia memperoleh kota Malang selaku tujuannya. “ See? Di dini menginjakkan kaki di tempat ini, gue udah dapet yang tidak lezat,” ucap Puspa ke arah Raka dikala pria itu mendekat. Raka bawa tas jinjing miliknya serta satu koper kecil kepunyaan Puspa. “ Lo sangat kilat merumuskan. Nanti malam kita jalan- jalan, gimana?” tanya Raka menawarkan. “ Gue nggak—.” “ Nomor nomor, gue bukan menawarkan, gue ubah! Nanti malem lo turut jalan- jalan sama kanak- kanak yang lain. Titik!” *** Puspa baru saja berakhir mandi dikala Mba Dwi masuk ke dalam kamar. Perempuan itu memilah langsung menidurkan badannya di ranjang dekat jendela yang dia seleksi. Sementara itu sesungguhnya Puspa yang tiba terlebih dulu, tetapi semacam biasa, ia senantiasa mengalah. Industri Angkatan darat(AD) coorporate bukan industri kecil, mereka dengan gampang membagikan sarana terbaik buat karyawan yang lagi berdinas di luar kota. Semacam dikala ini, Puspa serta sahabatnya memperoleh satu sarana kamar hotel berbintang 4 yang dekat dengan zona wisata. Suatu yang menguntungkan sebab mereka dapat mencuri- curi waktu buat berwisata di kota Jogja. “ Lo ingin berangkat, Puspa?” tanya Mbak Dwi dengan mata tertutup serta badan yang tidak berganti posisi. “ Iya. Mbak Dwi ingin turut?” tanyanya. Walaupun dalam hati dia menyesali kalimat itu. Dapat saja dia memperoleh amukan sahabatnya tercantum Raka yang tidak menggemari Mbak Dwi. “ Hehe.” Mbak Dwi malah terkekeh.“ Gue di hotel aja. Lo tidak khawatir dimarahin temen- temen lo sebab ngajak gue?” tanyanya sekali lagi. “ Mbak—.” “ Sstt, gue ingin tidur aja. Bawain gue jajanan apa gitu jika lo kembali.” Puspa terus menjadi tidak aman. Ia sempat terletak di posisi Mbak Dwi, dimana sahabat yang lain menghindarinya. Bukan sebab Puspa yang rese, tetapi sebab perempuan itu dikira aneh serta pendiam. Tetapi itu dahulu dikala ia kuliah, dikala belum dekat dengan Arya yang dapat merubah dunianya seratus 8 puluh derajat. “ Yaa, Mbak. Nanti Puspa bawain jajanan.” Puspa memantaskan penampilannya di depan kaca. Dia menggunakan celana jeans 3 per 4 dengan sweater hangat yang melindungi dari dinginnya malam. Rambut yang biasa dia kucir ataupun dicepol dia perkenankan tergerai. Bukan tanpa alibi, tetapi sebab Puspa baru saja berakhir keramas. Dengan langkah sedikit malas Puspa bawa badannya ke lobby. “ Eh itu Puspa,” celetuk seseorang pria yang nampak dekat dengan Raka. Walaupun bila boleh Puspa beropini, di industri ini tidak terdapat yang tidak memahami Raka. Sang anak tampan yang humble kepada seluruh orang tercantum kepada Puspa sang pendiam.“ Puspa!” teriak Dio. Oh ya, sahabat Raka namanya Dio. Panggilan itu hingga ke kuping Puspa. Dia berjalan mendekat ke arah Raka serta sahabatnya. Cuma terdapat dekat 5 orang yang turut. Terdapat Raka, Dio, Ciput, Puspa serta satu lagi perempuan yang tidak Puspa tahu. “ Mari,” ajak Ciput. Mereka berlima berjalan ke arah Malioboro melewati nol km dimana banyak para anak muda yang lagi menikmati malam tanpa hujan. Puspa pernah kaget dikala memandang cosplay anime di dekat jalanan nol km, apalagi hingga terdapat yang berpura- pura jadi hantu. “ Mari pegang tangan gue.” Raka menengadahkan tangannya ke arah Puspa sebaliknya perempuan itu cuma memandang sekilas kemudian memandang Raka dengan tatapan penuh ciri tanya.“ Lagi rame, gue khawatir lo ketinggalan.” “ Tidak butuh,” jawab Puspa. Dia memilah buat berjalan menjajaki kanak- kanak yang telah berjalan jauh di depan. Puspa menikmati tiap moment yang dia miliki di tempat ini. Suatu yang tidak sempat dia temukan di Jakarta. Suara bunyi seruling serta pengamen- pengamen yang memakai angklung selaku pengiring musiknya. Lama Puspa berdiri melingkar menjajaki pemirsa yang lain. Sampai dia tersadar dikala tidak menciptakan Raka maupun temannya di sekitarnya. “ Raka,” panggilnya lirih. Matanya berlarian dikala tidak menciptakan Raka di dalam jarak pandangnya. Dia mulai keluar dari bundaran pemirsa buat mencari Raka.“ Raka!” panggilnya sekali lagi lebih kencang. Apalagi sebagian wisatawan di tempat ini pernah memandang ke arah Puspa dengan tatapan aneh. Puspa kurang ingat jalur kembali. Tempat ini asing serta sangat banyak orang. Gimana jika Puspa kembali ditinggalkan?“ Rakaa!” Puspa menangis dengan mata yang senantiasa mencari ketahui keberadaan Raka. Detak jantung Puspa mulai terpacu. Puspa khawatir! “ Hey.” Suatu tepukan ringan memutar badan Puspa. Dia memandang Raka yang berdiri di hadapannya dengan menenteng bungkusan bercorak putih. “ Lo ninggalin gue?!” “ Gue beli minum. Lo nampak asyik banget tadi dengerin musiknya,” jawab Raka menarangkan. “ Lo ninggalin gue, Raka!” Raka membisu dikala memandang kesedihan yang tercetak jelas di wajah Puspa. Perempuan itu menangis dengan mata yang ketakutan. Raka bimbang! Ia cuma membeli minum sebentar tetapi reaksi Puspa seolah dia baru saja ditinggalkan di tengah Padang pasir yang gersang serta luas( lebay banget sang Raka).“ Gue tidak ninggalin lo, gue hanya beli minum,” jelas Raka tetapi Puspa masih senantiasa menangis. Ingin tidak ingin, Raka meletakan minuman botol yang dia beli kemudian menarik badan Puspa buat mendekat. Walaupun Puspa masih marah kepadanya, Raka senantiasa memeluk badan perempuan itu yang nampak rapuh. “ Jangan tinggalin gue tanpa pamit, Raka.” “ Gue tidak hendak ninggalin lo lagitanpa pamit, sorry.” Raka mengelus badan Puspa yang bergetar. Entahkenapa, dekapan Raka terasa menenangkan untuk seseorang Puspa. Jogja tidak semenyeramkan itu. Dalam 3 hari proses rekruitment di mari, Puspa merasa bahagia. Walaupun pekerjaan menumpuk namun dia menyukainya. Terlebih, Raka senantiasa membawanya jalan- jalan di malam hari. Mereka berangkat ke alun- alun kidul, ke pasar malam apalagi hingga jalan- jalan ke salah satu universitas populer di Yogyakarta. Nyatanya Raka merupakan salah satu alumni universitas di Kota Pelajar ini. Oleh sebab itu dia sangat ketahui tentang seluk beluk kota Jogja. Sempat sesuatu malam Raka membawanya ke salah satu lesehan tempat dia biasa makan dahulu semasa kuliah. Mereka membelah jalanan kota Jogja di malam hari, dengan motor yang Raka sewa. Katanya, Raka merindukan Yogyakarta serta seluruh kenangan masa mudanya disini. Hari ini merupakan hari terakhir proses rekruitment dengan agenda interview. Terdapat sebagian petinggi industri yang tiba langsung buat menyeleksi karyawan terpilih. Mulai dari kepala penciptaan sampai direktur. “ Seluruh yang lolos udah dateng?” tanya Mbak Dwi. Puspa mengangguk.“ Udah Mbak, terdapat seratus karyawan. Tempat interview pula telah siap.” “ Baguslah. Denger- denger Pak Arya pula ingin dateng buat interview langsung calon kepala cabang.” Nama yang terdengar tidak asing.“ Siapa Mbak?” tanya Puspa membenarkan. “ Pak Arya, CEO.” “ Oh.” “ Lo jangan hingga tidak ketahui nama owner industri tempat lo kerja, Puspa.” Perempuan itu cuma dapat menelan ludahnya pelan, dikala mendengar nama itu kembali diucap. Anggap saja dia melarikan diri dengan terletak di Jogja namun tampaknya takdir masih mau bermain- main dengan perasaan perempuan itu. “ Puspa,” tegur Mbak Dwi kala Puspa tidak menjawab kalimatnya. “ I- iya, Mbak. Puspa hendak menghafal nama owner industri.” Mbak Dwi tidak menjawab, perempuan itu mendengus ringan kemudian meninggalkan Puspa dengan setumpuk berkas yang wajib dia siapkan saat sebelum proses interview. Dia memandang jam membuktikan jam 8 pagi sebaliknya interview diawali jam 10 nanti. Masih terdapat waktu buat Puspa mempersiapkan seluruhnya. Tempat rekruitment pagi ini di salah satu ballroom hotel tempat mereka menginap. Suatu yang mempermudah regu buat mempersiapkan segalanya dengan matang. Terdapat dekat 5 dinding yang disediakan tiap- tiap interviewer dengan satu sofa di depannya. Puspa meletakan satu bendel berkas calon karyawan, satu bendel berkas evaluasi serta pensil. Dinding awal hingga dengan dinding keempat dapat Puspa lalui dengan mudah. Tetapi di dinding ke 5, Puspa terpaksa menahan langkahnya dikala menciptakan wujud Arya yang lagi duduk di situ. Pria itu betul- betul tiba. Arya duduk membelakangi badan Puspa. Pria itu nampak lagi asyik bermain dengan ponselnya. Sehabis sanggup memahami diri, Puspa meneruskan langkahnya buat melaksanakan perihal yang sama dengan di bilik- bilik lebih dahulu. Dia meletakan sebagian keperluan berkas di meja. Merasa lengkap, Puspa memilah lekas keluar. “ Boleh saya memohon tolong?” tanya Arya seketika. Selaku seseorang karyawan yang baik, Puspa kembali mendekat. Tidak bisa jadi dia mengabaikan permintaan seseorang owner industri. “ Tolong rautkan pensil ini,” pintanya. Puspa memandang ke arah pensil yang terletak di dalam genggaman Arya. Ia masih ingat jelas kala tangannya mempersiapkan seluruh berkas serta meraut seluruh pensil, tercantum pensil yang terdapat di dalam genggaman tangan Arya dikala ini.“ Baik,” jawab Puspa tidak ingin mendebat. Perempuan itu berdiri di samping Arya dengan memutar- mutarkan pensil di dalam pengraut. Gerakan tangan itu menyudahi dikala mendengar bunyi sofa beralih. Arya berdiri kemudian mendekat ke arahnya. “ Tumben kalian menjajaki aktivitas di luar kota?” tanya Arya.“ Berjumpa orang baru, tempat baru,” selidik Arya mau ketahui.“ Bii,” panggil Arya yang senantiasa sanggup menghasilkan gemuruh hebat di dada Puspa.“ Mengapa?” “ Aku tidak wajib menanggapi persoalan Ayah.” “ Apakah sebab pria itu?” tanya Arya to the point. Pria berjas navy itu memandang ke arah Puspa dengan tatapan tajam. Entah apa yang dirahasiakan di dalam kepalanya. Otak Arya sangat rumit buat diurai. Puspa yang merasa Arya sangat mencampuri urusan pribadinya tersendat. Dia membalas tatapan Arya tegas, sekuat bisa jadi berupaya berpura- pura kokoh dihadapan pria yang jelas masih penuhi tiap sudut ruang di hatinya. Tatapan melawan Puspa membuat Arya terus menjadi nampak marah. “ Kalian dekat dengan pria itu?” tanya Arya lagi. Puspa jelas ketahui siapa yang diartikan Arya. Otaknya cuma menciptakan satu nama yang akhir- akhir ini senantiasa bersamanya.“ Ayah sangat mencampuri urusan individu karyawan.” Pria itu tersenyum tipis dengan tatapan yang tidak sedikitpun bergeser dari wajah Puspa.“ Saya dapat memecatnya bila mengalami terdapat karyawan yang berhubungan di divisi sama.” “ Ayah tidak berhak.” “ Tetapi saya sangat dapat melaksanakannya, Bii.” Puspa sadar! Arya sangat dapat melaksanakan itu dengan kekuasaannya. Mata mereka tertaut serta Puspa memilah alihkan pemikirannya dikala dirinya terus menjadi masuk ke dalam manik mata Arya yang menyesatkan. Tangannya lekas kembali menuntaskan tugasnya dengan tergesa- gesa, tetapi.. “ Aw.” Pengarut itu terbuka kemudian menggores jari Puspa sampai berdarah. Perempuan itu lekas berlari ke wc terdekat buat mensterilkan lukanya. Dia meletakan jarinya di dasar pancuran air wastafel yang deras. Rasa nyeri yang dia rasakan ditangannya sama sekali tidak sebanding dengan apa yang dia rasakan di hatinya. Mengapa Arya masih mencampuri kehidupan pribadinya? Mengapa pria itu masih nampak hirau? Pintu wc terbuka agresif. Arya masuk dengan tatapan penuh ancaman kemudian mengunci pintu dari dalam. “ Keluar,” usir Puspa. Dia khawatir kembali kalah.“ Saya bilang keluar!” Arya menarik tangan Puspa paksa, kemudian meletakannya di dasar pancuran air. Sekuat tenaga Puspa menolak, tetapi dia ketahui dia hendak senantiasa kalah bila berhadapan dengan Arya. Pria keras kepala yang senantiasa memaksakan keinginannya. Tangan pria itu mensterilkan cedera Puspa kemudian memencet dengan tissue kain miliknya supaya perdarahan menyudahi. “ Aku dapat melaksanakannya sendiri,” tolak Puspa, masih dengan kalimat sopan.“ Arya saya dapat melaksanakannya sendiri!” teriak Puspa marah. Pria itu tidak merespon bentakan Puspa yang sangat mengusik. Sehabis perdarahan di jari Puspa menyudahi baru dia alihkan perhatiannya ke arah perempuan yang baru saja meneriakinya dengan nada besar. Suatu yang tidak sempat Puspa jalani dahulu. Arya menggerogoti jarak penuh ancaman. Kesabarannya telah habis.“ Keluarkan seluruh amarahmu, Bii. Marah sama saya! Jam saya ataupun apapun itu supaya saya sedikit merasa lebih baik!” Arya mengambil tangan Puspa kemudian menamparkan ke arah pipinya sendiri. Puspa berupaya menarik tangannya tetapi Arya kembali mengakuisisi pergerakannya. Arya menamparkan tangan Puspa ke pipinya berulang kali. Namun sehabis seluruh itu terjalin, tidak terdapat yang berganti. Puspa masih nampak membencinya serta Arya? Dapat edan! “ Jam saya, Bii. Jam saya! Kalian berhak marah! Kalian berhak memukulku,” ucap Arya dengan dada bergetar hebat. Nafasnya tersengal dengan dada bergemuruh menahan amarah. Satu hantaman lumayan kokoh menyudahi di tembok sisi kanan Puspa yang kosong. Suatu yang membuat nyali Puspa menciut. Puspa menarik kembali tangannya, menggenggamnya erat. Puspa khawatir, Arya nampak sangat marah buat suatu yang tidak dapat Puspa pahami. “ Saya dapat edan dengan perasaan bersalah yang terdapat disini,” tunjuk Arya ke arah dadanya.“ Saya dapat edan apabila terus melihatmu dengan—!” “ Oh, apa saya mengganggumu? Begitu?” tanya Puspa membenarkan.“ Apa kalian merasa jijik melihatku?” tanya Puspa berupaya berani walaupun dengan air mata yang jatuh tanpa dapat Puspa tangkal. Sebenci itukah Arya kepadanya? Sebegitu tidak inginkah pria itu melihatnya? Arya terus menjadi menggerogoti jarak, dia mencengkeram badan Puspa yang ringkih di hadapannya. “ Bila keberadaanku mengganggumu, saya hendak berangkat,” ucap perempuan itu dengan bibir bergetar menahan tangis. Puspa membebaskan cengkeraman tangan Arya dengan paksa kemudian melangkahkan kakinya buat berangkat. Tetapi seketika tarikan tangan yang lumayan kokoh memforsir badan Puspa buat kembali berdiri di tempatnya semula.“ Tidak, tidak. Bukan begitu maksudku, Bii. Maksudku—.” “ Aku wajib keluar, proses interview sebentar lagi mulai.” “ Jangan memotong kalimatku!” Arya kembali menarik badan Puspa buat terletak di depannya.“ Bii.” “ Nama aku Pus—.” Arya mencium bibir Puspa seketika serta tiba- tiba, suatu yang dengan begitu gampang mencuri logika Puspa. Perempuan itu kaget, kedua matanya terbelalak dikala memandang wajah Arya yang begitu dekat di depan matanya. Ciuman itu awal mulanya begitu ringan serta penuh rasa. Sentuhan yang sanggup menarik seluruh kenangan yang telah lama Puspa kubur di dalam hati. Kedua tangan Puspa berupaya menahan badan Arya yang terus menjadi mendekat. Dia juga berupaya membebaskan tautan bibir Arya yang terus menjadi jadi.“ Le—pas.” Puspa terengah dikala Arya menjelajahi terus menjadi dalam. Bunyi bibir Arya yang menyecap mendominasi ruangan yang hening. Cuma terdapat suara geraman kepunyaan Arya serta suara tertahan dari Puspa yang meronta buat dilepaskan. “ Arya! Le—.” Arya kembali membungkam bibir Puspa dengan bibirnya. Dia menahan kedua tangan Puspa di atas badan perempuan itu kala Puspa masih saja terus melawan. Tangannya mencengkeram rahang perempuan itu serta mengunci tatapan Puspa ke arahnya.“ Kita belum berakhir, Puspa! Belum sama sekali.” Post navigation Kamu yang Kusebut Rumah 2 Kamu yang Kusebut Rumah 4