CRTDALAM Puspa sempat berharap Arya merupakan jawaban dari tiap doa yang dia langitkan. Suatu pemberian terindah dari dunia yang seringnya mengecewakan. Namun pada kesimpulannya, pria itu malah jadi salah satu cobaan dari sekian tes yang wajib Puspa lapangkan. Sehabis perceraian orangtua yang dimulai dari ratusan pertengkaran hebat di hadapan Puspa, perempuan itu kembali dipatahkan oleh seorang yang sepatutnya dia peruntukan tumpuan. Arya Adiputra, pacarnya. Puspa jatuh, terbuang serta sekali lagi merasa tersisihkan. “ Saya mau kita putus.” Puspa membisu, bimbang lebih tepatnya. Ikatan mereka baik- baik saja sebab sepanjang ini Puspa cenderung jadi perempuan yang penurut di depan Arya. Sepanjang ini tidak sempat sekalipun Puspa menuntut lebih. Untuk Puspa, dengan Arya yang mencintainya itu telah lebih dari hanya lumayan. “ Tetapi… bukankah sepanjang ini kita baik- baik saja, Bii?” tanya Puspa mulai takut. “ Saya merasa ikatan kita hambar, monoton. Maaf Puspa, keputusan aku telah final.” Perempuan bersurai panjang, berkaos oblong serta celana kolor kebesaran nampak memesatkan langkahnya dikala berjalan merambah rumah. Sesekali dia memandang ke arah ponsel yang dia genggam, sembari tersenyum tipis. Nampak jelas, kebahagiaan wanita itu di mukanya. Namanya Puspaningrum, seseorang mahasiswi ilmu psikologi tahun keempat. Wanita cenderung introvert yang sangat menggemari hujan. Untuk seseorang Puspa, hujan senantiasa sanggup menghasilkan kehangatan, sebab dingin tentu tiba bertepatan dengan tetes air yang jatuh membasahi bumi. “ Ini gulanya, Buk.” Puspa meletakan separuh kilo gula di meja dapur kemudian membuktikan ponselnya yang lagi berdering ke arah ibunya.“ Ningrum ingin telepon dahulu, jangan ganggu.” “ Bawah!” jawab Bunda Puspa jengkel. Perempuan itu berjalan ke arah kamar. Rumah Puspa tidak luas, jadi tidak memerlukan waktu lama wanita itu buat hingga di kamarnya. Dia mendudukan badannya di ranjang kamar kecil miliknya, kemudian sedikit membenahi penampilan walaupun panggilan yang terdapat cumalah sebatas panggilan suara.“ Ekheem.” Puspa berdehem buat menetralkan canggung.“ Hai, Bii,” sapanya kala icon warna hijau tergeser. “ Hai,” balas suara bariton di seberang. “ Nunggu lama ya? Sorry, tadi saya lagi disuruh Ibuk beli gula. Ibuk sukanya begitu, tiba- tiba–.” “ It’ s okey, saya pula tidak hendak lama kok teleponnya.” Terdapat secuil rasa sakit yang tidak dapat Puspa tutupi. Entah sebab pria itu menjanjikan suatu panggilan yang sebentar ataupun sebab Puspa seolah merasa kehabisan buat suatu yang tidak jelas.“ Oh, oke,” jawabnya pendek. Pria yang lagi menghubunginya pagi ini merupakan Arya Adiputra, pacar yang telah menemani hidupnya sepanjang 4 tahun. Pria itu dikala ini lagi menempuh pembelajaran di Boston. Telah lebih dari 3 bulan mereka tidak sempat berbicara lewat telepon, sesekali pesan Puspa berbalas tetapi cuma sebatas suatu jawaban pendek tidak berarti. Puspa senantiasa berpikir positif, bisa jadi Arya lagi fokus dengan perkuliahannya di situ. Tahun ini merupakan tahun keempat mereka menjalakan kasih serta tahun kedua mereka berjuang dengan jarak. Puspa kuliah di Indonesia sebaliknya Arya mengambil kuliah Post Graduate- nya di luar negara. Semacam yang telah dapat ditebak, Arya lahir dari golongan orang terletak serta sangat sanggup cuma buat hanya menyekolahkan anaknya ke luar negara. Tidak semacam Puspa yang lahir dari orangtua dengan tanggungan cicilan tiap bulan ke bulan. “ Sorry, apa saya ganggu?” tanya Arya. Persoalan yang Puspa anggap lucu, sebab mereka berdua terletak di dalam suatu ikatan. Sepatutnya perihal ini bukan kendala tetapi malah keharusan.“ Tidak, tidak ganggu kok,” jawab Puspa sehabis sanggup memahami diri.“ Gimana Bii?” Bee ataupun Bii merupakan panggilan sayang keduanya. Sebab Puspa maksudnya bunga serta Arya suka memanggilnya dengan panggilan itu. “ Terdapat satu perihal yang mau saya sampaikan.” “ Apa itu?” “ Saya mau kita putus.” Puspa membisu, bimbang lebih tepatnya. Ikatan mereka baik- baik saja sebab sepanjang ini Puspa cenderung jadi perempuan yang penurut di depan Arya. Arya berkata buat tidak menghubunginya terlebih dahulu, dia jalani. Arya berkata buat tidak memposting ataupun membuktikan ikatan mereka, Puspa juga bagi. Sepanjang ini tidak sempat sekalipun Puspa menuntut lebih. Untuk Puspa, dengan Arya yang mencintainya itu telah lebih dari hanya lumayan.“ Haha, Mas Arya nge- prank ya?” tawanya lepas.“ Ketahuan ih.” “ Saya sungguh- sungguh.” Puspa dapat mendengar dengusan sebal di seberang kemudian kembali menajamkan rungu kala tawanya tidak menemukan balasan.“ Tetapi… bukankah sepanjang ini kita baik- baik saja, Bii?” tanya Puspa mulai takut. “ Saya merasa ikatan kita hambar, monoton. Maaf Puspa, keputusan aku telah final.” Rasa sesak tiba bertepatan sakit yang menghantam pas di relung hati Puspa. Seorang yang sebagian menit kemudian terasa dekat saat ini betul- betul jauh buat direngkuh. Arya berkata kalimat itu lugas, tidak terdengar keraguan di dalamnya. “ Apa saya—ada salah?” tanya Puspa sekali lagi. “ Tidak.” “ Saya kurang apa?” “ Tidak terdapat.” “ Kemudian?” “ Ya itu, saya cuma merasa ikatan ini hambar.” “ Mas Arya bosan sama Puspa?” Sela waktu dibiarkan Arya hening tanpa suara. Helaan napas terdengar pelan serta berat, Puspa menggigit bibirnya sendiri sebab takut. Kilasan bayangan masalalu mereka yang indah berebut memohon atensi lebih. Puspa merindukan Arya- nya. Sangat! “ Iya.” 7 bulan yang kemudian Arya pernah kembali ke Indonesia serta pria itu sama sekali tidak berbeda. Arya- nya masih miliknya. Tetapi mengapa seketika ia berganti? Tahun ini sepatutnya jadi tahun terakhir perjuangan mereka melawan jarak. Pasti Puspa tidak hendak dan merta menyerah dengan ikatan keduanya. Puspa senantiasa hendak memperjuangkan ikatan mereka, bukankah begitu sepatutnya?“ Saya tidak ingin,” jawabnya. Ia menyayangi Arya, sangat. “ Loh, jika saya telah tidak ingin sama kalian terus gimana?” Sakit! Rasanya sakit. “ Mas, Saya cinta sama Mas Arya.” “ Tetapi saya enggak, saya udah bosen sama kalian, ikatan kita hambar.” “ Bukankah Mas Arya dapat berjuang lagi? Bukankah itu yang dahulu Mas Arya janjikan? Suatu perjuangan.” “ Sorry saya kalah.” Mengapa kalimat- kalimat menyakitkan begitu gampang keluar dari bibir yang sepanjang ini senantiasa sanggup menenangkannya?“ Saya,—aku telah membagikan seluruhnya buat Mas Arya. Kemudian saya wajib gimana?” “ Kita melaksanakannya sebab ingin sama ingin, Puspa. Tidak bisa jadi kalian membelengguku cuma sebab suatu tanggung jawab yang kalian pula melaksanakan itu tanpa paksaan.” Kalimat Arya menghentikan isakan tangis Puspa. “ Intinya saya telah tidak ingin sama kalian. Bukankah sepatutnya kalimatku telah jelas?” “ Tetapi Puspa tidak ingin.” “ Terserah kalian lah! Yang jelas bagiku, kita telah berakhir.” Beep. Panggilan itu diputus sepihak. Cerita cinta yang Puspa rajut dalam waktu 4 tahun gagal lewat suatu panggilan telepon tiba- tiba. Sedini itukah dunia memutar takdirnya? Tetapi Puspa tidak sempat putus asa, dia senantiasa menghubungi Arya di hari- hari selanjutnya. Dia masih mau berjuang, suatu yang senantiasa digadang- gadangkan Arya sepanjang ini. Tiap hari dia senantiasa berupaya menghubungi Arya, walaupun dengan itu dia wajib merogoh duit yang tidak sedikit. Tiap hari dia mengirimkan pesan walaupun tidak sempat berbalas. Sampai 3 bulan setelahnya, Puspa masih bertahan dengan harapan kalau Arya cumalah bosan tetapi cinta sepatutnya masih dipunyai pria itu. Suatu potret yang dia temukan di beranda media sosial Arya menegaskan suatu yang nyatanya telah betul- betul lenyap. Potret seseorang perempuan menawan yang berdiri di samping Arya, diantara keluarga yang belum sempat sekalipun Arya kenalkan padanya. Badan itu jelas kepunyaan Arya yang biasa memeluknya. Badan itu- lah yang dahulu senantiasa dapat melindungi Puspa dari dunia yang seringnya mengecewakan. Serta badan itu- lah yang saat ini malah menghasilkan kekecewaan besar dalam hidup Puspa setelahnya. Pria itu telah bersama dengan perempuan lain. Kemudian gimana dengan Puspa? Puspa kehabisan Arya, kehabisan seluruhnya tercantum dirinya sendiri. Puspa berlari, mengambil jaket serta helm, menggunakannya sembari kemudian. Tidak kurang ingat sejoli kaos tangan serta masker memenuhi penampilannya pagi ini. Dia memandang ke arah jam yang membuktikan jam separuh 8 pagi, maksudnya dia mempunyai waktu 2 puluh 9 menit buat hingga di kantornya pas waktu. “ Brengsek!” umpatnya kala kakinya tiba kerikil kecil di depan rumah. Sementara itu sepatutnya kerikil itu tidak bersalah, dirinya- lah yang salah sebab tidak menyapu rumah.“ Ya Tuhan, please hari ini baik sama gue doong,” mohonnya lebih ke arah paksaan. Hari ini merupakan hari terakhir masa magang di suatu industri baru tempatnya bekerja. Ia telah menghabiskan banyak waktu, tenaga serta benak selaku wujud perjuangannya sepanjang 3 bulan di industri itu. Separuh jam dari saat ini merupakan waktu dimana keputusan akhir nasib hidupnya sepanjang sebagian tahun ke depan. Didepak serta jadi pengangguran dengan banyak cicilan, ataupun kontrak satu tahun dengan pendapatan yang lumayan besar. Bila boleh memilah pasti saja Puspa berharap dia hendak memperoleh opsi kedua. Ia masih memiliki cicilan rumah yang lumayan memusingkan kepala! Puspa menstater motor bebek butut miliknya yang telah mulai rewel. Dia pernah merumuskan doanya terkabul kala mesin motornya dapat hidup dalam tempo waktu yang sesingkat- singkatnya. Tetapi seketika dia terpaksa menarik kembali kalimat syukur yang baru saja dia ucapkan dalam hati. Blubub… blubub… “ Ya Tuhaaaaan! Mengapa motor gue wajib macet di dikala genting semacam saat ini?!” tanyanya marah entah diperuntukan buat siapa. Nyaris saja Puspa menangis serta merutuki kesialannya pagi ini, tetapi seketika dia masih teringat dengan sebagian cicilan rumah yang wajib dia bayar tiap bulan. Suatu kenyataan yang lumayan sanggup membuat semangatnya kembali membuncah. Ia wajib bekerja! Tangan Puspa mengotak- atik ponsel genggam yang dia rogoh di dalam tas. Masih terdapat salah satunya harapan yang dapat Puspa gadang- gadangkan. “ Cocok aplikasi ya, Teh?” Abang ojek onlen! “ Ya ya, hayuk Aa. Aku telah telat,” jawabnya gesit. Puspa kembali berfikir kalau Tuhan masih sayang pada dirinya. Abang gojek kali ini sangat mumpuni di dalam bidang salip menyalip. Apalagi helm Puspa pernah tertarik sedikit ke balik sebab terbawa angin saking ngebutnya sang Abang gojek. Edan memanglah! Pembalap Rossi saja lewaaat. Ciiittzzz. “ Makasih A’,” ucap Puspa.“ Aku kasih tips- nya melalui aplikasi ya?” “ Beres bossque, nuhun.” Puspa berlari merambah kantor. Dia langsung mengarah ke arah ruang SDM yang tadi malam diinformasikan kepadanya lewat email. “ Nyaris telat lo,” bisik Ayuk. Sahabat Puspa yang telah lama bekerja di industri Angkatan darat(AD) corporate. Salah satu sahabat satu fakultas yang mempunyai gelar sama, ialah sarjana psikologi. Sahabat yang membawanya masuk ke dalam industri ini. Bila tidak terdapat Ayuk, entah Puspa mengemis pekerjaan kepada siapa. “ Motor gue mogok, setan bener!” “ Ssttt, gue ke depan dahulu.” Mereka berkumpul di suatu ruangan dengan karyawan magang sebanyak 10 orang dari bermacam berbagai divisi serta penempatan. Data yang baru saja Puspa terima, karyawan magang yang dipanggil pagi ini merupakan karyawan yang diterima selaku karyawan kontrak. Puspa bersyukur, dia masuk ke dalam karyawan yang terpanggil. “ Mulai detik ini, sehabis kamu menandatangi kontrak dengan Angkatan darat(AD) Corporate hingga kamu telah formal jadi salah satu anggota keluarga di industri ini.” Manager SDM kami yang bila tidak salah bernama Pak Dimas. Pria itu menarangkan sebagian peraturan serta kewajiban yang wajib dipatuhi selaku karyawan.“ Kamu siap?” “ Siap Pak,” jawabku tentu. Selaku seseorang budak corporate yang telah malang melintang di dunia ketenagakerjaan, seluruh orang tentu lumayan memahami industri Angkatan darat(AD) Corporate. Industri adidaya yang bergerak di bidang konstruksi serta mesin yang akhir- akhir ini lagi meningkatkan bisnis keuangan dalam investasi. Darimana Puspa ketahui? Pasti saja dari Ayuk yang kerap sekali mengagung- agungkan tempat kerjanya. Intinya, Puspa bersyukur diterima di industri ini. Dikala jam makan siang, Puspa serta Ayuk memilah buat makan siang di kantor. Perusahaannya sediakan makan siang buat tiap karyawan tetapi pula tidak memforsir karyawan buat makan santapan yang disediakan. Dengan alibi demi mengirit pengeluaran bulanan, pasti saja Ayuk serta Puspa memilah makan di kantin yang disediakan. “ Opsi lo pas buat masuk kesini,” ucap Ayuk disela- sela makan siangnya. “ Gue pula berfikir semacam itu.” “ Pendapatan gede walaupun baru pegawai kontrak, bonus gede,” tambah Ayuk.“ Lo tidak hendak sempat menyesal ninggalin kantor lo yang dahulu. Gue pastiin itu!” Entah mengapa kalimat Ayuk bawa sebagian memori kurang baik Puspa di industri tempat kerjanya lebih dahulu. Nyaris 5 tahun Puspa bekerja di tempat itu, walaupun gajinya tidak sangat besar tetapi dekat dengan rumahnya. Selaku seseorang perempuan yang tinggal sendiri di kota besar, pasti jarak yang dekat lumayan dapat dijadikan salah satu alibi memilah tempat kerja. Bisa jadi sebab lebih nyaman juga pula tidak hendak sangat letih di ekspedisi. Sehabis ibunya memutuskan buat menjual rumah mereka yang terdapat di Jakarta serta memilah tinggal di desa, Puspa membeli suatu rumah dengan KPR dibantu ibunya dari duit hasil penjualan rumah. Bapak serta Bunda Puspa berpisah dikala Puspa masih SMA. Saat ini ini bapak telah menikah serta mempunyai keluarga barunya sendiri demikian juga ibunya. Kemudian Puspa bersama siapa? Hehe, ia sendiri. “ Kembali naik ojek lagi lo?” “ Ya iyalaah, memanglah ingin naik apa?” “ Yaa siapa ketahui terdapat yang jemput.” “ Yaa terdapat emang, Babang Ojek kan?” tanya Puspa dengan kedipan mata yang dibuat- buat. “ Sialan lo!” “ Hahaha.” Mereka berdua tertawa lepas di tengah kerumunan umat manusia Angkatan darat(AD) Corporate. Sore harinya Puspa kembali pas di jam 5 sore. Sebab jarak kantor yang lumayan jauh dengan rumahnya, dan kemacetan yang aduhai dahsyatnya, membuat Puspa baru datang di rumah kala adzan Isya’ berkumandang. Perempuan itu turun dari motor kemudian mengeras kala menciptakan wujud yang sangat dia jauhi. Wujud yang jadi alibi utamanya terpaksa hengkang dari industri lebih dahulu.“ Mas Galih mengapa ke mari?” tanya Puspa tanpa terdapat nada ramah dalam kalimatnya. “ Puspa, saya memohon maaf,” jawab pria itu sembari berupaya mencapai tangan Puspa. “ Saya tidak dapat!” Puspa menepis tangan Galih dengan agresif. “ Saya tidak nyangka dapat jadi serumit ini hingga kalian wajib resign serta cari tempat kerja baru.” “ Sepatutnya Mas Galih telah dapat memprediksi jika mulut manusia itu tidak seluruhnya dapat dilindungi.” “ Saya ketahui—.” “ Lebih baik Mas Galih berangkat,” usir Puspa sekali lagi saat sebelum kesedihan kembali memahami. Sekuat tenaga Puspa berupaya mengais sisa- sisa harapan buat kembali menjalakan suatu ikatan. Serta Galih merupakan pilihannya sebab pria itu dikira baik. Galih pria tabah serta nampak tidak sering mempunyai sahabat wanita. Suatu yang jadi poin utama Puspa buat kembali berupaya dekat dengan pria. Terlebih sebab desakan usia yang senantiasa dikira sangat tua oleh keluarganya, memforsir Puspa buat berupaya pelan- pelan kembali membuka hati. Serta kala dia berupaya kembali membuka hati buat Galih, Puspa memberanikan diri buat jujur kepada pria itu tentang kondisinya yang—sudah tidak suci. Suatu ikatan wajib diawali dari silih terbuka bukan? Tetapi malah desas desus tentang ikatan Galih serta Puspa jadi pembicaraan di tempat kerja mereka berdua. “ Jujur saja waktu itu saya sedikit kecewa. Saya cuma—hanya curhat ke Rio tetapi tidak ketahui gimana dapat tersebar begini,” jelas Galih frustasi.“ Saya memohon maaf, saya betul- betul menyesal.” Puspa yang telah kehabisan keyakinan semenjak dahulu terus menjadi tidak terselamatkan. Sekuat tenaga dia berupaya kembali membuka hatinya namun sekali lagi dia tersakiti. Bisa jadi takdir lagi tidak ingin berbaik hati kepada seseorang manusia bernama Puspaningrum.“ Apapun alibi Mas Galih, tidak dapat Puspa terima. Lebih baik saat ini Mas Galih kembali sebab Puspa ingin rehat.” “ Saya cinta sama kalian, Puspa,” ucap Galih seketika. “ Mulai detik ini, Puspa tidak lagi yakin dengan perasaan itu. Puspa telah menutupnya erat- erat.” “ Puspa—.” “ Assalamualaikum, hati- hati di jalur, Mas.” Puspa menutup pintunya dari dalam, membiarkantubuhnya berdiri di balik pintu sejenak buat menikmati rasa sakit yang sudahterbiasa menghiasi hatinya. Terus menjadi kita berusia, kita hendak terus menjadi mudahmengatakan‘ tidak apa- apa’ buat suatu yang menyakiti. Puspa telah terbiasa, dia cuma hendak memerlukan waktu sebentar kemudian seluruhnya hendak kembali sepertibiasa. Bukan begitu? Dengan langkah tegap Puspa menjajaki arahan senior divisi yang ditugaskan buat menemani orientasinya. Mereka berjalan- jalan memutari sebagian bagian kantor yang dikira berarti buat dikenal karyawan baru, semacam: tempat mesin fotocopy, pengambilan ATK, tempat penciptaan sampai QC serta sebagian tempat yang lain. Angkatan darat(AD) Corporate bergerak di bidang penciptaan sparepart otomotif, properti sampai bisnis Investasi yang saat ini mulai dirambah para direksi. Selaku staff HR Puspa tidak sangat mengerti dengan penciptaan, yang butuh dia pahami merupakan menghitung kebutuhan karyawan serta membenarkan industri memperoleh karyawan terbaik demikian juga kebalikannya. “ Nah, sehabis kita berputar- putar kesimpulannya kita hingga di ruangan kita sendiri. Welcome to Human Resource Kementerian, Puspa.” Seluruh orang berdiri menyongsong puspa di ruangan seluas seratus m ini. Puspa menemui satu persatu temannya kemudian berkenalan, meski ia belum pasti dapat mengingat namanya. Entah mengapa Puspa sangat susah buat mengingat nama orang. Ruangan ini terdiri dari 7 orang, Puspa masuk ke bagian perekrutan karyawan berbeda dengan Ayuk yang masuk kedalam bagian perhitungan kompensasi serta evaluasi kerja. Sedikit kecewa sesungguhnya tetapi Puspa senantiasa bersyukur. “ Puspa duduk di sangat depan ya,” ucap salah satu senior Puspa yang bernama Mba Dwi. “ Baik, Mba. Terima kasih.” “ Hati- hati lho, Puspa. Jika duduk sangat depan cocok tes tidak dapat nyontek,” celetuk seseorang perempuan berambut pirang. Di industri ini menjunjung azas kebebasan, jadi kamu leluasa tiba ke tempat kerja dalam wujud apapun yang berarti masih dalam batasan sopan. “ Memangnya Puspa sama kaya lo yang suka nyontek, Sep?” jawab seseorang pria yang duduk di samping meja Puspa. Tawa mengisi ruangan yang tidak sangat besar ini, suatu yang membuat Puspa merasa aman. “ Gue Raka tidak gunakan buming, lo dapat panggil gue Raka saja tanpa embel- embel yang lain,” ucap pria itu memperkenalkan. “ Oh ya, Puspa,” jawabnya canggung. Sementara itu sepatutnya seluruh orang di mari telah ketahui siapa namanya. “ Jika malam itu namanya Rara bukan Raka lagi,” ucap perempuan berambut kontras tadi. Sekali lagi tawa kembali meramaikan ruangan. “ Sssttt, telah telah mari kembali bekerja,” tegur Mba Dwi yang dituruti seluruh orang. Puspa mendudukan badannya di sofa kerja sembari memandang sebagian sarana yang dapat dia pakai. Satu Komputer keluaran terkini dengan printer di tiap 3 tempat duduk. Di belakangnya terdapat almari besi yang lumayan buat menaruh sebagian berkas. “ Suka kopi? Ingin ke pantry dahulu?” tawar Raka.“ Gue ngantuk nih.” “ Bo—boleh.” “ Sip.” Raka membawanya ke pantry yang terletak tidak jauh dari ruang kerja keduanya.“ Lebih dahulu kerja di mana?” tanya Raka sembari memasukan kopi ke dalam mesin ekspresso. “ Di Bimatara.” “ Oh, mengapa keluar?” “ Alibi personal.” “ Habis putus cinta?” tanya Raka dengan senyum tengil. Puspa cuma menggeleng, tidak bernazar menarangkan lebih sebab itu tercantum kedalam daerah privasinya. “ Siang ini kita terdapat rapat dengan petinggi industri, katanya direksi ingin mengantarkan langsung sebagian sasaran serta plan kita ke depan. Lo ketahui kan industri ini ingin membuka pabrik baru di kawasan Cikarang. Lo turut saja nanti.” “ Boleh Mas?” tanyanya. “ Boleh lah, supaya tahu pula sama temen- temen lain di mari,” ucapnya sembari meletakan satu cawan kopi latte di depan Puspa.“ Serta jangan panggil gue Mas! Gue bukan abang lo, panggil nama aja.” “ Hehe ya, Raka.” “ Nah gitu kan keren, gue tidak sangat tua- tua pula.” Puspa mengambil kopi yang dibuatkan Raka serta tidak kurang ingat mengucapkan terima kasih. Siangnya semacam yang Raka sampaikan, terdapat rapat berarti dengan direksi spesial buat bagian HR. Puspa dimohon Mbak Dwi buat turut, terdapat Raka serta Ayuk pula di tempat ini. Memandang sofa di sebelah Ayuk kosong, Puspa memesatkan langkahnya serta duduk di samping Ayuk. “ Busyet, kaget gue.” “ Hihi.” “ Gimana area kerjanya?” tanya Ayuk. “ So far so good.” “ Alhamdulillah, gue turut seneng.” “ Thank” s.” Rapat dibuka oleh moderator yang berprofesi selaku CHRO industri( Chief Human Resources Officer) namanya Pak Abat. Seluruh karyawan mencermati dengan seksama sebagian data yang di informasikan Pak Abat. “ Siang ini kita lumayan beruntung sebab direktur utama dapat muncul langsung buat membagikan arahan. Kami berharap karyawan di mari bisa mencermati dengan baik sebagian arahan yang nanti hendak di informasikan langsung oleh dia.” Seorang dari balik badan pria itu membisikan suatu kemudian dibalas Pak Abat dengan anggukan pendek. “ Kayaknya Pak Dir kita telah tiba,” bisik Ayuk. “ Oh.” “ Jangan kaget sama Pak Dir kita.” “ Mengapa?” “ Ganteng, hot daddy anak satu.” Puspa membebaskan tawa kecil menjawab Ayuk yang berkata kalimat itu sembari merem melek, kemudian dia kembali menyimpan attensinya ke arah podium. Seluruh orang melaksanakan perihal yang sama, menyongsong kehadiran Direktur Utama Angkatan darat(AD) Corporate. Tap. Tap. Tap. Suara derap langkah kaki mendekat mulai terdengar. Wujud pria berjas navy masuk ke dalam ruangan. Pria dengan garis wajah yang amat sangat Puspa kenali. Pria dengan wajah tegas serta rahang kokoh yang dahulu kerap sekali Puspa kagumi dalam diam. Mata tajam serta aura dominasi yang senantiasa sanggup membuat Puspa berdebar tidak karuan. Puspa menelan ludahnya berulang kali kala wujud yang sepanjang ini telah dia kubur dalam- dalam saat ini terletak pas di depan mata. Sehabis 5 tahun perpisahan yang cuma lewat panggilan telepon, wujud itu berdiri dengan elok di hadapan Puspa. Arya Adiputra. “ Ayo,” panggil Puspa lirih. “ Ya?” “ Angkatan darat(AD) Corporate itu kepanjangannya apa?” “ Adiputra Corporate.” Goblok! Batin Puspa dalam hati. Gimana dapat ia tidak mencari ketahui terlebih dulu tentang nama industri yang dia datangi? Puspa kembali menelan ludahnya, jantungnya berdebar. Dia sangat hafal dengan apa yang terjalin kepadanya siang ini. Puspa meletakan tangannya di dasar meja serta mulai menghitung angka satu hingga seratus buat mendistraksi kepanikannya. Deg… deg… deg. Tetapi kayaknya metode itu tidak sukses. Keringat dingin Puspa mulai bercucuran, tubuh bergetar apalagi Puspa merasakan nafasnya yang semacam tercekik. “ Mengapa? Lo sakit?” tanya Ayuk takut. “ Tidak apa- apa.” “ Lo pucet, Puspa.” Puspa mulai merasa perutnya mual. Dia lekas berdiri dengan wajah tertunduk serta keluar ruangan. Puspa berlari mencari tempat untuknya bersembunyi, tetapi yang dia temukan cumalah suatu balkon terbengkalai yang terbuka. Puspa mencari tempat lain, dia berlari ke arah wc terdekat. Dia masuk ke dalam dinding serta duduk disitu sembari memeluk badannya sendiri. Puspa tidak di idamkan. Puspa tidak berarti. Puspa tidak pantas. Serbuan ini kembali tiba. Puspa hadapi serbuan panik awal kali dikala kedua ibu dan bapaknya berpisah. Dia teratur memperoleh perawatan serta mulai normal dikala berjumpa Arya. Kemudian serbuan itu kembali timbul dikala Puspa kehabisan Arya serta kembali normal dikala dia mulai disibukan dengan pekerjaan. Saat ini ini serbuan itu kembali timbul dikala dia memandang wujud sumber sakit hatinya yang teramat besar- Arya Adiputra. Suatu ikatan yang dikira Puspa selaku obat tampaknya malah jadi penyebab terhebat sakit itu kembali melanda. Puspa yang ditinggalkan begitu saja dengan suatu panggilan telepon tiba- tiba tanpa uraian, tanpa perasaan. Lo tidak berharga. Puspa menutupi kedua telinganya berupaya melenyapkan suara- suara halusinasi yang sanggup buatnya ketakutan. “ Berangkat,” ucap Puspa lirih.“ Lo tidak nyata!” Puspa membaca doa dalam hati, berharap sedikit menenangkan perasaannya yang kacau. Walaupun takdir tidak selamanya baik, ia masih yakin Tuhan- nya memandang serta mendengar doanya. Merasa mulai normal, Puspa memilah buat berjalan ke ruangan kemudian mengambil tas miliknya.“ Gue perlu dokter. Tesa.” Puspa berjalan keluar bangunan besar ini serta bergegas mencari taksi. Dia mengatakan suatu klinik tempat dokter. Teza aplikasi individu. Gue hendak baik- baik saja. Gue senang dengan diri gw sendiri. Bisik Puspa kesekian kali dalam hati. “ Kontraknya satu tahun serta bila resign saat sebelum masa kontrak berakhir hingga hendak dikenakan pinalty, Kak.” “ Berapa?” tanya Puspa mencari ketahui. “ Jumlah bulan yang ditinggalkan dikali pendapatan pokok. Kak Puspa kemarin tertulis pendapatan pokok 4 separuh juta ya? Jadi jika kakak ingin resign bulan ini, pinalty- nya dekat 5 puluh 4 juta.” Oke! Puspa menghembuskan napas beratnya lama- lama. Duit 5 puluh 4 juta bukan duit yang sedikit untuk Puspa, walaupun dia memiliki tabungan tetapi pasti tidak sebanyak itu.“ Terima kasih datanya,” ucap Puspa sembari tersenyum ramah. Dia permisi keluar dari ruangan kemudian berjalan ke arah sisi lain kubikel. Puspa menyudahi di balkon yang terletak di sisi kanan gedung. Suatu tempat tersembunyi yang dia temukan dikala melarikan diri sari serbuan panik, walaupun ia senantiasa berakhir di wc sebab dikira lebih tertutup. Bila diteliti lebih lama kayaknya balkon ini telah tidak sering terjamah, hening serta berhamburan. Puspa mendudukan badannya di suatu sofa usang yang rupanya mulai pudar. Tatapan matanya kosong memandang ke arah jalanan kota Jakarta yang padat serta langit biru yang sangat jauh buat digapai. Kamu belum pasti hendak berjumpa lagi, ia terletak jauh diatasmu Puspa. Hendak sangat tidak sering berhubungan permasalahan pekerjaan. Puspa mengingat kalimat yang di informasikan dokter. Tesa, psikiatri yang sepanjang ini senantiasa menolong Puspa menanggulangi permasalahan panik yang kerap melanda. Sepatutnya ia hendak gampang jadi tidak nampak di hadapan Arya, sepatutnya posisi mereka yang jauh berbeda hendak sanggup menyembunyikan Puspa. Cuma satu tahun serta Puspa hendak kembali mencari pekerjaan lain. Ia tidak ingin mengusik Arya serta keluarganya. Ia tidak ingin menganggu kenangan yang telah dia kunci rapat- rapat di dalam hati. Hot daddy anak satu. Puspa memejamkan mata, teringat dikala Ayuk berkata kenyataan itu dengan jelas. Arya telah beristri, tidak sepatutnya dia mengusik. Toh, belum pasti pula Arya masih mengingatnya? Puspa tidak lumayan berharga buat diingat selaku seseorang yang layak buat dikenang. Puspa tersenyum tipis merutuki kebodohannya. Yaa, seluruhnya hendak baik- baik saja. Puspa lumayan buat jadi tidak nampak di depan Arya serta seluruhnya hendak baik- baik saja. Dia berdiri kemudian melangkahkan kakinya dengan tentu ke ruang kerjanya. “ Lo kemana saja kemarin?” Ayuk menarik badan Puspa seketika, membawanya menepi ke sisi kanan lorong yang dia lewatkan buat menuntut uraian. “ Gue sakit, kemarin gue ke dokter. Sorry.” “ Sakit apa?” tanya Ayuk takut. Puspa menelisik ke arah temannya. Ayuk serta Puspa tidak sangat dekat sewaktu kuliah, mereka cuma sahabat biasa. Apakah Ayuk dapat dipercaya? Pasti saja jawabannya tidak. Tidak terdapat yang dapat Puspa yakin tidak hanya dirinya sendiri.“ Sakit asam lambung,” jawabnya bohong. “ Udah baikan saat ini?” “ Cukup, gue udah dapet obat.” Ayuk masih menautkan kedua alis sembari membuktikan raut wajah permusuhan.“ Lo pula pagi ini nanya tentang pengajuan resign ke Mba Tata! Mengapa sih lo Puspa? Gue udah ngerekomendasiin lo di mari, jangan buat gue kecewa dengan resign di bulan awal kontrak.” Puspa diam mencermati celotehan Ayuk yang mungkin masih panjang. “ Jika lo tidak suka kerja di mari mengapa tidak mengundurkan diri waktu magang? Lagian pula pinalty- nya mahal jika lo keluar saat ini. Dan—.” “ Ssttt! Gue tidak hendak resign serta gue masih perlu uang, Ayuuuk. Mari saat ini kita kerja.” “ Lo buat gue takut ketahui tidak sih!” “ Hihi, sorry. Tetapi sungguh- sungguh, gue masih perlu uang.” “ Iyee.” “ Ingin makan siang di kantin kan nanti?” tanya Puspa alihkan pembicaraan. “ Iya dong, kite kan cari yang gretongan ya, Sist.” Mereka berdua tertawa lepas di lorong yang hening, kemudian memutuskan buat kembali ke kubikel tiap- tiap. *** Waktu lalu terasa kilat, telah 5 hari Puspa bekerja di industri ini. Serta semacam yang Puspa prediksi lebih dahulu, hidupnya damai. Ia memanglah bekerja di satu gedung yang sama dengan Arya tetapi tidak sempat sekalipun berjumpa dengan pria itu. Suatu yang lumayan buatnya lega. Obat yang diberikan dokter. Tesa juga tidak lagi dia mengkonsumsi. Puspa berharap itu cumalah suatu serbuan panik sesaat yang tidak memerlukan pengobatan lanjutan. Ia melenggang dengan santai ke arah parkiran bersama sahabatnya. Silih menceritakan tentang pekerjaan tiap- tiap yang meletihkan. “ Bye gais, see you on ugly monday.” Ayuk pamit terlebih dulu ke arah sahabatnya. Mereka seluruh berpisah di parkiran. “ Happy weekend.” “ Selamat liburan.” Puspa cuma menjawab dengan senyuman sembari sesekali membalas lambaian tangan sahabatnya. Dia memilah lekas mendekat ke arah motor bututnya yang tadi pagi wajib Puspa syukuri dapat berjalan tanpa hambatan. Dia menggunakan jaket serta perlengkapan tempur jalanan, kemudian menekan tombol starter dengan jempol tangan kanannya. Blubub… blubub… Dia mengulangi lagi serta lagi, apalagi sampai percobaan kelima motor itu tidak pula kunjung menyala. Astaga. Batin Puspa. 4 hari Puspa memakai ojek online buat ekspedisi ke kantor. Sebaliknya motor miliknya terparkir apik di garasi rumah sebab Puspa memanglah belum pernah membawanya ke bengkel. Kemudian pagi tadi dia berupaya peruntungannya dengan memakai motor ini, tetapi simaklah apa yang terjalin? Puspa mendengus sebal. Ia wajib gimana? “ Macet?” Raka timbul seketika di balik badannya. Pria itu telah menggunakan jaket gelap serta tas selempang yang menggantung di dada. “ Iya.” “ Coba gue cek.” Puspa menghindar dari motor kemudian Raka berjongkok di sisi sebelah kiri motor.“ Terangin gue pake lampu flash hp.” Puspa menjajaki instruksi Raka, membagikan penerangan ke arah mesin motor yang sedikit terletak di dalam. “ Businya ini mah, udah soak.” “ Gitu ya?” “ Tidak sering servis kan lo?” “ Iya.” “ Tinggal aja motornya, titipin ke Pak satpam namanya Pak Tejo. Supaya ia yang membawa ke bengkel nanti lo kasih aja duit seratus ribu gitu. Senin udah dapat dibawa kembali. Gimana?” “ Emang ingin?” “ Ingin lah, gue panggilin Pak Tejo.” Puspa menarik tangan Raka yang hendak berangkat kemudian melepaskannya dengan kilat kala tersadar apa yang dia jalani sangat kelewatan buat keduanya. Raka memandang Puspa heran dengan kedua alis menyatu. “ Bukannya lo ingin balik? Gue tidak ingin ngerepotin,” ucap Puspa tidak lezat hati memperoleh dorongan Raka. “ Hey hoy, Puspaningrum. Di parkiran ini hanya terdapat gue yang dapat nolong lo. Emang lo ingin dorong motor sendiri?” Puspa menggeleng. “ Ya udah dih mari kunci motornya.” Puspa menunjuk ke arah kunci yang menggantung di motor. “ Oh iya, hehe. Lo tunggu disini.” Sebagian menit setelahnya Raka tiba bersama seseorang pria besar berseragam satpam.“ Ini motornya Pak,” ucap Raka membuktikan motor Puspa. “ Oh ya siap, Bos.” “ Tolong membawa ke bengkel. Kaya- nya businya perlu ubah. Sekaligus servis dah, ya Puspa?” Puspa yang seketika dipanggil gelagapan.“ I- iya, Pak.” Raka menengadahkan tangannya ke arah Puspa tetapi Puspa tidak mengerti serta bertanya dengan memakai tatapan mata. “ Uang Puspa.” “ Oh iya, tetapi gue tidak membawa cash.” “ Astagaa.” Raka menghasilkan duit 5 ratus ribu dari dompetnya serta membagikan duit itu ke Pak Tejo.“ Jika terdapat minimnya talangin dahulu ya, Pak.” “ Oke oke, siap.” Pak Tejo bawa motor Puspa ke arah parkiran yang dekat dengan pos satpam. “ Ingin gue anter kembali?” tanya Raka menawarkan. “ Eh tidak harus. Gue udah lumayan ngrepotin lo. Gue naik ojek online aja.” “ Jika nolong tidak boleh setengah- setengah, Puspa,” ucap Raka sedikit memforsir. “ Rumah gue jauh, Raka.” “ Gue memiliki jaket tebel, bensin fulltank serta motor yang giat diservis.” “ Dih ngejek gue lo?” “ Hahaha, ngerasa ya? Ya udah lah, ayook gue anter kembali,” ucap Raka sembari menarik tangan Puspa.“ Gue maksa Puspa!” Ingin tidak ingin Puspa menjajaki langkah Raka mendekat ke arah motornya. Mereka menyudahi di dekat motor laki- laki dengan bagian balik yang menukik tajam.“ Lo sungguh- sungguh kita gunakan motor ini?” “ Motor gue salah satunya hanya ini. Mengapa?” “ Boncengannya sangat besar, Ka,” jawab Puspa tidak aman. “ Tidak apa- apa, kan nanti jika gue kedinginan sebab ekspedisi jauh lo dapat peluk gue supaya anget.” “ Ogah!” Wajah Raka nampak kecewa.“ Coba naik dahulu, kita dapat kok duduk tanpa bersebelahan jika misal itu buat lo tidak aman.” “ Emang dapat?” “ Dapat, sangat letih doang kakinya pegel- pegel sebab nahan.” Raka telah bersiap di atas motor dengan helm fullface miliknya. Ia mempersiapkan footstep buat Puspa naik, kemudian perempuan itu menjajaki perintah Raka buat duduk di balik motornya.“ Udah?” “ Ntar dahulu,” jawab Puspa sembari membetulkan posisi duduknya serta membenarkan terdapat jarak di antara mereka berdua.“ Udah,” jawabnya sehabis merasa siap. “ Lo senantiasa perlu pegangan, Puspa. Pegang mari.” Raka menarik kedua tangan Puspa serta melingkarkan di perutnya sendiri.“ Begini lebih baik.” Motor mulai melaju membelah jalanan kota Jakarta yang ramai. Selama ekspedisi tangan Puspa bertengger manis di badan Raka yang asing. Tidak terdapat pembicaraan apapun sepanjang ekspedisi, cuma terdapat suara angin yang bawa rambut Puspa beterbangan kemana- mana. “ Terima kasih,” ucap Puspa sehabis hingga di depan garasi rumahnya. “ Okee. Gue langsung balik ya.” “ Iya, hati- hati.” “ Hem, lo masuk rumah dahulu gih.” Puspa mengangguk menjajaki perintah Raka. Kakinya pula terasa tegang sebab menahan jarak diantara mereka sepanjang ekspedisi. “ Puspa,” panggil Raka seketika. Puspa yang merasa namanya dipanggil kembali memutar badannya ke arah Raka. “ Banyak- banyakin senyum, lo menawan jika tersenyum.” Raka tersenyum tipis penuh makna saat sebelum memutargasnya kilat meninggalkan Puspa. Post navigation Tragedy Incest Family 7 Kamu yang Kusebut Rumah 2